Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEWENANGAN PRESIDEN DALAM MEMBENTUK UNIT KERJA PRESIDEN BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN muhammad ridho; Muhammad Amin
Limbago: Journal of Constitutional Law Vol. 1 No. 3 (2021)
Publisher : Universitas Jambi, Fakultas Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (600.865 KB) | DOI: 10.22437/limbago.v1i3.16211

Abstract

Abstract This study aims to determine the limits of the President's authority in establishing the Presidential Work Unit and the relationship between the Presidential Work Units and the legal consequences of the judicial process with other institutions. The results show that, not necessarily because Indonesia adheres to the “supreme constitution,” everything the President does if it is not prohibited (textually) by the constitution is constitutional. It should be understood that we adhere to "constitutional supremacy" and understand "democracy," or what is also called a "constitutional democracy". So every policy, whether it is a product of legislation or other political policies, must be in line with the values ​​of the community or in line with the wishes of the people. so the limit of the President's authority to make any policy is to see whether the policy steps that will be taken are in accordance with constitutional democracy, if not it is not in line then it is a limitation that the President cannot do that. Then, the institutional relationship between UKP4 and the State Ministry, Cabinet Secretariat as well as between the Legal Mafia Eradication Task Force and law enforcement agencies such as the KPK, the Police, and the Prosecutor's Office, has the potential for overlapping authorities in the practice of government administration and law enforcement. Keywords: President's Authority, President's Work Unit, Constitutional Democracy ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui batasan kewenangan Presiden dalam membentuk Unit Kerja Presiden dan hubungan Unit Kerja Presiden bagaimana akibat hukum dari proses dari proses yuridis tersebut dengan lembaga lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, tidak serta merta karena Indonesia menganut “supreme konstitusi,” segala sesuatu yang Presiden lakukan jika itu tidak dilarang (secara tekstual) oleh konstitusi adalah konstitusional. Perlu dipahami bahwa kita menganut “supreme konstitusi” dan paham “demokrasi,” atau yang juga disebut “Negara demokrasi konsitusional”. Jadi setiap kebijakan baik itu berupa produk Peraturan Perundang-Undangan atau kebijakan politik lainnya harus sesuai/sejalan dengan nilai-nilai masyarakat atau sejalan dengan keinginan rakyatnya. jadi batasan kewenangan Presiden untuk membuat kebijakan apapun adalah dengan melihat apakah langkah kebijakan yang akan dilakukan sesuai dengan demokrasi konstitusional, jika tidak itu tidak sejalan maka itu merupakan batasan bahwa Presiden tidak bisa melakukan hal tersebut. Kemudian, hubungan kelembagaan antara UKP4 dengan Kementerian Negara, Sekretariat Kabinet maupun antara Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum dan lembaga penegakan hukum seperti KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan, sangat berpotensi untuk terjadinya tumpang-tindih kewenangan di dalam praktik penyelenggaraan pemerintah dan penegakan hukum. Kata Kunci: Kewenangan Presiden, Unit Kerja Presiden, Demokrasi Konstitusional
Kewenangan Pemerintah Dalam Penetapan Karantina Wilayah dan Pembatasan Sosial Berskala Besar Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan topan jaya putra; Muhammad Amin
Limbago: Journal of Constitutional Law Vol. 2 No. 1 (2022)
Publisher : Universitas Jambi, Fakultas Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (501.644 KB) | DOI: 10.22437/limbago.v2i1.17871

Abstract

Penelitian ini bertujuan 1) untuk mengetahui dan menganalisis kewenangan pemerintah pusat terhadap penetapan karantina wilayah dan pembatasan sosial berskala besar ditinjau dari peraturan perundang-undangan; 2) untuk mengetahui dan menganalisis implikasi hukum kewenangan pemerintah pusat terhadap penetapan karantina wilayah dan pembatasan sosial berskala besar terhadap aspek hak asasi manusia. Metode penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) kewenangan pemerintah pusat terhadap penetapan karantina wilayah dan pembatasan sosial berskala besar ditinjau dari peraturan perundang-undangan diharapkan adanya harmonisasi kebijakan perlindungan hak kesehatan dan hak ekonomi secara bersamaan sehingga terjadi usaha penyelamatan nyawa dan kesehatan warga negara, dibanding penyelamatan ekonomi pemilik modal saja; 2) implikasi hukum kewenangan pemerintah pusat terhadap penetapan karantina wilayah dan pembatasan sosial berskala besar terhadap aspek hak asasi manusia bahwa pembatasan Hak Asasi Manusi dalam keadaan darurat dapat diperbolehkan secara hukum, namun hak asasi manusia yang dapat dilakukan pembatasan yakni hak asasi manusia yang masuk dalam golongan derogable right (hak yang dapat dibatasi pemenuhannya), tidak dibenarkan pembatasan terhadap hak asasi manusia yang masuk dalam golongan non-derogable right (hak yang tidak dapat dibatasi pemenuhannya dalam keadaan apapun). . Kata kunci: Kewenangan, Pemerintah, Penetapan Karantina Wilayah, Pembatasan Sosial Berskala Besar.
ANALISIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 57 P/HUM/2019 TENTANG PERGANTIAN ANTAR WAKTU ANGGOTA LEGISLATIF Aan Marriansah; A Zarkasi; Muhammad Amin
Limbago: Journal of Constitutional Law Vol. 2 No. 2 (2022)
Publisher : Universitas Jambi, Fakultas Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (288.363 KB) | DOI: 10.22437/limbago.v2i2.19130

