Article Per Year (5 Year)
p-Index From 2020 - 2025
1.286
P-Index
This Author published in this journals
All Journal Al-Ihkam: Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Al-Ahkam: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum LISAN AL-HAL: Jurnal Pengembangan Pemikiran dan Kebudayaan Al-Ahkam: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum
Ahmad Azaim Ibrahimy
Universitas Ibrahimy Sokurejo Situbondo
Religion Humanities Education Law, Crime, Criminology & Criminal Justice Social Sciences

Published : 8 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

 1 
KRITERIA KAFA’AH DALAM PERKAWINAN: ANTARA ABSOLUT-UNIVERSAL DAN RELATIF-TEMPORAL Ibrahimy, Ahmad Azaim; Nawawi, Nawawi; Nashirudin, Muh
Al-Ahkam Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol 5, No 2 (2020): Al-Ahkam: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum
Publisher : IAIN Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22515/al-ahkam.v5i2.2371

Abstract

Penelitian ini menemukan bahwa kriteria kafa’ah dalam perkawinan mencakup tiga dimensi yaitu dimensi etik-religius, status sosial dan material. Kafa’ah etik-religius bersifat mutlak, permanen dan universal dimana berlakunya  tidak terbatas pada ruang dan waktu. Sementara kafa’ah pada dimensi status sosial dan material bersifat relatif dan lokal. Kafa’ah berupa status sosial tidak memiliki dasar yang jelas dari al-Qur’an maupun sunnah Nabi SAW dan bertentangan dengan ajaran Islam yang memandang bahwa derajat seseorang tidak ditentukan dengan status sosial tetapi dengan aspek ketakwaannya. Dalam hal ini, status sosial sebagai kriteria  kafa’ah dalam penikahan dipengaruhi kefanatikan kultur budaya Arab yang berkembang pada waktu Islam di Arab. Begitu pula ulama ketika menformulasikan  kriteria kafa’ah dalam penikahan tidak lepas dari pengaruh kultur Arab. Karena itu, kafa’ah ini jelas bersifat fanatik kearaban yang bersifat temporal dan lokalitas yang tidak mungkin bisa diimplementasikan secara totalitas yang dibatasi  ruang dan waktu. Yakni, kafa’ah dimensi status sosial bersifat relatif dan tidak mutlak hanya berlaku pada kalangan bangsa Arab saja, karena karakteristik  Arab sangat menjaga terhadap   keturunan.   Memang ada pendapat ulama yang memberi kriteria kafa’ah berupa keturunan atau status sosial berdasarkan hadis sebenarnya bersifat temporal dan lokal yang bisa berubah sesuai dengan konteks sosial
Kriteria Kafa'ah Dalam Perkawinan: Antara Absolut-Universal Dan Relatif-Temporal Ahmad Azaim Ibrahimy; Nawawi Nawawi; Muh Nashirudin
Al-Ahkam Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 5 No. 2 (2020): Al-Ahkam: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum
Publisher : IAIN Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22515/alahkam.v5i2.2371

Abstract

Penelitian ini menemukan bahwa kriteria kafa’ah dalam perkawinan mencakup tiga dimensi yaitu dimensi etik-religius, status sosial dan material. Kafa’ah etik-religius bersifat mutlak, permanen dan universal dimana berlakunya  tidak terbatas pada ruang dan waktu. Sementara kafa’ah pada dimensi status sosial dan material bersifat relatif dan lokal. Kafa’ah berupa status sosial tidak memiliki dasar yang jelas dari al-Qur’an maupun sunnah Nabi SAW dan bertentangan dengan ajaran Islam yang memandang bahwa derajat seseorang tidak ditentukan dengan status sosial tetapi dengan aspek ketakwaannya. Dalam hal ini, status sosial sebagai kriteria  kafa’ah dalam penikahan dipengaruhi kefanatikan kultur budaya Arab yang berkembang pada waktu Islam di Arab. Begitu pula ulama ketika menformulasikan  kriteria kafa’ah dalam penikahan tidak lepas dari pengaruh kultur Arab. Karena itu, kafa’ah ini jelas bersifat fanatik kearaban yang bersifat temporal dan lokalitas yang tidak mungkin bisa diimplementasikan secara totalitas yang dibatasi  ruang dan waktu. Yakni, kafa’ah dimensi status sosial bersifat relatif dan tidak mutlak hanya berlaku pada kalangan bangsa Arab saja, karena karakteristik  Arab sangat menjaga terhadap   keturunan.   Memang ada pendapat ulama yang memberi kriteria kafa’ah berupa keturunan atau status sosial berdasarkan hadis sebenarnya bersifat temporal dan lokal yang bisa berubah sesuai dengan konteks sosial.
INITIATING CITIZENS FIQH: SOLUTIONS FOR MINORITY MUSLIM IN NON-MUSLIM COUNTRIES Ahmad Azaim Ibrahimy; Nawawi Nawawi; Wawan Juandi
LISAN AL-HAL: Jurnal Pengembangan Pemikiran dan Kebudayaan Vol. 16 No. 2 (2022): DESEMBER
Publisher : LP2M Universitas Ibrahimy

