Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Stilistik-Estetik Epilog Kakawin Abad XX Karya Made Degung Anak Agung Gde Alit Geria; I Made Bendi Yudha
Mudra Jurnal Seni Budaya Vol 37 No 2 (2022): Mei
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31091/mudra.v37i2.1910

Abstract

Kakawin (manuscript), composed by Rakawi Made Degung from Sibetan Karangasem, received a positive response among lovers of classical Balinese literature, because it is full of Shiva-Buddhist philosophy which until now still lives side by side and harmoniously in Bali. This well-packaged, aesthetically pleasing Kakawin has an important position among the existing kakawin, because the content and unique presentation factor is the spirit of the times, namely the Shiva-Buddhist discourse that is typical of the Balinese model. This Kakawin was completed on Friday Paing Sinta, the 13th anniversary of the Saka year 1915 (1993 AD). The information implied in this kakawin epilogue is truly something unique that is rarely or never found in other kakawin. His Kakawin compositions, the writing of the number of years to the name of the pangawi (author) and its origin, are packaged in a unique way and explained in one last stanza of this kakawin. In addition to starting with the Manggala who worships the Goddess of Beauty (Saraswati) as the sacred God Brahma spouse, the Goddess of Knowledge, and the Soul of the script, at the end of his work, Pangawi begs before Him so that the world will be saved as well as its leader.
Aksareng Usadha: Kottaman dan Pangraksa Jiwa Anak Agung Gde Alit Geria
Manuskripta Vol 13 No 1 (2023): Manuskripta
Publisher : Masyarakat Pernaskahan Nusantara (The Indonesian Association for Nusantara Manuscripts, Manassa)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33656/manuskripta.v13i1.222

Abstract

Aksara Bali sering disebut sebagai the orthographic mysticism of Bali. Aksara Modre [suci] telah diyakini oleh masyarakat Bali, karena keutamaan [kottaman] aksaranya yang bertalian dengan bidang usadha [pengobatan tradisional Bali]. Sejumlah peneliti merasakan langsung kasiatnya, seperti para dukun [Bali: balian] hingga peneliti atau penekun lontar usadha asal luar negeri. Kottaman [keutamaan] aksara Modre menjadi sarana penting dalam prosesi pengobatan atau penyembuhan penyakit karena diyakini memiliki keutamaan gaib atau mistik. Ada sejumlah lontar yang berkaitan dengan kottaman aksara Bali, seperti: Aji Saraswati, usadha Tantri, Tutur Swara Wyanjana, dan yang lainnya. Kottaman aksara Bali sebagai sarana usadha Bali dapat digunakan sebagai penyelamat jiwa [pangraksaning jiwa], karena kekuatan energi yang ada dalam usadhi pranawa dapat menstanakan aksara bijaksara atau modre sebagai yantra lalu di-SAS [inisiasi obat] dengan kekuatan mantra dan yoga sang balian. Hal ini didukung oleh sejumlah lontar, seperti: Ruměksa ing Wěngi, Punggung Tiwas, Wisik Warah, dan yang lainnya. Konsep penyatuan antara pikiran suci sang balian dengan aksara Bali mahottama itu, sangat penting dilakukan ketika mengobati dengan usadhi pranawa. Hal ini identik dengan prosesi sabda tan mětu ketika menyatukan pikiran dengan sastra aji [aksara suci].
ROGGHA SANGHᾹRA BHŪMI: WABAH SEMESTA ALAM DAN SUDHA BHUMI Geria, Anak Agung Gde Alit
Stilistika : Jurnal Pendidikan Bahasa dan Seni Vol. 12 No. 1 (2023): Stilistika: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Seni
Publisher : Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah Universitas PGRI Mahadewa Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59672/stilistika.v12i1.3304

Abstract

Teks Ronggha Sanghāra Bhumi, merupakan ajaran kepemimpinan (niti) dari Bhagawan Dharma Loka, yang diterima baginda raja Majapahit hingga di Bali. Teks berisi uraian tatkala bumi dalam keadaan kali yuga (sanghāra). Ditandai dengan kembalinya para dewata menuju alam surga (Mahameru). Digantikan atau dipenuhi sifat-sifat jahat (běbhutan) merasuk pada setiap pikiran manusia, sehingga dunia menjadi tidak menentu (roggha). Konflik (perang) berkepanjangan, di antara pemimpin (raja) saling hina dan bermusuhan, penyakit (sasab mrana) tiada hentinya, kematian mendadak dilanda muntaber, dan sejenisnya. Segala upaya pengobatan tradisional (usada) dan (japa mantra) telah dicoba namun tidak berhasil, wabah penyakit mendunia. Merebaknya berbagai penyakit di seluruh penjuru dunia, adalah akibat dewata luhuring akasa murka sehingga banyak manusia mati tidak tertolong. Seorang raja (pemimpin) akan tertimpa bahaya, ditandai dengan adanya salah wtu (manakan salah), salah rupa, salah prilaku, kebenaran terabaikan, raja dilecehkan, raja berbuat sewenang-wenang hingga rakyat menjadi sakit hati, dan seterusnya, menjadikan dunia ini rusak/hancur (sanghāra). Keadaan yang mengerikan itu bisa teratasi dengan cara menepi, mengurung diri di rumah, karena běbhutan sedang bergerak (apan běbhutan sděng lumaku) merasuki manusia di jagat raya ini. Selain itu, manusia mesti senantiasa berdoa kepada Sang Pencipta, melakukan upacara yajña mamarisudha bhumi, menggelar upacara pacaruan (menetralisir dunia beserta isinya) secara menyeluruh berlandaskan rasa bakti yang tulus ikhlas mohon perlindungan-Nya. Kata Kunci: roggha, sanghara, pamarisudha, dan yajña.
ANGGRENI DUTA: PERSEMBAHAN GURU-DAKSINA KEPADA DRONA Geria, Anak Agung Gde Alit
Stilistika : Jurnal Pendidikan Bahasa dan Seni Vol. 13 No. 1 (2024): STILISTIKA: JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
Publisher : Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah Universitas PGRI Mahadewa Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59672/stilistika.v13i1.4212

