Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

بعض عقود الزواج المستحدثة وأحكامها في ميزان مقاصد الشريعة المنشودة Badrul Munir, Badrul Munir
Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam Vol 2, No 1 (2018): Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam
Publisher : Islamic Family Law Department, Sharia and Law Faculty, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/sjhk.v2i1.3110

Abstract

إن الزواج الذي طلبه الشارع الحكيم هو الزواج الذي تتوفر فيه مقاصد الشريعة المنشودة فيه، ومن أهمها: تحقيق الاستقرار والسكن النفسي وقصد الدوام والتأبيد وحفظ حقوق الزوجين، وكذلك حفظ حقوق أولادهم. مع تطور الحياة المعاصرةوأنواع تحديات الحياة ومشاكلها الاقتصادية والمادية والاجتماعية، ظهرت بعض عقود الزواج المستحدثة التي قد تتعارضبعضها مع أهم مقاصد الشريعة في الزواج من تحقيق الاستقرار وقصد الدوام لكل من الزوجين. وهذه العقود المستحدثة منها زواج المسيار، وزواج السياحة، والزواج السري كالوشم، وزواج المطار. تلك العقود بعضها تخالف المقاصد الأساسية في الزواج. وبعد البحث والاستنباط المدقق من وجهة نظرية مقاصد الشريعة، تبين بأن أحكام عقود تلك الزواج تختلف من شخص إلى شخص وحالة إلى حالة، بل بعضها خاضعة إلى الأحكام التكليفية. هذه الأحكام المتفاوتة مبنية على قاعدة مقاصد الشريعة: (لا توجد مصلحة مطلقة ولا مفسدة مطلقة في الحياة)، لأنها قد تتغير حسب الموازنة والترجيح على المصالح والمفاسد، قد يكون في الشيء مصالح ومفاسد، ولكنها تمنعه لرجحان المفسدة، أو تبيحه لرجحان المصلحة.
Persepsi Anggota MPU Aceh Utara Tentang Aspek Pidana pada Penjualan Pakaian Ketat Badrul Munir; Adetia Rahmah
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 8, No 2 (2019)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v8i2.5856

Abstract

Pakaian ketat merupakan tata cara berbusana yang dilarang dalam Islam, karena memperlihatkan bentuk tubuh seseorang wanita. Oleh karena itu kalangan ulama memberikan pandangan terhadap tata cara berbusana ketat tersebut. MPU Aceh Utara yang merupakan lembaga yang mengelurakan fatwa terkait cara bermusana ketat tersebut juga memiliki persepsi bagi para penjual busana ketat tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi anggota MPU Aceh Utara terhadap penjualan pakaian ketat dan hukum penjualan pakaian ketat dari sudut pandang Hukum Pidana Islam. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis dengan pendekatan penelitian hukum empiris. Subjek penelitian terdiri dari anggota MPU Aceh Utara, masyarakat penjual dan pembeli pakaian ketat. Teknik pengumpulan data terdiri dari wawancara, observasi, studi pustaka dan dokumentasi. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa Anggota MPU Kabupaten Aceh Utara berpandangan bahwa penjualan pakaian ketat merupakan suatu perbuatan haram dan harus dikenakan sanksi pidana. Dalam rangka pemberian sanksi pidana kepada penjual pakaian ketat tersebut pihak MPU Kabupaten Aceh Utara telah merancang Qanun pelarangan menjual pakaian ketat. Namun Qanun tersebut belum direalisasi-kan oleh anggota MPU Kabupaten Aceh Utara dikarenakan masih banyak para penjual pakaian ketat yang berargumen bahwa pakaian yang mereka jual bukan untuk dipakai oleh pembeli yang tidak sesuai ukuran antara badan dengan pakaian, melaikan penjual menjual barang dagangan-nya kepada pembeli yang sesuai ukuran. Pertimbanga lain sah dan mubahnya jual beli pakaian ketat di Kabupaten Aceh Utara ini terpenuhinya rukun dan syarat dari jual beli yang telah ditetapkan oleh syari'at serta barang yang dijadikan sebagai obyek transaksi jual beli bukanlah barang yang terlarang di dalam agama Islam. Hukum menjual pakaian ketat ditinjau dari hukum pidana Islam adalah sesuatu yang haram dan tidak sah jual belinya, dikarenakan barang yang dijual bukanlah haram zatnya melainkan adanya penyebab lain yang mengakibatkan orang lain terjerumus kepada dosa, dikarenakan terjadinya zina mata yang menaikkan syahwat seorang laki-laki lantaran melihat struktur tubuh akibat pemakaian celana ketat. Sesuatu yang haram lizzatihi (zatnya) dan lighairiri (karena sebaba lain), maka menjualnya pun juga tidak boleh. Untuk menguatkan larangan pakaian ketat tersebut diharapkan MPU menetapkan qadun yang sudah dirancang.
SANCTIONS FOR ADULTERER: A COMPARATIVE STUDY OF ACEH'S QANUN AND SELANGOR'S ENACTMENT Cempaka Sari Harahap; Ali Abu Bakar; Badrul Munir
PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH Vol 3 No 2 (2018)
Publisher : LKKI Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4083.331 KB) | DOI: 10.22373/petita.v3i2.54

