Ayih Sutarih
Universitas Swadaya Gunung Jati

Published : 10 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

KAJIAN HUKUM PROSES PENYELESAIAN SENGKETA NASABAH DAN BANK PADA PERSPEKTIF KELEMBAGAAN PERLINDUNGAN KONSUMEN Saptaji, Saptaji; Sutrisno, Endang; Sutarih, Ayih
HERMENEUTIKA : Jurnal Ilmu Hukum Vol 3, No 1 (2019): HERMENEUTIKA : Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Sekolah Pascasarjana Universitas Swadaya Gunung Jati

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (391.034 KB) | DOI: 10.33603/hermeneutika.v3i1.2008

Abstract

Berdasarkanpasal 45 UU No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, terdapat dua cara dalam, yaitu jalur litigasi dan non-litigasi. Lembaga penyelesaian sengketa melalui jalur non-litigasi adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), Padatahun 2014  dibentuk Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI) untuk menangani sengketa nasabah dan bank .Melihat fenomena keberadaan BPSK dan LAPSPI, maka menjadi hal yang menarik untuk dilakukan penelitian terkait. Sehingga diharapkan, hasil dari proses penelitian dan pengkajian tersebut dapat memaparkan wewenang, fungsi dan dasar hukum keberadaan BPSK maupun LAPSPI., Berkenaan dengan hal tersebut penulis mengangkat judul tesis ?KajianHukum Proses Penyelesaian Sengketa Nasabah  Dan Bank Pada Perspektif Kelembagaan Perlindungan Konsumen?. Adapun yang menjadi rumusan masalahnya adalah Bagaimana kewenangan BPSK dalam kaitannya dengan keberadaan lembaga LAPSPI dan dasar hukum untuk keberadaan BPSK dan LAPSPI?Metodepenelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan Pendekatan yuridis - normatif yang menggunakan data sekunder dalam ruang lingkup hukum penyelesaian sengketa. Pendekatan lain yang digunakan ialah pendekatan analisis substansi hukum (legal content analysis) mengenai dasar hukum, implementasi penyelesaian sengketa nasabah dengan bank yang dilakukan oleh BPSK dan LAPSPI serta kewenangan BPSK dalam kaitannya dengan keberadaan lembaga LAPSPITeknik Pengumpulan data dengan cara kepustakaan yaitu studi literature terhadap undang - undang, buku, jurnal - jurnal, makalah laporan penelitian (tesis), arsip atau dokumen legal pemerintah, dan pengamatan terhadap contoh-contoh kasus mengenai sengketa perbankan yang terjadi di wilayah Indoneisa, khususnya Kota Cirebon. Berdasarkan hasil penelitian menunjukan LAPSPI yang focus menangani sengketa perbankan akan menjadi prioritas pertama sebagai Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan. BPSK akan menjadi second choice yang menangani kasus ? kasus perbankan dengan tingkat kesulitan yang lebih rendah dibanding LAPSPI (sebatas mediasi) karena kendala lokasi LAPSPI di Jakarta dansosialisasi yang intensif keberadaan BPSK dan LAPSI karena banyak masyarakat  yang belum tahu keberadaan  BPSK dan LAPSPI
PENEGAKAN HUKUM PERATURAN DAERAH NOMER 2 TAHUN 2016 TENTANG PENATAAN DAN PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI LIMA Sayidatusiap, Abu; Sutarih, Ayih; Waluyadi, Waluyadi
HERMENEUTIKA : Jurnal Ilmu Hukum Vol 3, No 2 (2019): HERMENEUTIKA : Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Sekolah Pascasarjana Universitas Swadaya Gunung Jati

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (73.684 KB) | DOI: 10.33603/hermeneutika.v3i2.2602