Abstract

Geguritan Dyah Anggreni merupakan hasil karya sastra lama sarat akan nilai adiluhung. Pada hakikatnya, kandungan isi yang tersirat dalam Geguritan Dyah Anggreni memiliki inti ajaran Hindu yang mencakup satyam (kebenaran), siwam (kesucian), dan sundaram (keindahan). Artinya, keharmonisan akan terwujud jika dibangun oleh sikap hidup yang seimbang, yakni hubungan dengan Sang Pencipta, sesama manusia, dan semesta alam yang disebut Tri Hita Karana. Geguritan Dyah Anggreni karya I Made Jimbar yang bersumber dari cerita Adiparwa ini, selesai ditulis pada tahun Saka 1923 (2001 Masehi), terdiri dari 7 pupuh dan 196 bait. Teks beraksara Latin berbahasa Kawi-Bali ini, berisikan tentang perjalanan Dyah Anggreni sebagai duta dari suaminya (Bambang Ekalawya) untuk mempersembahkan guru-daksina kepada Mahaguru Drona di Hastinapura. Konsep guru-daksina, merupakan tradisi zaman mahabharata yakni pemberian sesuatu dari seorang sisya (murid) kepada seorang siwa (guru) sebagai ucapan terima kasih seorang murid atas segala pengetahuan yang telah diajarkan gurunya. Walaupun lewat sebuah patung berwujud Drona, diyakini sebagai guru sejati yang mampu memberi segala ilmu pepanahan (dhanurdhara) hingga meresap pada diri Ekalawya. Di perjalanan, Dyah Anggreni dihadang para begal yang akhirnya minta bantuan kepada Arjuna. Ada janji yang seakan tergesa-gesa (kadropon) dilontarkan Dyah Anggreni kepada Arjuna, demi keselamatan dirinya dan para begal dapat terbunuh. Setelah berhasil, Arjuna menuntut janji hingga Dyah Anggreni berlari hingga jatuh ke jurang. Beruntung masih bisa diselamatkan oleh Dewi Peri. Mendengar kisah tersebut, Ekalawya segera minta keadilan ke Hastinapura, hingga perang tanding melawan Arjuna. Kemudian Arjuna menuntut balas ke Nishada. Akhirnya Ekalawya terbunuh dalam perang tanding karena kesaktian berupa cincin kresnadana dan ibu jarinya diminta oleh Kresna dan Drona. Karena kesetiaannya, Ni Dyah Anggreni kemudian mati bunuh diri sebagai tanda satyeng laki hingga mereka bertemu kembali di alam surga, karena telah melaksanakan kewajiban sebagai suami-istri yang baik dan setia (satyeng alaki-rabi) di mercapadha (dunia nyata)
Fungsi dan Keutamaan Aksareng Usadha dalam Struktur Kebudayaan Masyarakat Bali Geria, Anak Agung Gde Alit
Manuskripta Vol 13 No 1 (2023): Manuskripta
Publisher : Masyarakat Pernaskahan Nusantara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33656/manuskripta.v13i1.2

Abstract

The Modre, revered as Balinese sacred scripts, holds significance within the Balinese community for the virtues (kottaman) attributed to its characters in the context of traditional Balinese medicine (usadha). Modre scripts excellence is a vital component in therapeutic practices, believed to possess mystical and supernatural powers. Various palm-leaf manuscripts, including Aji Saraswati, Usadha Tantri, and Tutur Swara Wyanjana, are associated with the virtues of Balinese characters, serving as instrumental tools in Balinese medicine. These characters, believed to be soul-saving (pangraksaning jiwa), harness energy potential within usadhi pranawa, transforming bijaksara or modre characters into yantras. Through medication initiation, facilitated by mantras and the healer's yoga, this process is detailed in manuscripts like Ruměksa ing Wěngi, Punggung Tiwas, and Wisik Warah. The alignment of the healer's pure mind with the supreme Balinese characters, mahottama, is integral in applying usadhi pranawa during treatment, akin to the essential alignment in the Sabda tan Mětu ceremony with sacred scripture. === Aksara Modre (suci) telah diyakini oleh masyarakat Bali karena keutamaan (kottaman) aksaranya yang bertalian dengan bidang usadha (pengobatan tradisional Bali). Keutamaan aksara Modre menjadi sarana penting dalam prosesi pengobatan atau penyembuhan penyakit karena diyakini memiliki kekuatan gaib atau mistik. Ada sejumlah lontar yang berkaitan dengan kottaman aksara Bali, seperti Aji Saraswati, Usadha Tantri, Tutur Swara Wyanjana, dan yang lainnya. Kottaman aksara Bali sebagai sarana usadha Bali dapat digunakan sebagai penyelamat jiwa (pangraksaning jiwa). Hal ini didukung oleh sejumlah lontar yang diyakinioleh masyarakat Bali seperti Ruměksa ing Wěngi, Punggung Tiwas, Wisik Warah. Konsep penyatuan antara pikiran suci sang balian dengan aksara Bali mahottama itu, sangat penting dilakukan ketika mengobati dengan usadhi pranawa. Hal ini identik dengan prosesi sabda tan mětu ketika menyatukan pikiran dengan sastra aji (aksara suci).