Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

URGENSI SUSTAINABLE DEVELOPMENT SEBAGAI ETIKA PEMBANGUNAN DI INDONESIA Safudin, Endrik
Al-Syakhsiyyah: Journal of Law & Family Studies Vol 1, No 2 (2019)
Publisher : Fakultas Syariah IAIN Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Konsep Sustainable development dimaknakan sebagai pembangunan dengan tidak mengorbankan kepentingan lingkungan atau senantiasa memperhatikan aspek lingkungan. Dalam konsep ini dalam setiap pembangunan harus memperhatikan hak-hak lingkungan dimaksudkan untuk menciptakan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) tanpa mereduksi dan mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk mencapai dan menikmati kesejahteraannya. Suistainable development diberlakukan untuk sebagai pijakan hukum dalam setiap proses pembangunan. Sehingga, kepastian hukum dan keadilan hukum selalu menyertai dalam setiap tahap pembangunan. Hal ini tak lain untuk menciptakan dan memlihara pembangunan yang ramah terhadap lingkungan. Apabila konsep sustainable development tidak diperhatikan maka akan menyebabkan dampak buruk yang juga akan berkelanjutan. Pada tulisan ini difokuskan pada urgensi suinable development sebagai etika pembangunan di indonesia. Pendekatan etika sebagai upaya memberikan pemahaman bahwa ketika sustainable development dimaknai sebagai etika maka akan menjadi sebuah kereksi diri terhadap tindakan yang telah dilakukannya bukan hanya sekedar aturan yang tertulis. Dengan pendekatan etika akan menciptakan sebuah prinsip pembangunan yang berkeadilan terhadap lingkungan.
POLITIK HUKUM DISKRESI DI INDONESIA: ANALISIS TERHADAP PEMBAGIAN KEKUASAAN ANTARA PEMERINTAH DAN LEGISLATIF Safudin, Endrik
Kodifikasia Vol 14, No 1 (2020)
Publisher : IAIN PONOROGO

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/kodifikasia.v14i1.1993

Abstract

Diskresi (freies ermessen) merupakan kebebasan bertindak atas inisiatif sendiri yang dimiliki oleh Pemerintah atau pejabat administrasi negara. Diskresi sebagai sarana untuk mengatasi persoalan-persoalan yang penting, mendesak, muncul secara tiba-tiba, yang pengaturannya memberikan pilihan atau belum ada atau kewenangannya yang tidak jelas atau samar-samar. Pemerintah atau pejabat administrasi negara dalam menggunakan kekuasaan diskresi harus dapat mempertanggungjawabkannya baik secara hukum maupun moral. Penggunaan diskresi hanya ditujukan demi kepentingan umum. Oleh karena itu, diskresi hadir sebagai alternatif untuk memenuhi kekurangan dan kelemahan implementasi asas legalitas (wetmatigheid van bestuur). Ia sebagai  pelengkap terhadap asas legalitas, namun bukan mengesampingkan hukumnya sama sekali. Dengan menggunakan deskriptif-analisis, penelitian ini fokus pada kajian politik hukum diskresi sebagai bentuk pembagian kekuasaan antara pemerintah dan legislatif. Pendekatan politik hukum memudahkan untuk menggali ulang konsep diskresi yang telah ada. Sehingga kajian ini tidak bisa dilepaskan dari penelusuran sejarah tentang konsep diskresi dimasa lalu telah dibuat dan seharusnya dibuat. Hasil penelitian ini menunjukkan tujuan ?mulianya? dilahirkannya konsep diskresi dalam politik hukum di indonesia. Sehingga, penggunaannya harus benar-benar untuk mendukung kesejahteraan dan kepentingan umum.  [Discretion (freies ermessen) is a freedom of action on self- initiative which is owned by the Government or state administration officials. Discretion is a tool to overcome the important, urgent and emergent problems, and the arrangement provide choices or the authority is unclear or vague. The government or state administration officials in using discretionary power must be able to take responsibility both legally and morally. The use of discretion is only intended for the public interest. Therefore, discretion exists as an alternative to meet the weaknesses in the implementation of the legality principle (wetmatigheid van bestuur). It was as a complement to the principle of legality, but does not ignore the law itself at all. By using descriptive-analysis, this research focuses on the study of discretionary political law as a form of power sharing between the government and legislative. The political of law approach make it easy to re-explore the existing concept of discretion. So this study cannot be separated with the historical traces about the concept of discretion in the past that have been made. The results of this study indicate the purpose of the "nobility" of the discretion concept in the legal politics in Indonesia. So, its implementation must really support the welfare and the public interest.]
POLITIK HUKUM DISKRESI DI INDONESIA: ANALISIS TERHADAP PEMBAGIAN KEKUASAAN ANTARA PEMERINTAH DAN LEGISLATIF Safudin, Endrik
Kodifikasia: Jurnal Penelitian Islam Vol 14, No 1 (2020)
Publisher : IAIN PONOROGO

