Claim Missing Document
Check
Articles

Found 16 Documents
Search

Prospek Cyber Notary Sebagai Media Penyimpanan Pendukung Menuju Profesionalisme Notaris Syamsir Syamsir; elita rahmi; Yetniwati Yetniwati
Recital Review Vol. 1 No. 2 (2019): Volume 1 Nomor 2 Juli 2019
Publisher : Magister Kenotariatan, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (613.214 KB)

Abstract

Legal Procedure in the Implementation of Cyber ​​Notary in the future is closely related to legal development, community development and the development of science and technology. The development of technology and information is a phenomenon that continues to grow, can hardly be balanced with the development of law. Notary is a certain position that runs the profession in legal services to the community, needs to get protection and guarantees in order to achieve legal certainty. The development of technology and information is characterized by the era of informatics technology that introduces cyberspace, namely with the presence of Interconnected networks (Internet), this communication does not use media such as paper and the actual pens in Law are a tool for legal actions. In the Notary Protocol, there are minuta deeds in the form of a collection of documents which are State Archives that must be stored and maintained by a Notary and can be used as evidence in the event of legal actions in civil law. Digitally documenting (storage media) and CCTV as supporting documents for legal actions in signatories Contract agreements and as a Notary Protocol can be done using a computer / device and / or a computerized system or using the Internet. Computers are human tools in completing daily work, both personal work, in government and private offices. Storage media tools / equipment for decoding archives that are currently and are still being used in the form of diisket, laser disk, CD, DVD, HD-DVD and Blu-Ray, Memory Card, Memory Card, Flashdisk. USB Flash Drive, Hard Disk, External Hard Disk, and storage of data / documents Archives online, known as Cloud Storage. CCTV can be used as a supporting document for legal actions in signatories to contract agreements and as a notary protocol, because CCTV can record activities that are being carried out in the form of a video record, can store documents electronically and can connect objects to one another.
Polemik Penerapan Tanda Tangan Elektronik Dalam Pembuatan Akta Otentik Iqbal Anshori; Elita Rahmi; Syamsir Syamsir
Recital Review Vol. 4 No. 2 (2022): Volume 4 Nomor 2 Juli 2022
Publisher : Magister Kenotariatan, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/rr.v4i2.18863

Abstract

The purpose of this study is to find out and analyze about electronic signatures application in manufacture of authentic deeds reviewed from Indonesia legislation perspective and the validity of authentic deed that signed electronically. The legal issue that will be examined in this paper is existance of law conflict between Article 15 paragraph (3) Law Number 2 of 2014 concerning amendment to Law Number 30 of 2004 concerning Notary Position with Article 5 Juncto Article 6 Juncto Article 11 of Law Number 19 of 2016 concerning amendment to Law Number 11 of 2008 concerning electronic information and electronic regarding the use of electronic signatures in authentic deeds. The type of research in this research is normative juridical law research. The approach used in this research is the law approach, phylosophical law approach, and conceptual approach. The results of this research show if there is no explicit explanation about notary authority to make deeds electronically. That makes electronic deeds including electronic signatures on it based on the concept of cyber notary didn’t have perfect evidentiary power. The application of electronic signatures is very closely related to electronic deeds. However, the deeds manufacture must be conducted in front of authorized official. Thus, the deeds were manufacture and signed electronically are not considered authentic deeds but  privately made deed. Abstrak                                                      Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis mengenai penerapan tanda tangan elektronik dalam pembuatan akta otentik dri perspektif peraturan perundang-undangan di Indonesia dan keabsahan akta otentik yang ditanda tangani secara elektronik. Isu hukum yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah adanya konflik hukum antara Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dengan Pasal 5 Juncto Pasal 6 Juncto Pasal 11 Undang-Undang 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengenai penggunaan tanda tangan elektronik dalam akta otentik. Tipe penelitian dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pendekatan Undang-Undang (Statute Approach), Pendekatan Filosofis (philosophical approach), Pendekatan Konseptual (Conseptual Approach). Adapun hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa tidak ada penjelasan secara tegas tentang kewenangan notaris membuat akta secara elektronik. Hal itu mengakibatkan akta elektronik termasuk tanda tangan elektronik didalamnya berdasarkan konsep cyber notary tidak memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. Penerapan tanda tangan elektronik sangat erat hubungannya dengan akta elektronik. Akan tetapi pembuatan akta harus dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang. Sehingga, akta yang dibuat dan ditandatangani secara elektronik tidak dianggap sebagai akta otentik melainkan akta dibawah tangan.
PEMBUATAN AKTA RELAAS PADA RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM PERUSAHAAN NON TBK MELALUI TELEKONFERENSI M Jordan Pradana; Fauzi Syam; Syamsir Syamsir
Jurnal Indragiri Penelitian Multidisiplin Vol. 2 No. 2 (2022): Edisi Mei: Penelitian Multidisiplin
Publisher : Indra Institute Research & Publication