Abstract

Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan pergantian antar waktu berdasarkan perolehan suara terbanyak dan calon kader terbaik dalam peraturan perundang-undangan dan Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 57 P/HUM/2019 tentang pergantian antar waktu anggota legislatif. Metode Penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normative dan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan konseptual (Conceptual Approach), pendekatan perundang-undangan (normative approach) dan pendekataan kasus. Hasil penelitian adalah Pengaturan Penggantian Antar Waktu diatur dalam UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, Undang- UU No. 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, UU No. 08 Tahun 2012, UU No. 17 Tahun 2014, dan UU No. 23 Tahun 2014. Tercantum pada pasal 139 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014 menyatakan : Anggota DPRD berhenti Antarwaktu karena meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan. Dan Putusan tersebut berakibat dapat disalahpahami oleh pemohon maupun termohon. Memang yang menjadi permohonan oleh pemohon yang menjadi satu-satunya yang ditolak dalam putusan ini bukan menjadi kewenangan Mahkamah Agung, tapi tetap ini menjadi problem. Menurut peneliti Mahkamah Agung kurang teliti didalam pertimbangannya terkait hal tersebut, seharusnya hal tersebut menjadi poin penting, dikarenakan Komisi Pemilihan Umum yang menjalankan Putusan tersebut. Maka akan terjadi gesekan antar Partai Politik pengusung dengan Komisi Pemilihan Umum. Pertimbangan-pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung pada pada putusannya, menjadikan pasal Pasal 54 ayat (5) huruf k dan l juncto Pasal 55 ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum, dan Pasal 92 huruf a Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 4 Tahun 2019 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan Penetapan Hasil Pemilihan Umum terbukti bertentangan dan bertolak belakang dengan ketentuan didalam Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum dan tidak memiliki kekuatan hukum tetap.
ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP PEMUNGUTAN SUARA ULANG PEMILIHAN KEPALA DAERAH BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Yos Trio; A Zarkasi; Muhammad Amin
Limbago: Journal of Constitutional Law Vol. 2 No. 3 (2022)
Publisher : Universitas Jambi, Fakultas Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (611.712 KB) | DOI: 10.22437/limbago.v2i3.19131

Abstract

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi terhadap pemungutan suara ulang dalam pemilihan kepala daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan. Rumusan masalah yang digunakan adalah: 1) Bagaimana pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan pelaksanaan pemungutan suara ulang dalam pemilihan kepala daerah, 2) Bagaimana konsekuensi dari putusan Mahkamah Konstitusi dalam pelaksaan pemungutan suara ulang dalam Pemilihan Kepala Daerah. Metode penelitian yang digunakan adalah metode hukum yuridis normatif yang mana penelitian ini berfokus pada Peraturan Perundang-Undangan. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah Pendekatan Konseptual Conceptual Approach), Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach), Pendekatan Kasus (Case Approach). Hasil penelitian menunjukkan Putusan Mahkamah Konstitusi telah sesuai peraturan perundang-undangan terkait Pemilukada karena Pemohon memiliki kewenangan menurut hukum mengajukan ke Mahkamah Konstitusi karena terbukti terjadi kecurangan dimana pemilih yang tidak terdaftar diberikan kesempatan dalam memilih karena melawan hukum yang harus dilakukan pemungutan suara ulang agar hasil perolehan suara dapat diakui oleh Pemohon sesuai asa Pemilukada yang demokratis. Konsekuensi dari putusan Mahkamah Konstitusi berdampak pada pemiliha Kepala Daerah yang harus dilakukan pemungutan suara ulang. Kesimpulan yang didapatkan dari penelitian ini bahwa Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dilakukan untuk memenuhi hak politik bagi salah satu pasangan calon yang tercurangi untuk mewujudkan Pemilukad yang demokratis. Dan konsekuensi yang didapatkan dari hasil itu harus dilakukan Pemungutan Suara Ulang.
KEWENANGAN TENTARA NASIONAL INDONESIA (TNI) DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME Nadya Azzahra; Syamsir Syamsir; Muhammad Amin
Limbago: Journal of Constitutional Law Vol. 2 No. 2 (2022)
Publisher : Universitas Jambi, Fakultas Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (211.057 KB) | DOI: 10.22437/limbago.v2i2.20640

