Corruption in Indonesia is governed by Law No. 31 of 1999 on the Eradication of Corruption (UUTPK). However, the criminal liability provisions for foreign corporations or Multinational Corporations (MNCs) remain ambiguous, as the law primarily focuses on individual offenses. The enactment of Law No. 1 of 2023 concerning the Criminal Code (KUHP) has not introduced substantial changes, as it merely codifies existing regulations. Under rational choice theory, MNCs are likely to engage in corrupt practices if the benefits outweigh the risks. This study addresses two key issues: What is the current status of Indonesia’s anti-corruption regime? How is the rational choice theory applied in law enforcement against multinational corporations? The research adopts a normative juridical approach, relying on literature review data. The findings reveal that the weaknesses in the UUTPK create legal loopholes that MNCs can exploit to evade criminal liability. Legislators should differentiate between individual and corporate criminal liability and establish an appropriate legal framework for MNCs. The study proposes the imposition of direct sanctions, such as hefty fines, operational restrictions, or business license revocations, as a way to strengthen law enforcement without the need for additional evidence once public official corruption is proven. These sanctions would function as both deterrents and corrective measures, compelling corporations to be more cautious in decision-making and fostering a more transparent business environment. AbstrakTindak pidana korupsi di Indonesia diatur melalui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUTPK). ketentuan mengenai tanggung jawab pidana korporasi asing atau Multinational Corporations (MNC) masih belum jelas, karena lebih berfokus pada pelanggaran individu. Kehadiran Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP tidak membawa perubahan mendasar, karena bersifat kodifikasi dari peraturan yang sudah ada. Dalam konteks teori pilihan rasional, MNC akan melakukan korupsi jika manfaat yang diperoleh lebih besar daripada risiko yang ditimbulkan. Rumusan masalah yang dibahas meliputi Bagaimana eksistensi rezim anti-korupsi di Indonesia? Bagaimana penerapan teori pilihan rasional dalam penegakan hukum terhadap korporasi multinasional?. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan sumber data kajian kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lemahnya pengaturan dalam UUTPK memungkinkan MNC mengeksploitasi celah hukum untuk menghindari berbuat pidana. Legislator perlu untuk mempertimbangkan perbedaan tanggung jawab pidana individu dan korporasi serta mengembangkan kerangka hukum yang sesuai untuk kororasi multinasional. Penerapan sanksi pidana yang langsung, seperti denda besar, pembatasan operasional, atau pencabutan izin usaha, sebagai solusi memperkuat penegakan hukum tanpa perlu pembuktian ulang jika korupsi yang dilakukan pejabat publik terbukti. Sanksi berfungsi sebagai pencegahan dan perbaikan, memaksa korporasi berhati-hati dalam mengambil keputusan dan menciptakan lingkungan bisnis yang lebih transparan.