Aria Caesar Kusumaatmaja
Fakultas Hukum Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

PILKADA : Habis Konflik, Terbitlah Demokrasi? Aria Caesar Kusumaatmaja
JURNAL ILMIAH HUKUM DIRGANTARA Vol 6, No 1 (2015): JURNAL ILMIAH HUKUM DIRGANTARA
Publisher : UNIVERSITAS DIRGANTARA MARSEKAL SURYADARMA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (298.751 KB) | DOI: 10.35968/jh.v6i1.116

Abstract

Berbicara konflik dalam penyelenggaraan Pilkada, tentunya sangat komplek. Anggapan sebagian besar orang bahwa konflik selalu akan melahirkan yang namanya kehancuran dan kekacauan tidak sepenuhnya benar. Jika ada sisi negatif maka juga ada sisi positifnya. Konflik politik jangan selalu dimaknai sebagai kegagalan demokrasi yang berakibat kekacauan, tapi sejatinya konflik harus dimaknai sebagai suatu proses pembelajaran politik bagi masyarakat. Konflik itu sesuatu yang melekat pada diri masyarakat. Setiap upaya mengelola konflik perlu memahami dan menyadari manusia itu hidup bersamaan dengan konflik. Konflik tidak dapat dihilangkan. Ia hanya dapat ditekan atau dieliminir sehingga tidak menjadi tindak kekerasan. Kita berharap kedepannya dengan berakhirnya konflik dan perselisihan, mampu memposisikan pilkada sebagai media untuk memperkuat konsolidasi demokrasi.
EKSEKUSI PUTUSAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA YANG TELAH MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP Momon Mulyana; Aria Caesar Kusumaatmaja
Pakuan Justice Journal of Law (PAJOUL) Vol 3, No 1 (2022): Volume 3, Nomor 1 Januari-Juni 2022
Publisher : Universitas Pakuan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33751/pajoul.v3i1.6191

Abstract

AbstrakSebagai negara hukum yang demokratis, Indonesia memiliki sistem ketatanegaraan yang memiliki lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Untuk mengontrol kekuasaan eksekutif diperlukan lembaga yudikatif atau kehakiman. Salah satu bentuk kontrol yudisial atas tindakan administrasi pemerintah adalah melalui lembaga peradilan. Dalam konteks inilah maka Peradilan Tata Usaha Negara dibentuk dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1986, tentang Peradilan Tata Usaha Negara beserta perubahanya, Lahirnya Peradilan Tata Usaha Negara merupakan tuntutan masyarakat Indonesia yang merasa haknya sebagai warga negara dilanggar oleh pemerintah, selain itu untuk mencegah terjadinya maladministrasi, serta segala bentuk penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah. lemahnya kekuatan hukum Putusan PTUN membuat masyarakat cemas akan kekuatan hukum dari putusan PTUN yang membawa angin kedamaian bagi masyarakat yang dilanggar haknya oleh pemerintah. Masyarakat menjadi ragu akan kekuatan hukum yang dimiliki oleh lembaga peradilan ini dalam menegakkan keadilan manakala terjadi penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah. Lemahnya kekuatan hukum putusan PTUN ini disebabkan beberapa kendala yaitu: Tidak adanya lembaga eksekutorial khusus atau lembaga sanksi yang berfungsi untuk melaksanakan putusan, rendahnya tingkat kesadaran pejabat Tata Usaha Negara dalam menaati putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, serta tidak adanya pengaturan yang lebih tegas mengenai pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, dalam rangka mewujudkan harapan masyarakat, maka upaya hukum yang dapat dilakukan adalah upaya hukum pidana berupa melaporkan pejabat TUN,dan upaya hukum perdata yaitu berupa gugatan ganti rugi.Kata kunci Kata Kunci : Kekuatan Eksekutorial, kekuatan hukum, Mekanisme, Hambatan dan Upaya. AbstractAs a democratic legal state, Indonesia has a constitutional system that has executive, legislative and judicial institutions. To control the executive power, a judicial or judicial institution is needed. One form of judicial control over government administrative actions is through the judiciary. In this context, the State Administrative Court was formed by Law no. 5 of 1986, concerning the State Administrative Court and its amendments, the birth of the State Administrative Court is a demand of the Indonesian people who feel that their rights as citizens have been violated by the government, in addition to preventing maladministration, as well as all forms of abuse of authority by the government. The weak legal force of the Administrative Court Decisions makes the public anxious about the legal force of the Administrative Court's decision which brings a wind of peace to the people whose rights have been violated by the government. The public becomes doubtful about the legal power possessed by this judicial institution in upholding justice when there is abuse of authority by the government. The weak legal force of the PTUN decision is due to several obstacles, namely: The absence of a special executive or sanction institution that functions to implement the decision, the low level of awareness of State Administrative officials in obeying the decisions of the State Administrative Court, and the absence of stricter regulations regarding the implementation of decisions. The State Administrative Court, in order to realize the expectations of the community, the legal remedies that can be taken are criminal legal remedies in the form of reporting TUN officials, and civil legal remedies in the form of claims for compensation. Keywords: Executional Power, Legal Force, Mechanism, Barriers and Efforts.
ARSITEKTUR EMPATI DAN INTERAKSI SOSIAL POSITIF SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN PERUNDUNGAN DI LINGKUNGAN SATUAN PENDIDIKAN Asri, Ardison; Caesar Kusuma Atmaja, Aria; Sinaga, Maniur; Dzulkarnain, Ariefin; Cahyo Haryono, Yohanes
LEX LAGUENS: Jurnal Kajian Hukum dan Keadilan Vol. 2 No. 2 (2024): LEX LAGUENS: Jurnal Kajian Hukum dan Keadilan (Agustus)
Publisher : YAYASAN PENDIDIKAN DAN PELAYANAN KESEHATAN RAHMAT HUSADA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.08221/lexlaguens.v2i2.60