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58707/jipm.v2i2.156

Abstract

The General Meeting of Shareholders (GMS) can be held via video telekonferensi and other electronic media facilities based on Article 77 paragraph (1) of the Law on Limited Liability Companies (UUPT). In this case, it has been regulated in Law Number 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies and OJK Regulation Number 16 of 2020. However, the UUPT and POJK only regulates tbk companies, and does not regulate non-tbk companies, and does not explain the mechanism of the GMS. electronically. The aims of this research are: (1) To find out the arrangement for the implementation of the General Meeting of Shareholders of a Non Public Company through Telekonferensi in the perspective of legislation. (2) To find out the mechanism for the implementation of the General Meeting of Shareholders of a Non-Public Company and the form of the Deed of Minutes of Meeting by Telekonferensi.”
PEMBUATAN AKTA RELAAS PADA RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM PERUSAHAAN NON TBK MELALUI TELEKONFERENSI M Jordan Pradana; Fauzi Syam; Syamsir Syamsir
Selodang Mayang: Jurnal Ilmiah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Indragiri Hilir Vol 8 No 2 (2022): JURNAL SELODANG MAYANG
Publisher : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Indragiri Hilir Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47521/selodangmayang.v8i2.250

Abstract

The General Meeting of Shareholders (GMS) can be held via video telekonferensi and other electronic media facilities based on Article 77 paragraph (1) of the Law on Limited Liability Companies (UUPT). In this case, it has been regulated in Law Number 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies and OJK Regulation Number 16 of 2020. However, the UUPT and POJK only regulates tbk companies, and does not regulate non-tbk companies, and does not explain the mechanism of the GMS. electronically. The aims of this research are: (1) To find out the arrangement for the implementation of the General Meeting of Shareholders of a Non Public Company through Telekonferensi in the perspective of legislation. (2) To find out the mechanism for the implementation of the General Meeting of Shareholders of a Non-Public Company and the form of the Deed of Minutes of Meeting by Telekonferensi. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dapat dilaksanakan melalui video telekonferensi dan sarana media elektronik lainnya berdasarkan Pasal 77 ayat (1) Undang-undang tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Dalam hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Peraturan OJK Nomor 16 Tahun 2020. Namun dalam UUPT maupun POJK tersebut hanya mengatur mengenai perusahaan tbk, dan tidak mengatur mengenai perusahaan non-tbk, serta tidak menjelaskan mekanisme RUPS secara elektronik perusahaan non-tbk. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Untuk mengetahui Pengaturan Pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Non Terbuka melalui Telekonferensi dalam persepektif perundang-undangan. (2) Untuk mengetahui mekanisme pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Non Terbuka dan bentuk Akta Berita Acara Rapat Melalui Telekonferensi.”
ANALISIS SISTEM MULTIPARTAI TERHADAP SISTEM PAMERINTAHAN PRESIDENSIAL DI INDONESIA BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oga Hivasko Geri Oga; Syamsir
Limbago: Journal of Constitutional Law Vol. 1 No. 1 (2021)
Publisher : Universitas Jambi, Fakultas Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (507.435 KB) | DOI: 10.22437/limbago.v1i1.8644

Abstract

Sistem multi partai adalah salah satu varian dari beberapa sistem kepartaian yang berkembang di dunia modern saat ini. Sistem partai politik ini menjadi sebuah jaringan dari hubungan dan interakasi antara partai politik di dalam sebuah sistem politik yang berjalan. Di Indonesia, jumlah partai politik yang terlalu banyak merupakan salah satu faktor penyumbang tidak efektifnya sistem pemerintahan di Indonesia. Banyaknya partai politik yang ikut dalam pemilu menyebabkan koalisi yang dibangun untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden terlalu gemuk karena melibatkan banyak partai politik. Gemuknya koalisi ini mengakibatkan pemerintahan hasil koalisi tidak dapat berjalan efektif karena harus mempertimbangkan banyak kepentingan.
PENEMPATAN JABATAN APARATUR SIPIL NEGARA BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN2017 TENTANG MANAJEMEN PEGAWAINEGERI SIPIL Putri Diana; Syamsir Syamsir
Limbago: Journal of Constitutional Law Vol. 1 No. 2 (2021)
Publisher : Universitas Jambi, Fakultas Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (300.243 KB) | DOI: 10.22437/limbago.v1i2.13508