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/kodifikasia.v14i1.1993

Abstract

Diskresi (freies ermessen) merupakan kebebasan bertindak atas inisiatif sendiri yang dimiliki oleh Pemerintah atau pejabat administrasi negara. Diskresi sebagai sarana untuk mengatasi persoalan-persoalan yang penting, mendesak, muncul secara tiba-tiba, yang pengaturannya memberikan pilihan atau belum ada atau kewenangannya yang tidak jelas atau samar-samar. Pemerintah atau pejabat administrasi negara dalam menggunakan kekuasaan diskresi harus dapat mempertanggungjawabkannya baik secara hukum maupun moral. Penggunaan diskresi hanya ditujukan demi kepentingan umum. Oleh karena itu, diskresi hadir sebagai alternatif untuk memenuhi kekurangan dan kelemahan implementasi asas legalitas (wetmatigheid van bestuur). Ia sebagai  pelengkap terhadap asas legalitas, namun bukan mengesampingkan hukumnya sama sekali. Dengan menggunakan deskriptif-analisis, penelitian ini fokus pada kajian politik hukum diskresi sebagai bentuk pembagian kekuasaan antara pemerintah dan legislatif. Pendekatan politik hukum memudahkan untuk menggali ulang konsep diskresi yang telah ada. Sehingga kajian ini tidak bisa dilepaskan dari penelusuran sejarah tentang konsep diskresi dimasa lalu telah dibuat dan seharusnya dibuat. Hasil penelitian ini menunjukkan tujuan “mulianya” dilahirkannya konsep diskresi dalam politik hukum di indonesia. Sehingga, penggunaannya harus benar-benar untuk mendukung kesejahteraan dan kepentingan umum.  [Discretion (freies ermessen) is a freedom of action on self- initiative which is owned by the Government or state administration officials. Discretion is a tool to overcome the important, urgent and emergent problems, and the arrangement provide choices or the authority is unclear or vague. The government or state administration officials in using discretionary power must be able to take responsibility both legally and morally. The use of discretion is only intended for the public interest. Therefore, discretion exists as an alternative to meet the weaknesses in the implementation of the legality principle (wetmatigheid van bestuur). It was as a complement to the principle of legality, but does not ignore the law itself at all. By using descriptive-analysis, this research focuses on the study of discretionary political law as a form of power sharing between the government and legislative. The political of law approach make it easy to re-explore the existing concept of discretion. So this study cannot be separated with the historical traces about the concept of discretion in the past that have been made. The results of this study indicate the purpose of the "nobility" of the discretion concept in the legal politics in Indonesia. So, its implementation must really support the welfare and the public interest.]
Kewajiban Penanaman Pohon Sebagai Syarat Penerbitan Rekomendasi Pengantar Nikah dalam Peraturan Bupati Magetan Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Gerakan Wajib Menanam Pohon Safudin, Endrik; Khasanah, Uswatul
Al-Syakhsiyyah: Journal of Law & Family Studies Vol. 4 No. 2 (2022)
Publisher : Fakultas Syariah IAIN Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/syakhsiyyah.v4i2.5501

Abstract

Peraturan Bupati Magetan Nomor 11 Tahun 2020 tentang Kewajiban Menanam pohon memiliki maksud yang mulia yaitu mendorong peran masyarakat dalam pengelollan dan kelestarian hidup. Kewajiban penanaman pohon tersebut salah satunya dibebankan kepada calon pengantin baik pria maupun wanita. apabila tidak melaksanakan kewajiban tersebut maka tidak diterbitkan rekomendasi pengantar nikah (NA) atau bentuk lainnya dari kepala desa/lurah. Kewajiban penanaman pohon bagi calon pengantin tersebut dapat dikatakan sebagai suatu bentuk penambahan persyaratan pernikahan yang tidak pernah diatur oleh peraturan yang lebih tinggi yang mengatur tentang persyaratan dan rukun pernikahan. Oleh karena itu menarik untuk dianalisis tentang keteraturan norma terhadap Peraturan Bupati Magetan Nomor 11 Tahun 2020 tentang Kewajiban Menanam Pohon dengan peraturan yang lebih tinggi. dengan menggunakan metode penelitian normative dan pendekatan perundang-undangan (legal approach), penelitian ini fokus pada keteraturan norma sebagai wujud adanya tertib substansi pada suatu peraturan perundang-undangan. hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Peraturan Bupati Magetan Nomor 11 Tahun 2020 tentang Kewajiban Menanam Pohon khususnya bagi calon pengantin telah mengandung ketidaktertiban substansi dengan peraturan yang lebih tinggi yang mengatur tentang pernikahan. sehingga, peraturan bupati tersebut akan sulit dioperasionalkan dimasyarakat terlepas dari tujuan mulia dilahirnnya peraturan tersebut.
Maslahah Mursalah in Ultra Petita Decision of The Constitutional Court Safudin, Endrik; Aulia, Sesario
MUSLIM HERITAGE Vol 10 No 1 (2025): Muslim Heritage: Jurnal Dialog Islam dengan Realitas
Publisher : Universitas Islam Negeri Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/muslimheritage.v10i1.10764