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (496.627 KB) | DOI: 10.35316/lisanalhal.v16i2.217-234

Abstract

This article finds that fiqh has historical roots, where history has a functional relationship with ushul fiqh. what is referred to in terms of ushul fiqh with the causality of an event, namely asbāb al-nuzūl (chronological text of the verses of the Qur'an) and asbāb al-wurūd (chronological text of hadith). These two things have inspired the formation of civic fiqh that can be applied in non-Muslim countries. Because, Muslim minorities living in non-Muslim countries are very difficult to apply the teachings of Islam in a normal and comprehensive manner. Therefore, the application of civic fiqh has historical roots of the Prophet SAW and is in accordance with the historical process of its formation, namely: gradual, minimal burden, and no narrowness. The construction of civic fiqh for the Muslim minority is an emergency. That is, if one day the conditions are good and normal, then Islam must be carried out comprehensively. Islam has two eternal dimensions that always survive (tsawabit) and are flexible according to benefit (taghayyurat).
SELF DIGESTING: Dalam Kajian Tasawwuf atas Taklif Syariah Ahmad Azaim Ibrahimy
LISAN AL-HAL: Jurnal Pengembangan Pemikiran dan Kebudayaan Vol. 7 No. 2 (2013): DESEMBER
Publisher : LP2M Universitas Ibrahimy

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (833.669 KB)

Abstract

Every human being has the ability and potential which is different from one individual to another.Thepotential and the will be parsed and explored well if he is able to understand his identity.Contemplation is one approach to understand the self-concept, becauseit is actually anone’s attempt to do contemplation and concentration in doing the thinking intently. The state of concentration then becomes the expectation that he would be able to recognize his personality, potential, abilities, shortcomings, and soulcondition, so that when the all potential is able to be felt, it will eventually be easily managed to be positive energy.
INTEGRASI IMAN & ISTIQOMAH DALAM MEMBENTUK MANUSIA PARIPURNA Ahmad Azaim Ibrahimy
LISAN AL-HAL: Jurnal Pengembangan Pemikiran dan Kebudayaan Vol. 9 No. 1 (2015): JUNI
Publisher : LP2M Universitas Ibrahimy

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (839.223 KB) | DOI: 10.35316/lisanalhal.v9i1.81

Abstract

Muslim life lived through the phases a very long and winding process with the task as the creation of Allah, including many things that are urgent for always be considered in themselves in relation to keeping all the obligations of the syari'at. The strength of Aqidah is be decisive in all activities servitude and purification, in other to be a Muslim individuals who getting a glory by Allah SWT
Islamic Law at the Grassroot; SIGMA Program at Bhasa Radio Situbondo and Its Controversy Nawawi; Muntaha Artalim Zaim; Ahmad Azaim Ibrahimy; Yasid; Abdul Hamid Achak
Al-Ihkam, Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Vol 18 No 1 (2023)
Publisher : Faculty of Sharia IAIN Madura collaboration with The Islamic Law Researcher Association (APHI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19105/al-lhkam.v18i1.8332