Abstract

Metode penelitian yang digunankan adalah yuridis-normatif yaitu hukum dikonsepsikan sebagainorma-norma, kaidah-kaidah, dan asas-asas atau dogma-dogma. Pendekatan Yuridis-Normatif dikenal pula dengan istilah pendekatan/penelitian doctrinal atau penelitian hokum normatif penegakan hukum peraturan daerah bagi pedagang kaki lima di jalan sukalila kota Cirebon tidak berjalan efektif dikarenakan pedagang kaki lima masih berjualan disepanjang trotoar pemerintah kota Cirebon tidak memberikan penetapan lokasi berjualan maupun memberikan pembinaan dan pengawasan yang seharusnya dilakukan oleh penegak hukum daerah yaitu satuan polisi pamong praja  serta kurangnya sosialisasi rutin bagi pedagang kaki lima dan akibat hukum bagi pelanggaran peraturan daerah bagi pedagang kali lima sesuai dengan peraturan daerah kota Cirebon yang tertuang dalam pasal 34 setiap PKL yang melanggar pearaturan daerah dikenakan sanksi adminitratif yang berupa sanksi teguran lisan, teguran tertulis sarta pencabutan tanda daftar usaha dalam dalam pasal 37 ketentuan pidana bagi pelanngaran PKL yang dengan sengaja memperjualbelikan tempat usaha dan membangun membangun tempat usaha secara permanen sanksi pidana bagi PKL tersubut maksimal kurungan tiga bulan.
SINKRONISASI PENGATURAN PELIMPAHAN WEWENANG TINDAKAN MEDIS KEPADA PERAWAT UNTUK PELAYANAN KESEHATAN DI RUMAH SAKIT Sutarih, Ayih
HERMENEUTIKA : Jurnal Ilmu Hukum Vol 2, No 1 (2018): HERMENEUTIKA : Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Sekolah Pascasarjana Universitas Swadaya Gunung Jati

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (712.85 KB) | DOI: 10.33603/hermeneutika.v2i1.1112

Abstract

Kejadian yang merugikan pasien yang dilakukan perawat yang tidak melaksanakanpelimpahan wewenang dari tenaga medis. Rumusan masalahnya adalah bagaimanakahregulasi ,kendala dan solusi, serta sinkronisasi peraturan perundang-undanganpelimpahan wewenang tindakan medis kepada perawat dalam pelayanan kesehatan dirumah sakit. Tujuan penelitian ini untuk menganalisa tentang regulasi pelimpahanwewenang tindakan medis kepada perawat. Penelitian ini menggunakan pendekatanyuridis normatif. Temuan penelitian menunjukkan sudah ada regulasi pelimpahanwewenang tindakan medis kepada perawat,yaitu pada Undang-Undang No. 38 Thun 2014Tentang Keperawatan, Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan,dan Permenkes 1239/Menkes/SK/XI/2001 Tentang Registrasi dan Praktek Perawat. Padapelaksaannya banyak mengalami kendala terutama kurang sosialisasi peraturanperundang-undangan yang mengatur pelimpahan wewenang, dan juga ketidaksinkronanperaturan perundang-undangan tersebut. Pelimpahan wewenang tindakan medis kepadaperawat dari pemahaman delegans/mandans yaitu dokter dan delegetaris/mandataris yaituperawat khususnya penyelesaian perkara dan upaya perlindungan pasien (safety patien)perlu ditindaklanjuti riset-riset lanjutan.
IMPLIKASI USAHA PENAMBANG GALIAN C TERHADAP DEGRADASI KUALITAS MUTU LINGKUNGAN HIDUP SUNGAI (Studi Kasus Kecamatan Palasah Kabupaten Majalengka) Sutrisno, Endang; Sutarih, Ayih; Artadi, Ibnu
Jurnal Hukum Bisnis Bonum Commune Volume 3, Nomor 1 Februari 2020
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3326.019 KB) | DOI: 10.30996/jhbbc.v3i1.2685