Abstract

This study is based on the end of 2023 notes released by the Federation of Indonesian Teachers' Unions that the number of bullying cases in Indonesia reached 30 (thirty) cases that had been reported and processed by the authorities. Of that number, 80% occurred under the Ministry of Education, Culture, Research, and Technology and 20% of cases occurred in educational units under the Ministry of Religion, with the distribution of cases occurring at the junior high school/equivalent level as much as 50%, elementary school/equivalent as much as 30%, high school/equivalent as much as 20%. Even from a number of these cases, some cases have resulted in fatalities. Ironically, some of these bullying cases occurred in educational unit environments. Therefore, it is very interesting to study efforts to prevent bullying in educational unit environments through the approach of empathy architecture and positive social interaction. To answer these problems, a normative legal research method supported by empirical research was used. From the results of the study, it was found that the issue of school architecture is one of the triggers for bullying in the educational unit environment because bullying tends to occur in certain areas or places in the educational unit environment due to a lack of monitoring and supervision. However, bullying is not only caused by architectural factors but also social factors. The existence of positive social interactions where relationships between individuals are based on mutual respect, respect for differences, empathy, and cooperation that involve good relationships between students and students, students and teachers, and students with other school staff. When this continues to be developed, students feel accepted and appreciated, so they tend to be more confident and have a sense of belonging to the school.
Anti-Corruption Education Policy At Marshal Suryarama Aerospace University Based On Regulation Of The Minister Of Research, Technology And Higher Education No. 33/2019 On The Implementation Of Anti-Corruption Education In Higher Education Ardison Asri; Aria Caesar Kusuma Atmaja; Lasmauli Noverita; Arya Budi Pratama; Zeta Claudia sandra siregar
JURNAL HUKUM SEHASEN Vol 10 No 1 (2024): April
Publisher : Fakultas Hukum Dehasen

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37676/jhs.v10i1.5825

Abstract

Anti-corruption education is an effort to reform political culture through the education system to make sustainable cultural changes, including to encourage the creation of a good governance culture in schools and universities. For higher education, the Directorate General of Higher Education of the Ministry of Education and Culture issued Circular Letter Number 1016/E/T/2012 dated July 30, 2012 jo. Regulation of the Minister of Research, Technology, and Higher Education Number 33 of 2019 on the Implementation of Anti-Corruption Education in Higher Education which emphasizes to State Universities and Private Universities to organize Anti-Corruption Education starting in 2012/2013 in the form of Mandatory / Elective Courses or inserted in relevant courses. Therefore, it is very interesting to examine how the anti-corruption education model policy at Marshal Suryadarma Aerospace University. To answer these problems, a normative juridical research method supported by empirical research is used. From the results of the research, it is found that anti-corruption education is very necessary to be given to students in the Elementya environment. Regarding the policy model, there are those who think that anti-corruption education needs to be taught as a separate course, but there are those who think that anti-corruption education is sufficiently inserted or integrated with other courses.
Kajian Prinsip Psikologi Arsitektur: Upaya Pencegahan dan Penanganan Perundungan (Bullying) Di Lingkungan Satuan Pendidikan Asri, Ardison; Noverita Simarmata, Lasmauli; Caesar Kusuma Atmaja, Aria; Sari, Indah
Jurnal Ilmu Hukum, Humaniora dan Politik Vol. 5 No. 5 (2025): (JIHHP) Jurnal Ilmu Hukum, Humaniora dan Politik
Publisher : Dinasti Review Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38035/jihhp.v5i5.4801

Abstract

Penelitian ini merupakan kelanjutan dari penelitian sebelumnya tentang peran tata kelola dan proses pendidikan dalam mencegah dan menanggulangi kekerasan, khususnya bullying. Penelitian ini berfokus pada penyediaan sarana dan prasarana sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif-empiris yang terdiri dari pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan futuristik. Pengumpulan data dilakukan melalui studi dokumen, studi pustaka, dan wawancara mendalam, kemudian dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyediaan sarana dan prasarana juga sangat penting dalam melindungi anak dari kekerasan di sekolah. Pendekatan humanis sangat penting dalam pengembangan sarana pendidikan, khususnya melalui penerapan psikologi arsitektur. Pendekatan ini mengutamakan pemahaman terhadap perilaku nyata dan kebutuhan perkembangan anak, sehingga menghasilkan desain yang sesuai dengan karakter dan pola aktivitas anak. Dengan demikian, bangunan sekolah dapat menjadi ruang yang benar-benar ramah anak. Yang terpenting, perspektif ini memandang anak bukan hanya sebagai pengguna ruang yang pasif, tetapi sebagai subjek aktif yang memengaruhi bagaimana ruang pendidikan harus dirancang untuk mendukung pertumbuhan sosial dan perkembangan anak.