Abstract

This study explores the controversy of SIGMA (Konsultasi Agama or Religious Consultation) at Bhasa Radio 93.1 FM Situbondo as the representation of how grassroots Muslims perceive Islamic law. SIGMA is an aired interactive forum discussing current issues of Islamic law engaging a host, a speaker, and listeners. However, it sparks controversy particularly because of the stigma of a liberalist. This research, therefore, focuses on the typology of SIGMA perspective through the opinion of its speakers, genealogy beyond their thought, and the controversy that comes along. As a qualitative field study with a socio-philosophical approach, it used interviews with 14 informants consisting of SIGMA speakers and staff as well as listeners from diverse backgrounds. It turns out that; firstly, SIGMA’s perspective indicates a progressive type of thought rather than liberal as stigmatized because of the employment of maqas{id al-syari’ah during discussing the issue and making decisions afterward. Secondly, the thinking model can be traced back historically to NU (Nahdlatul Ulama’) reformists who likely use maqas{id al-syari'ah to examine Islamic law along with a progressive mindset. SIGMA speakers furthermore tend to employ advancement of ijtihad and contextual fiqh like what bahs| al-masa'il forums typically do. Thirdly, the controversy stems mainly from the negative stigma which tends to be loudly and sporadically expressed making sympathetic voices unheard. This implies how grassroots Muslims interact with Islamic law in both textual and contextual realms particularly when coping with the changing situation and dynamic methodologies.
Kriteria Kafa'ah Dalam Perkawinan: Antara Absolut-Universal Dan Relatif-Temporal Ahmad Azaim Ibrahimy; Nawawi Nawawi; Muh Nashirudin
Al-Ahkam: Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 5 No. 2 (2020): Al-Ahkam: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum
Publisher : Fakultas Syariah, Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22515/alahkam.v5i2.2371

Abstract

Penelitian ini menemukan bahwa kriteria kafa’ah dalam perkawinan mencakup tiga dimensi yaitu dimensi etik-religius, status sosial dan material. Kafa’ah etik-religius bersifat mutlak, permanen dan universal dimana berlakunya  tidak terbatas pada ruang dan waktu. Sementara kafa’ah pada dimensi status sosial dan material bersifat relatif dan lokal. Kafa’ah berupa status sosial tidak memiliki dasar yang jelas dari al-Qur’an maupun sunnah Nabi SAW dan bertentangan dengan ajaran Islam yang memandang bahwa derajat seseorang tidak ditentukan dengan status sosial tetapi dengan aspek ketakwaannya. Dalam hal ini, status sosial sebagai kriteria  kafa’ah dalam penikahan dipengaruhi kefanatikan kultur budaya Arab yang berkembang pada waktu Islam di Arab. Begitu pula ulama ketika menformulasikan  kriteria kafa’ah dalam penikahan tidak lepas dari pengaruh kultur Arab. Karena itu, kafa’ah ini jelas bersifat fanatik kearaban yang bersifat temporal dan lokalitas yang tidak mungkin bisa diimplementasikan secara totalitas yang dibatasi  ruang dan waktu. Yakni, kafa’ah dimensi status sosial bersifat relatif dan tidak mutlak hanya berlaku pada kalangan bangsa Arab saja, karena karakteristik  Arab sangat menjaga terhadap   keturunan.   Memang ada pendapat ulama yang memberi kriteria kafa’ah berupa keturunan atau status sosial berdasarkan hadis sebenarnya bersifat temporal dan lokal yang bisa berubah sesuai dengan konteks sosial.
AL-SAYYID MUHAMMAD IBNU 'ALAWĪ AL-MĀLIKĪ WA KHASHĀISHU MANHAJIHI AL-FIQHIY: السيد محمد بن علوي المالكي وخصائص منهجه الفقهي Ibrahimy, Ahmad Azaim; Amanullah, Muhammad; Zaim, Muntaha Artalim
LISAN AL-HAL: Jurnal Pengembangan Pemikiran dan Kebudayaan Vol. 18 No. 2 (2024): DESEMBER
Publisher : LP2M Universitas Ibrahimy

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35316/lisanalhal.v18i2.263-281

Abstract

This research unveils the characteristics of the jurisprudential approach of Sayyid Muhammad al-Maliki, who is one of the prominent Maliki scholars of this era. The researcher found that the characteristics of his jurisprudential approach are represented in three points: First: Opening the door to ijtihad, because the rulings in the Qur’an and Sunnah are limited. Second: Considering the interest, and by inducting partial texts and their rulings, reasons and rulings, he reached a general matter that represents a result for it. Third: His general jurisprudence of human rights because the principles of Islamic jurisprudence are a general system for human society.
Co-Authors Abdul Hamid Achak Amanullah, Muhammad Muh Nashiruddin Muntaha Artalim Zaim Nawawi Nawawi Nawawi Nawawi Nawawi Nawawi Wawan Juandi Yasid Zaim, Muntaha Artalim