Abstract

Abstract The authority of the Indonesian National Armed Forces (TNI) in eradicating criminal acts of terrorism in an effort to maintain the sovereignty of the Republic of Indonesia has been explicitly regulated in several laws and regulations. As regulated in Law Number 3 of 2002 concerning National Defense, Law Number 34 of 2004 concerning the Indonesian National Army, and Law Number 5 of 2018 concerning Eradication of Criminal Acts of Terrorism. However, in the implementation of the law relating to the involvement of the TNI in eradicating acts of terrorism as mandated in Article 341 of Law Number 5 of 2018 concerning the Eradication of Criminal Acts of Terrorism, it has not been authorized in a concrete way because it is constrained by the formation of a Presidential Regulation as an implementing regulation. The involvement of the Indonesian National Army has not been completed so far, so that the involvement of the Indonesian National Army (TNI) in combating acts of terrorism is still in the nature of assistance to the National Police Institution through State Political Policy, and the position of the Indonesian National Army is the main component in the State defense system as mandated in Law Number 3 of 2002 concerning National Defense in the context of carrying out defense tasks in Indonesia. Keywords: Authority, TNI, Terrorism Abstrak Kewenangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam pemberantasan tindak pidana terorisme dalam upaya menjaga kedaulatan NKRI secara eksplisit telah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Seperti diatur di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, Undang­Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, dan Undang­ undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Namun, dalam penerapan Undang-undang yang berkaitan dengan pelibatan TNI dalam pemberantasan aksi terorisme sebagaimana amanat pada pasal 341 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, belum dapat di kewenangan secara konkret di lapangan karena terkendala oleh pembentukan Perpres sebagai aturan pelaksanaan pelibatan Tentara Nasional Indonesia yang belum rampung sampai saat ini, sehingga pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam pemberantasan aksi terorisme masih bersifat perbantuan terhadap Institusi Polri melalui Kebijakan Politik Negara, dan Kedudukan Tentara Nasional Indonesia merupakan komponen utama dalam sistem pertahanan Negara sesuai yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dalam rangka melaksanakan tugas-tugas pertahanan di Indonesia. Kata Kunci : Kewenangan, TNI, Terorisme
KEDUDUKAN BADAN PEMUSYAWARATAN DESA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 (DI DESA LADANG PANJANG KECAMATAN SAROLANGUN KABUPATEN SAROLANGUN) deni reza kurniawan; Irwandi Irwandi; Muhammad Amin
Limbago: Journal of Constitutional Law Vol. 3 No. 1 (2023)
Publisher : Universitas Jambi, Fakultas Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/limbago.v3i1.22040

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan Badan Pemusyawaratan Desa (BPD) pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dengan Studi Kasus Di Desa Ladang Panjang Kecamatan Sarolangun Kabupaten Sarolangu. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah 1) Bagaimana Kedudukan Badan Pemusyawaratan Desa Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa? 2). Apa Saja Faktor Yang Menghambat Efektivitas Kinerja Badan Pemusyawaratan Desa Di Desa Ladang Panjang?. Metode penelitian adalah penelitan hukum empiris sebagai dukungan data yang digunakan yaitu dari data sekunder dan data primer dikumpulkan melalui studi keperpustakaan dan penelitian di lapangan. Dari Penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa Badan Badan Pemusyawaratan Desa (BPD) merupakan lembaga yang berkedudukan sebagai mitra Pemerintahan Desa dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa beserta Peraturan Pelaksannya. Kemudian mengenai Badan Pemusyawaratan Desa (BPD) di Desa Ladang Panjang mempuyai legitimasi yang kuat dan sudah melaksanakan fungsi-fungsinya. Namun dari hasil penelitian masih kurang optimalnya Badan Pemusyawaratan Desa (BPD) Desa Ladang Panjang ini dalam melaksanakan fungsi yang harus dilaksanakan karena faktor internal dan faktor eksternal.
KEDUDUKAN KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Darul Akbar; Muhammad Amin
Limbago: Journal of Constitutional Law Vol. 3 No. 2 (2023)
Publisher : Universitas Jambi, Fakultas Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/limbago.v3i2.18461

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis Kedudukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan serta untuk mengetahui Fungsi, Tugas, dan Wewenang Komisi Nasional Hak Manusia berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah Yuridis Normatif, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) adalah sebuah lembaga negara mandiri atau independen yang berstatus sebagai lembaga bantu ( State Auxiliary ).) dan memiliki kedudukan setingkat dengan lembaga negara lainnya dengan tujuan untuk mengembangkan kondisi yang kondusif dan meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Komnas HAM memiliki beberapa fungsi di beberapa Undang-undang-undangan seperti fungsi pengkajian, penelitian, pemantauan dan fungsi mediasi di Undang-undang No. 39 Tahun 1999, kemudian fungsi penyelidikan di Undang-undang No.26 Tahun 2000, dan fungsi pengawasan di Undang-undang -undang No.40 Tahun 2008.