Abstract

Penalties for adulterers have been regulated by law in a number of countries with their respective sanctions. One such arrangement is through Aceh Qanun No. 6 of 2014 concerning the Law of Jinayat and the Enactment of the Syariah Law of Selangor No. 9 of 1995 Sex. 25. But the penalties set out in the Aceh Qanun are different from the punishment of adultery perpetrators regulated in Selangor State Sharia Youth Enactments, therefore this study aims to find out what penalties are contained in the Aceh Qanun and the Selangor State Islamic Law, and what lies behind this difference. to get the answer to the problem of punishment for adulterers, the writer uses descriptive-comparative method. This research is categorized as library research. Punishment regulated in Qanun No. 6 of 2014 concerning jinayat law is a lash of 100 (one hundred) times without distinguishing between the muhsan and ghair muhsan, whereas in the Enakmen regulates adultery sanctions on three categories: fines, imprisonment and caning (sebat), this sentence is determined in the religious court (Syar Court 'iyah in Aceh or the Syariah Court in Selangor). The Selangor State Islamic Law Enactment regulates more criminal acts but the provisions of the sanctions are more severe in the Aceh Qanun. This is because in Selangor in the determination of penalties for perpetrators of crimes in Malaysia using Ta'zir's punishment and more looking at the benefits and local wisdom of Selangor State. While the Qanun is based on the punishment of hudud, which hudud is a punishment that has been determined the form and level by Allah SWT. In the author's opinion, punishment that is more in line with the sanctions of adultery is a punishment that is regulated in the Aceh Qanun because according to the provisions set out in the text namely 100 (one hundred) lashes, although it does not distinguish between muhsan adulterers and adulterers Ghair muhsan. Abstrak: Hukuman bagi penzina telah diatur oleh hukum di sejumlah negara dengan sanksi masing-masing. Salah satu pengaturan tersebut adalah melalui Qanun Aceh No. 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat dan Penetapan Hukum Syariah Selangor No. 9 tahun 1995 pasal 25. Tetapi hukuman yang ditetapkan dalam Qanun Aceh berbeda dengan hukuman terhadap penzina yang diatur dalam Undang-Undang Selangor State Sharia Youth Enactments. Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan. Hukuman yang diatur dalam Qanun No. 6 tahun 2014 tentang hukum jinayat adalah 100 kali cambuk tanpa membedakan antara muhsan dan ghair muhsan, sedangkan dalam State Sharia Youth Enactments sanksi perzinahan terbagi menjadi tiga kategori: denda, hukuman penjara dan hukuman cambuk, hukuman ini ditentukan di pengadilan agama (Pengadilan Syar'iyah di Aceh atau Pengadilan Syariah di Selangor). Qanun didasarkan pada hukuman hudud, dimana hudud merupakan hukuman yang telah ditentukan bentuk dan tingkatannya oleh Allah SWT. Hukuman yang lebih sesuai untuk sanksi perzinaan adalah hukuman yang diatur dalam Qanun Aceh karena sesuai ketentuan yang diatur dalam Al-Quran yaitu 100 (seratus) cambuk. Kata kunci: Hukuman bagi pezina, Hukuman, Hukum Jinayat Islam
COMPARATIVE LAW REPATRIATION INDONESIAN CITIZEN EX FOREIGN ISLAMIC STATE IRAQ AND SYIRIA ABOUT INDONESIA LAW AND ISLAMIC LAW Badrul Munir; Yenny Sri Wahyuni; Teuku Awis Aulia
Dusturiyah: Jurnal Hukum Islam, Perundang-undangan dan Pranata Sosial Vol 12, No 1 (2022)
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/dusturiyah.v12i1.12269