Abstract

Quarrying C Mining Activities, which are carried out by residents in the river area in Majalengka Regency, are mining sand individually or in groups in the form of traditional micro and medium enterprises. The existence of the business is carried out with various limitations namely minimal technology, the existence of limited human resources, small capital aspects and activities carried out by ignoring the licensing factor by referring to Law Number 4 of 2009 concerning Mineral and Coal Mining. Traditional miners must have a People's Mining License (IPR) granted by the local Regional Government. The fact is that the mining activities are carried out without a permit and public policies are needed from the continuous support of the local government to maintain the environmental quality of the river basin. The formulation of the problem is how is the implementation of Majalengka District Government's policy to maintain the quality of the river's environmental quality? And how is the legal understanding of traditional illegal miners in the District of Palasah Majalengka Regency to build awareness and legal compliance? This study uses the hermeneutic paradigm with the aim of understanding the interaction of actors who are involved or involved themselves in a social process, including social processes that are relevant to legal issues. The so-called actors in this research are the traditional illegal miners in Palasah Sub-District, Majalengka Regency. The legal basis for local community control of sand mining activities carried out naturally and is handed down for more than 50 (fifty) years. However, the legal basis for the control is not enough, in this case the people conducting sand mining must have a People's Mining License (IPR) granted by the local government as regulated in Article 1 paragraph (10) of Law No. 4 of 2009 concerning Mineral and Coal Mining.Kegiatan Penambangan Galian C, yang dilakukan oleh penduduk di kawasan sungai di Kabupaten Majalengka yaitu penambangan pasir secara perorangan atau berkelompok dalam bentuk usaha kecil mikro dan menengah secara tradisional. Eksistensi usaha tersebut dilakukan dengan berbagai keterbatasan yaitu minim teknologi, keberadaan sumber daya manusia yang terbatas, aspek permodalan kecil serta kegiatan yang dilakukan dengan mengabaikan faktor perizinan dengan merujuk kepada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.  Penambang tradisioanl harus mempunyai Izin Pertambangan Rakyat (IPR) yang diberikan oleh Pemerintah Daerah setempat. Faktanya aktivitas penambangan tersebut, dilakukan tanpa adanya izin dan dibutuhkan kebijakan publik dari keberpihakan Pemerintah Daerah setempat secara berkesinambungan untuk menjaga kualitas lingkungan hidup kawasan sungai. Rumusan masalahnya bagaimanakah implementasi kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Majalengka untuk menjaga kualitas mutu lingkungan hidup sungai? Dan bagaimanakah  pemahaman hukum penambang liar tradisional di Kecamatan Palasah Kabupaten Majalengka untuk membangun kesadaran dan kepatuhan hukum? Penelitian ini menggunakan paradigma hermeneutika dengan tujuan untuk memahami interaksi para aktor yang tengah terlibat atau melibatkan diri ke dalam suatu proses sosial, termasuk proses-proses sosial yang relevan dengan permasalahan hukum. Yang disebut aktor dalam penelitian ini adalah para penambang liar tradisional yang ada di Kecamatan Palasah Kabupaten Majalengka. Dasar hukum penguasaan oleh masyarakat lokal atas kegiatan penambangan pasir yang dilakukan yang terjadi secara alamiah dan turun temurun selama 50 (lima puluh) tahun lebih. Akan tetapi, dasar hukum penguasaan tersebut tidaklah cukup, dalam hal ini masyarakat yang melakukan penambangan pasir harus mempunyai Izin Pertambangan Rakyat (IPR) yang diberikan oleh Pemerintah Daerah setempat sebagaimana yang diatur  dalam Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara
PERALIHAN KEPEMILIKAN KENDARAAN BERMOTOR (ANGKUTAN KOTA) DARI PERORANGAN MENJADI BADAN HUKUM (Studi pada Dinas Perhubungan Kota Cirebon) Vivied Novidia Anugrah; Ayih Sutarih
Hukum Responsif Vol 9, No 1 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Swadaya Gunung Jati