Abstract

Ultra Petita refers to a court decision that goes beyond what was requested. Judges handling certain cases are limited to the issues raised by the parties involved. If the judge grants more than what was requested, the decision falls under Ultra Petita. In this context, the judge is only authorized to consider the claims and lawsuits based on those claims (iudex non ultra petita or ultra petita non cognoscitur). The judge only determines whether the issues at issue are true or false. Judges are prohibited from increasing or decreasing the demands and may not grant more than what is requested. This research aims to analyze two things. First, it discusses how the Constitutional Court's ultra petita decision is constructed. Second, it discusses how the principle of maslahah-mursalah is applied in the ultra petita decision of the Constitutional Court. By using descriptive analysis, the results show that the decisions of the Constitutional Court are an effort to protect the constitutional rights of citizens. Second, the ultra petita decision is in line with the principles of maslahah-mursalah. Ultra petita decisions allow constitutional judges to provide fair and valuable decisions and provide legal certainty.   Abstrak Ultra Petita mengacu pada keputusan pengadilan yang melebihi apa yang diminta. Hakim yang menangani kasus-kasus tertentu terbatas pada masalah yang diajukan oleh pihak-pihak yang terlibat. Jika hakim mengabulkan lebih dari yang diminta, keputusan tersebut termasuk dalam Ultra Petita. Dalam konteks ini, hakim hanya berwenang untuk mempertimbangkan tuntutan dan tuntutan hukum yang didasarkan pada tuntutan tersebut (iudex non ultra petita atau ultra petita non cognoscitur). Hakim hanya menentukan apakah isu yang dipermasalahkan benar atau salah. Hakim dilarang menambah atau mengurangi tuntutan dan tidak boleh mengabulkan lebih dari yang diminta. Penelitian ini Bertujuan menganalisis dua hal. Pertama, membahas bagaimana putusan ultra petita Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan. Kedua, membahas bagaimana prinsip maslahah-mursalah diterapkan dalam putusan ultra petita Mahkamah Konstitusi. Dengan menggunakan analisis deskriptif, Hasil penelitian menunjukkan bahwa putusan-putusan Mahkamah Konstitusi merupakan upaya untuk melindungi hak-hak konstitusional warga negara. Kedua, putusan ultra petita sejalan dengan prinsip-prinsip maslahah-mursalah. Putusan ultra petita memungkinkan hakim konstitusi untuk memberikan putusan yang adil dan bernilai serta memberikan kepastian hukum.
Maslahah Mursalah in Ultra Petita Decision of The Constitutional Court Safudin, Endrik; Aulia, Sesario
MUSLIM HERITAGE Vol 10 No 1 (2025): Muslim Heritage: Jurnal Dialog Islam dengan Realitas
Publisher : Universitas Islam Negeri Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/muslimheritage.v10i1.10764

Abstract

Ultra Petita refers to a court decision that goes beyond what was requested. Judges handling certain cases are limited to the issues raised by the parties involved. If the judge grants more than what was requested, the decision falls under Ultra Petita. In this context, the judge is only authorized to consider the claims and lawsuits based on those claims (iudex non ultra petita or ultra petita non cognoscitur). The judge only determines whether the issues at issue are true or false. Judges are prohibited from increasing or decreasing the demands and may not grant more than what is requested. This research aims to analyze two things. First, it discusses how the Constitutional Court's ultra petita decision is constructed. Second, it discusses how the principle of maslahah-mursalah is applied in the ultra petita decision of the Constitutional Court. By using descriptive analysis, the results show that the decisions of the Constitutional Court are an effort to protect the constitutional rights of citizens. Second, the ultra petita decision is in line with the principles of maslahah-mursalah. Ultra petita decisions allow constitutional judges to provide fair and valuable decisions and provide legal certainty.   Abstrak Ultra Petita mengacu pada keputusan pengadilan yang melebihi apa yang diminta. Hakim yang menangani kasus-kasus tertentu terbatas pada masalah yang diajukan oleh pihak-pihak yang terlibat. Jika hakim mengabulkan lebih dari yang diminta, keputusan tersebut termasuk dalam Ultra Petita. Dalam konteks ini, hakim hanya berwenang untuk mempertimbangkan tuntutan dan tuntutan hukum yang didasarkan pada tuntutan tersebut (iudex non ultra petita atau ultra petita non cognoscitur). Hakim hanya menentukan apakah isu yang dipermasalahkan benar atau salah. Hakim dilarang menambah atau mengurangi tuntutan dan tidak boleh mengabulkan lebih dari yang diminta. Penelitian ini Bertujuan menganalisis dua hal. Pertama, membahas bagaimana putusan ultra petita Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan. Kedua, membahas bagaimana prinsip maslahah-mursalah diterapkan dalam putusan ultra petita Mahkamah Konstitusi. Dengan menggunakan analisis deskriptif, Hasil penelitian menunjukkan bahwa putusan-putusan Mahkamah Konstitusi merupakan upaya untuk melindungi hak-hak konstitusional warga negara. Kedua, putusan ultra petita sejalan dengan prinsip-prinsip maslahah-mursalah. Putusan ultra petita memungkinkan hakim konstitusi untuk memberikan putusan yang adil dan bernilai serta memberikan kepastian hukum.