Abstract

Artikel ini berisi mengenai mekanisme penempatan asn
ANALISIS TERHADAP PERATURAN KAPOLRI NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGRI SIPIL Penti Zahara; Syamsir Syamsir
Limbago: Journal of Constitutional Law Vol. 1 No. 3 (2021)
Publisher : Universitas Jambi, Fakultas Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (373.044 KB) | DOI: 10.22437/limbago.v1i3.16198

Abstract

Abstract In disclosing a case, Civil Servant Investigators with Indonesian National Police Investigators really need the principle of coordination, the Coordination Principle in laws and regulations can be in the nature of coordination, supervision, capacity building and providing instructions. Supervision is the process of observing the implementation of all activities of Civil Servant Investigators in the context of carrying out an investigation that is being carried out which can be justified materially or formally. The Coordination function between Civil Servant Investigators and Polri Investigators aims to unite and adjust activities, connect with each other, involve and adjust activities, regarding linkages so that these activities become a work unit, Civil Servant Investigators as part of The Criminal Justice system has a good and harmonious working relationship with the Indonesian National Police Investigators. Keywords: Coordination, Supervision, Investigator Abstrak Dalam mengungkao suatu perkara, Penyidik Pegawai Negeri Sipil dengan Penyidik Kepolisian Republik Indonesia sangat memerlukan asas koordinasi, Asas Koordinasi di dalam peraturan Perundang-undangan dapat bersifat Koordinatif, pengawasan, pembinaan kemampuan serta pemberian petunjuk. Pengawasan adalah proses pengamatan dari pelaksanaan seluruh kegiatan Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam rangka pelaksanaan penyidikan yang sedang dilakukan dapat dibenarkan secara material maupun formil. Fungsi Koordinasi antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil dengan Penyidik Polri bertujuan untuk menyatukan dan menyesuaikan kegiatan-kegiatan, menghubungkan satu sama lain, menyangkut dan menyesuaikan kegiatan-kegiatan, menyangkut pautkan sehingga kegiatan-kegiatan tersebut menjadi suatu unit kerja, Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagai bagian dari sistem Peradilan Pidana mempunyai hubungan kerja yang baik dan harmonis dengan Penyidik Kepolisian Republik Indonesia. Kata Kunci : Koordinasi, Pengawasan, Penyidik
Analisis Terhadap Kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Ditinjau Dari Peraturan Perundang-Undangan M. Thalib; Syamsir Syamsir; Iswandi Iswandi
Limbago: Journal of Constitutional Law Vol. 2 No. 1 (2022)
Publisher : Universitas Jambi, Fakultas Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (585.659 KB) | DOI: 10.22437/limbago.v2i1.17451