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33603/responsif.v9i1.5038

Abstract

Usaha angkutan kota saat ini mayoritas tidak berbentuk badan hukum melainkan masih kepemilikan perorangan. Penelitian ini mempergunakan Metode Yuridis Normatif yaitu pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama dengan cara menelaah teori, konsep, asas hukum serta peraturan perundang-undangan. Sumber bahan hukum yang digunakan ialah Primer, yaitu rancangan Undang-Undang dan peraturan lainnya. Sekunder, yaitu berupa bahan hukum yang bukan merupakan dokumen resmi tetapi mempunyai korelasi untuk mendukung penelitian ini. Bahan hokum tersier adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan sekunder. Hasil penelitian yang didapat untuk menjawab rumusan masalah yaitu sebagai berikut, bahwa peralihan kepemilikan angkutan kota ada dua pilihan yaitu dengan mendirikan badan hukum atau bergabung pada Koperasi Kowatron yang dibina ORGANDA. Proses peralihannya dengan balik nama pada STNK angkot tersebut dari perseorangan menjadi atas nama koperasi. Sedangkan akibat hukum yang diperoleh apabila angkutan kota tidak menjadi badan hukum yaitu pencabutan ijin trayek. Masih banyak angkutan kota yang belum berbadan hukum dikarenakan pemilik pengusaha kurang mengetahui prinsip-prinsip dasar dan arti pentingnya badan hukum sehingga banyak keraguan dari pengusaha jika menjadi badan hukum. Maka dari itu seharusnya Dinas Perhubungan lebih memaksimalkan sosialisasi dan pembinaan untuk para pemilik angkutan kota yang belum bergabung pada badan hukum.
SINKRONISASI PENGATURAN PELIMPAHAN WEWENANG TINDAKAN MEDIS KEPADA PERAWAT UNTUK PELAYANAN KESEHATAN DI RUMAH SAKIT Ayih Sutarih
HERMENEUTIKA : Jurnal Ilmu Hukum Vol 2, No 1 (2018): HERMENEUTIKA : Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Sekolah Pascasarjana Universitas Swadaya Gunung Jati

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33603/hermeneutika.v2i1.1112

Abstract

Kejadian yang merugikan pasien yang dilakukan perawat yang tidak melaksanakanpelimpahan wewenang dari tenaga medis. Rumusan masalahnya adalah bagaimanakahregulasi ,kendala dan solusi, serta sinkronisasi peraturan perundang-undanganpelimpahan wewenang tindakan medis kepada perawat dalam pelayanan kesehatan dirumah sakit. Tujuan penelitian ini untuk menganalisa tentang regulasi pelimpahanwewenang tindakan medis kepada perawat. Penelitian ini menggunakan pendekatanyuridis normatif. Temuan penelitian menunjukkan sudah ada regulasi pelimpahanwewenang tindakan medis kepada perawat,yaitu pada Undang-Undang No. 38 Thun 2014Tentang Keperawatan, Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan,dan Permenkes 1239/Menkes/SK/XI/2001 Tentang Registrasi dan Praktek Perawat. Padapelaksaannya banyak mengalami kendala terutama kurang sosialisasi peraturanperundang-undangan yang mengatur pelimpahan wewenang, dan juga ketidaksinkronanperaturan perundang-undangan tersebut. Pelimpahan wewenang tindakan medis kepadaperawat dari pemahaman delegans/mandans yaitu dokter dan delegetaris/mandataris yaituperawat khususnya penyelesaian perkara dan upaya perlindungan pasien (safety patien)perlu ditindaklanjuti riset-riset lanjutan.
KAJIAN HUKUM PROSES PENYELESAIAN SENGKETA NASABAH DAN BANK PADA PERSPEKTIF KELEMBAGAAN PERLINDUNGAN KONSUMEN Saptaji Saptaji; Endang Sutrisno; Ayih Sutarih
HERMENEUTIKA : Jurnal Ilmu Hukum Vol 3, No 1 (2019): HERMENEUTIKA : Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Sekolah Pascasarjana Universitas Swadaya Gunung Jati

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33603/hermeneutika.v3i1.2008

Abstract

Berdasarkanpasal 45 UU No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, terdapat dua cara dalam, yaitu jalur litigasi dan non-litigasi. Lembaga penyelesaian sengketa melalui jalur non-litigasi adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), Padatahun 2014  dibentuk Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI) untuk menangani sengketa nasabah dan bank .Melihat fenomena keberadaan BPSK dan LAPSPI, maka menjadi hal yang menarik untuk dilakukan penelitian terkait. Sehingga diharapkan, hasil dari proses penelitian dan pengkajian tersebut dapat memaparkan wewenang, fungsi dan dasar hukum keberadaan BPSK maupun LAPSPI., Berkenaan dengan hal tersebut penulis mengangkat judul tesis “KajianHukum Proses Penyelesaian Sengketa Nasabah  Dan Bank Pada Perspektif Kelembagaan Perlindungan Konsumen”. Adapun yang menjadi rumusan masalahnya adalah Bagaimana kewenangan BPSK dalam kaitannya dengan keberadaan lembaga LAPSPI dan dasar hukum untuk keberadaan BPSK dan LAPSPI?Metodepenelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan Pendekatan yuridis - normatif yang menggunakan data sekunder dalam ruang lingkup hukum penyelesaian sengketa. Pendekatan lain yang digunakan ialah pendekatan analisis substansi hukum (legal content analysis) mengenai dasar hukum, implementasi penyelesaian sengketa nasabah dengan bank yang dilakukan oleh BPSK dan LAPSPI serta kewenangan BPSK dalam kaitannya dengan keberadaan lembaga LAPSPITeknik Pengumpulan data dengan cara kepustakaan yaitu studi literature terhadap undang - undang, buku, jurnal - jurnal, makalah laporan penelitian (tesis), arsip atau dokumen legal pemerintah, dan pengamatan terhadap contoh-contoh kasus mengenai sengketa perbankan yang terjadi di wilayah Indoneisa, khususnya Kota Cirebon. Berdasarkan hasil penelitian menunjukan LAPSPI yang focus menangani sengketa perbankan akan menjadi prioritas pertama sebagai Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan. BPSK akan menjadi second choice yang menangani kasus – kasus perbankan dengan tingkat kesulitan yang lebih rendah dibanding LAPSPI (sebatas mediasi) karena kendala lokasi LAPSPI di Jakarta dansosialisasi yang intensif keberadaan BPSK dan LAPSI karena banyak masyarakat  yang belum tahu keberadaan  BPSK dan LAPSPI
PENEGAKAN HUKUM PERATURAN DAERAH NOMER 2 TAHUN 2016 TENTANG PENATAAN DAN PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI LIMA Abu Sayidatusiap; Ayih Sutarih; Waluyadi Waluyadi
HERMENEUTIKA : Jurnal Ilmu Hukum Vol 3, No 2 (2019): HERMENEUTIKA : Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Sekolah Pascasarjana Universitas Swadaya Gunung Jati

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33603/hermeneutika.v3i2.2602

Abstract

Metode penelitian yang digunankan adalah yuridis-normatif yaitu hukum dikonsepsikan sebagainorma-norma, kaidah-kaidah, dan asas-asas atau dogma-dogma. Pendekatan Yuridis-Normatif dikenal pula dengan istilah pendekatan/penelitian doctrinal atau penelitian hokum normatif penegakan hukum peraturan daerah bagi pedagang kaki lima di jalan sukalila kota Cirebon tidak berjalan efektif dikarenakan pedagang kaki lima masih berjualan disepanjang trotoar pemerintah kota Cirebon tidak memberikan penetapan lokasi berjualan maupun memberikan pembinaan dan pengawasan yang seharusnya dilakukan oleh penegak hukum daerah yaitu satuan polisi pamong praja  serta kurangnya sosialisasi rutin bagi pedagang kaki lima dan akibat hukum bagi pelanggaran peraturan daerah bagi pedagang kali lima sesuai dengan peraturan daerah kota Cirebon yang tertuang dalam pasal 34 setiap PKL yang melanggar pearaturan daerah dikenakan sanksi adminitratif yang berupa sanksi teguran lisan, teguran tertulis sarta pencabutan tanda daftar usaha dalam dalam pasal 37 ketentuan pidana bagi pelanngaran PKL yang dengan sengaja memperjualbelikan tempat usaha dan membangun membangun tempat usaha secara permanen sanksi pidana bagi PKL tersubut maksimal kurungan tiga bulan.
Legal Liability in E-Commerce Agreements through the Cash on Delivery Payment System Gusti Yosi Andri; Ayih Sutarih; Vivi Aulia Syaharanti; Endang Sutrisno
HERMENEUTIKA : Jurnal Ilmu Hukum Vol 6, No 2 (2022): HERMENEUTIKA : Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Sekolah Pascasarjana Universitas Swadaya Gunung Jati