Abstract

Abstract The purpose of this study is to determine and analyze the authority of the BPK in the Indonesian constitutional system based on the laws and regulations and to determine and analyze the authority of the BPK in conducting audits of state financial management and the laws and regulations in Indonesia. The research method used is a normative juridical method and the approach used is a conceptual approach and a normative approach. The results of the research are the basis for the formation of the BPK before the amendment to the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. also to DPD, DPRD, Central Government/Regional Government, Other State Institutions, Bank Indonesia, BUMN, Public Service Agency, BUMD, Foundation, and other institutions or bodies. The BPK is authorized by the 1945 Constitution to examine state finances and is responsible for managing state finances managed by state administrators. With the regulatory authority that is expressly delegated by legislators (legislative delegation of rule-making power) to BPK, then BPK can be said to have a very large and broad authority, covering the fields of regulation (legislative), implementation (executive), even the imposition of sanctions (judicial). This means who is at fault and responsible, and how much state financial losses must be accounted for, is determined by a BPK decision. Suggestions Expand full support from the government to BPK to make policy regulations that support the optimization of the role of BPK as an independent financial supervisory agency so that BPK has the flexibility and authority to realize its control function at every level of government in the scope of taxation and it is necessary to hold management training so that financial management more effective and efficient. This needs to be done to improve the image of BPK in the eyes of the Indonesian people. Keywords: Authority, Supreme Audit Agency. Abstrak Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui dan menganalisis kewenangan BPK dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan dan Untuk mengetahui dan menganalisis kewenangan BPK dalam melakukan pemeriksaan pengelolaan keuangan negara peraturan perundang-undangan di Indonesia. Metode Penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normative dan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan konseptual (Conceptual Approach) dan pendekatan perundang-undangan (normative approach). Hasil penelitian adalah Dasar Pembentukan BPK Sebelum Perubahan UUD NRI Tahun 1945 Sebelum adanya perubahan UUD NRI Tahun 1945, kedudukan BPK diakui dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia dalam hal ini Lingkup Kewenangan BPK pasca perubahan UUD 1945 menjadi lebih luas, selain dapat memberikan pendapat kepada DPR, tetapi juga kepada DPD, DPRD, Pemerintahan Pusat/Pemerintahan Daerah, Lembaga Negara Lain, Bank Indonesia, BUMN, Badan Layanan Umum, BUMD, Yayasan, dan Lembaga atau badan lain. BPK diberi wewenang oleh UUD 1945 untuk memeriksa keuangan negara dan tanggung jawab atas pengelolaan keuangan negara yang dikelola oleh para penyelenggara negara. Dengan adanya kewenangan regulasi yang secara tegas didelegasikan pembentuk undang-undang (legilslative delegation of rule-making power) kepada BPK, maka BPK dapat dikatakan memiliki kewenangan yang sangat besar dan luas, mencakup bidang-bidang pengaturan (legislatif), pelaksanaan (eksekutif), bahkan juga penjatuhan sanksi (yudikatif). Artinya siapa yang bersalah dan bertanggung jawab, dan berapa kerugian keuangan negara yang wajib dipertanggungjawabkan, ditentukan dengan keputusan BPK. Saran Diperluaskan dukungan yang penuh dari pemerintah kepada BPK untuk membuat regulasi kebijakan yang mendukung optimalisasi peran BPK sebagai lembaga pengawas keuangan yang mandiri sehingga BPK memiliki keleluasaan dan kewenangan untuk mewujdkan fungsi kontrolnya di setiap level pemerintahan dalam ruang lingkup perpajakan dan perlu diadakannya training management agar pengelolaaan keuangan libih efektif dan efisien. Hal ini perlu dilakukan untuk meningkatkan citra BPK di mata masyarakat Indonesia. Kata Kunci : Kewenangan, Badan Pemeriksa Keuangan.
PENGATURAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN KEPALA DESA DI INDONESIA Deki Azhari; Syamsir Syamsir; Firmansyah Putra
Limbago: Journal of Constitutional Law Vol. 2 No. 2 (2022)
Publisher : Universitas Jambi, Fakultas Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (210.605 KB) | DOI: 10.22437/limbago.v2i2.20380