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33603/hermeneutika.v6i2.7489

Abstract

The online sale and purchase agreement is in principle the same as the conventional sale and purchase agreement. The difference is only in the medium, where the seller and the buyer do not meet directly (face to face) and payment and delivery of goods is determined according to the agreement in the provisions of article 1458 of the Civil Code. The problem to be studied is the legal construction in online buying and selling with COD payments and the responsibilities of the parties involved in buying and selling online. The method used is a normative juridical research with qualitative descriptive analysis. The results of the study can be explained that the legal construction of online buying and selling made in an electronic contract through an electronic system is a manifestation of the agreement of the parties as formulated in Article 47 PP PSTE Number 82 of 2012. With the validity of the electronic contract, the provisions of Article 1338 of the Civil Code will apply where the agreement made is valid will bind the parties, so that rights and obligations arise where the seller is obliged to send the ordered goods and the buyer must pay the agreed price. Because it is done online, the delivery of goods requires the services of a third party, namely an expedition service. Thus there are three different responsibilities, namely the seller is responsible for the suitability of the goods that have been ordered, the buyer is responsible for payment for the goods, and the expedition is responsible for delivering the goods safely. so that rights and obligations arise where the seller is obliged to send the ordered goods and the buyer must pay the agreed price. Because it is done online, the delivery of goods requires the services of a third party, namely an expedition service. Thus there are three different responsibilities, namely the seller is responsible for the suitability of the goods that have been ordered, the buyer is responsible for payment for the goods, and the expedition is responsible for delivering the goods safely. so that rights and obligations arise where the seller is obliged to send the ordered goods and the buyer must pay the agreed price. Because it is done online, the delivery of goods requires the services of a third party, namely an expedition service. Thus there are three different responsibilities, namely the seller is responsible for the suitability of the goods that have been ordered, the buyer is responsible for payment for the goods, and the expedition is responsible for delivering the goods safely.
Legal Analysis of the Freedom of Contract Principle in Lease Contracts between the Director General of Civil Aviation and Private Flight Schools Pandini Febrianti Islami Putri, Intan; Sutrisno, Endang; Sutarih, Ayih
Jurnal Legisci Vol 1 No 1 (2023): Vol 1 No 1 Agustus 2023
Publisher : Ann Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62885/legisci.v1i1.15

Abstract

In accordance with an open system, everyone is permitted to enter into an agreement so long as it is founded on good faith, according to Indonesian treaty law. This approach is not entirely relevant in the practice of lease agreements held by the government (Director General of Civil Aviation) with private parties (Private Flight Schools), as the lease agreement was made in a way that the terms were made by default. In order to collect secondary data in the form of primary and secondary legal materials, this research employs a normative juridical approach, law-based research as norms and rules that are both written and unwritten through literary studies, and document studies. The findings revealed that the format of common lease agreements negotiated between the government (Director General of Civil Aviation) and private parties (Private Flight Schools) was subject to constraints. This demonstrates how the idea of complete contract freedom is not being applied. The posture or bargaining position between the parties to the agreement is not balanced, which gives the airport with a stronger position options. As a result, the airport's rules and regulations have an impact on the tenant's rights.