Abstract

AbstrakThis study aims to analyze the arrangements regarding the settlement of disputes over the results of the Village Head Election. The Village Head Election is a forum to accommodate the aspirations of the village community in terms of politics as well as a means of changing leadership in the village government, but in the process there are often disputes in the implementation of village head elections caused by various kinds of fraud that occur such as the existence of prospective candidates who violate the requirements, process election and vote counting that is not honest and fair and the election committee acts unfairly and favors one of the candidates, and others. The election of village heads and their settlement has been regulated in UU No.6 Tahun 2014 concerning Villages which gives authority to the Regent/Mayor to settle disputes over the election of the village head, while the position of Regent/Mayor is a political position and is also included in the executive group, which should every disputes or disputes are resolved by the judiciary. Actually there is the most relevant solution to be applied in resolving disputes over the results of the village head election, namely through the "non-litigation" route as long as a clear legal umbrella is made from the legislators by revising the Village Law. The research method used is normative juridical and the approach used is a Conceptual Approach, a Normative Approach and a Historical Approach Kata Kunci: Pemilihan Kepala Desa, Penyelesaian Sengketa, Non-Litigasi AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk menganilisis tentang pengaturan mengenai pembayaran hasil Pemilihan Kepala Desa. Pemilihan Kepala Desa merupakan wadah untuk menampung aspirasi masyarakat dalam hal politik sebagai sarana pergantian kepemimpinan dalam pemerintahan desa, namun dalam prosesnya sering terjadi dalam penyelenggaraan pemilihan kepala desa yang disebabkan oleh berbagai macam pelanggaran yang terjadi seperti adanya calon yang dan penghitungan suara yang tidak jujur ​​dan adil serta panitia pemilihan yang bertindak tidak adil dan memihak kepada salah satu calon, dan lain-lain. Pemilihan kepala desa dan penyelesaiannya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Keputusan Bupati/Walikota untuk menyelesaikan pemilihan kepala desa, sedangkan jabatan Bupati/Walikota adalah jabatan dan juga termasuk golongan eksekutif, yang mana setiap sengketa atau diselesaikan oleh lembaga yudikatif. Sebenarnya ada solusi yang paling relevan untuk diterapkan dalam pembayaran hasil pemilihan kepala desa yaitu melalui jalur “non litigasi” asalkan dibuatkan suatu payung hukum yang jelas dari pembuat Undang-Undang dengan merevisi Undang-Undang Desa. Metode penelitian yang digunakan adalah Yuridis Normatif dan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan konseptual, pendekatan penerapan undang-undang dan pendekatan sejarah yang mana seharusnya setiap perselisihan atau diselesaikan oleh lembaga yudikatif. Sebenarnya ada solusi yang paling relevan untuk diterapkan dalam pembayaran hasil pemilihan kepala desa yaitu melalui jalur “non litigasi” asalkan dibuatkan suatu payung hukum yang jelas dari pembuat Undang-Undang dengan merevisi Undang-Undang Desa. Metode penelitian yang digunakan adalah Yuridis Normatif dan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan konseptual, pendekatan penerapan undang-undang dan pendekatan sejarah yang mana seharusnya setiap perselisihan atau diselesaikan oleh lembaga yudikatif. Sebenarnya ada solusi yang paling relevan untuk diterapkan dalam pembayaran hasil pemilihan kepala desa yaitu melalui jalur “non litigasi” asalkan dibuatkan suatu payung hukum yang jelas dari pembuat Undang-Undang dengan merevisi Undang-Undang Desa. Metode penelitian yang digunakan adalah Yuridis Normatif dan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan konseptual, pendekatan penerapan undang-undang dan pendekatan sejarah Sebenarnya ada solusi yang paling relevan untuk diterapkan dalam pembayaran hasil pemilihan kepala desa yaitu melalui jalur “non litigasi” asalkan dibuatkan suatu payung hukum yang jelas dari pembuat Undang-Undang dengan merevisi Undang-Undang Desa. Metode penelitian yang digunakan adalah Yuridis Normatif dan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan konseptual, pendekatan penerapan undang-undang dan pendekatan sejarah Sebenarnya ada solusi yang paling relevan untuk diterapkan dalam pembayaran hasil pemilihan kepala desa yaitu melalui jalur “non litigasi” asalkan dibuatkan suatu payung hukum yang jelas dari pembuat Undang-Undang dengan merevisi Undang-Undang Desa. Metode penelitian yang digunakan adalah Yuridis Normatif dan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan konseptual, pendekatan penerapan undang-undang dan pendekatan sejarah
ANALISIS KEWENANGAN BAWASLU KABUPATEN/KOTA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PROSES PEMILIHAN UMUM BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Melia Surya Dharma; Syamsir Syamsir; Bustanuddin Bustanuddin
Limbago: Journal of Constitutional Law Vol. 2 No. 3 (2022)
Publisher : Universitas Jambi, Fakultas Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (261.619 KB) | DOI: 10.22437/limbago.v2i3.20547

Abstract

Abstract Based on Article 99 of Law Number 7 of 2017 concerning General Elections that the authority of Bawaslu is to receive and follow up on reports relating to alleged violations of the implementation of laws and regulations governing elections, examine and review election violations in the province and recommend the results of the examination and review of parties regulated by law. Dispute resolution is a process, method or act of resolving something that causes differences of opinion, disputes or quarrels. Every dispute, whatever happens, always demands a solution and resolution. Based on Law Number 7 of 2017 concerning General Elections, Article 469 Paragraph (1) states that the Bawaslu decision regarding disputes over the General Election process is a final and binding decision. General Election, hereinafter referred to as General Election, is a means of people's sovereignty to elect members of the People's Representative Council, members of the Regional Representatives Council, President and Vice President, and to elect members of the Regional People's Representative Council, which are carried out directly, publicly, freely, confidentially, honestly and fairly. within the unitary State of the Republic of Indonesia based on Pancasila and the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. Keywords: Authority, Bawaslu, Dispute Resolution, Election Abstrak Berdasarkan Pasal 99 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum bahwa kewenangan bawaslu dengan menerima dan menindak lanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemilu, memeriksa dan mengkaji pelanggaran pemilu diwilayah provinsi serta merekomendasikan hasil pemeriksaan dan pengkajian kepada pihak yang diatur dalam undang-undang. Penyelesaian sengketa adalah proses, cara atau perbuatan dalam menyelesaikan sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, perselisihan atau pertengkaran. Setiap sengketa apapun yang terjadi, selalu menuntut pemecahan dan penyelesian. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan umum Pasal 469 Ayat (1) Menyebutkan bahwa putusan Bawaslu mengenai sengketa proses Pemilihan Umum merupakan keputusan yang bersifat final dan menginkat. Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kata kunci: Kewenangan, Bawaslu, Penyelesaian Sengketa, Pemilu