Abstract

The issue of citizen became the hot news on sosial meda country in Indonesian. On February 1 2020, the National Counter terrorism Agency exchanged international intelligence information with countries in the Middle East and got around 600 Indonesian citizens who were former combatants of the Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). This polemic has become a hot topic of discussion among the government and the people of Indonesia about the fate of Indonesian citizens (WNI) whether they can be returned to their homeland or left alone in shelter camps in Syria. The formulation of the problem studied in this journal is to describe the views or opinion of Indonesian law on the concept of citizenship and explain the views of Indonesian law (law no. 5 of 2018 concerning the Eradication of Criminal Acts of Terrorism) and Islamic law (Opinions of Imam Malik and Imam Syafii) concerning the repatriation of Indonesian citizens who were former combatants of the Islamic State of Iraq and Syria to Indonesia. In this study, the authors use normative research methods by conducting library research through the process of reading, researching, and reviewing ongoing discussions with this research. The results of this study indicate that in Indonesian law, referring to Law No. 5 of 2018, they must be repatriation to Indonnesia because they are the responsibility of the state in accordance with articles 43b, 43b, and 43d. whereas in Islamic law there is caution by asking them if they want to go back and repent for their actions, if they obey they can be repatriation to Indonesia, if not they are fought. and the decision will ultimately be left to the government about their fate.
ANALYSIS OF THE DIFFERENCE IN WAGES FOR RICE CUTTING BETWEEN MEN AND WOMEN FROM THE PERSPECTIVE OF UJRAH BI AL-'AMAL Badrul Munir; Nurmakrufiana
JURISTA: Jurnal Hukum dan Keadilan Vol. 3 No. 1 (2019): JURISTA: Jurnal Hukum dan Keadilan
Publisher : Centre for Adat and Legal Studies of Aceh Province (CeFALSAP)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.1234/jurista.v3i1.38

Abstract

Wages represent rewards or services. In addition to being a form of muamalah, wages are something that many individuals do to earn a livelihood. In addition to purchasing and selling transactions, cooperative transactions also involve wages, as in the case of cooperation between rice field owners and workers. The author of this study refers to the remuneration for paddy cutting services (cooperation wages) in the village of Teureubeuh, located in Jantho, Aceh Besar. In other words, the communities of Teureubeuh village, Jantho, Aceh Besar, continue to use the practise of wages, which dates back to antiquity and provides labourers with remuneration for the services rendered. Conversely, a wage disparity emerged between male and female labourers in Teureubeuh village, Jantho Aceh Besar, with the former receiving a higher remuneration for paddy cutting. The present study investigates three inquiries: To begin with, what wage payment system is in place for rice cutting between males and women in Gampong Teureubeuh, Jantho, Aceh Besar? Furthermore, what are the determinants influencing wage distribution between males and females in Gampong Teureubeuh, Jantho, Aceh Besar? Furthermore, from an ujrah bi al-'amal standpoint, what is the significance of the wage disparity in paddy cutting between male and female labourers? Based on the conducted research, it can be inferred that the wage disparity in rice cutting between male and female labourers, as assessed through the lens of ujrah bi al-amal, is permissible under Islamic law. This is supported by the observation that male labourers operate at a faster pace than their female counterparts and employ a more robust and rapid grip when slicing rice, in contrast to the slower pace of rice cutting by female labourers.
KEWARISAN ANAK ANGKAT DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA M Redha; Abdul Jalil Salam; Badrul Munir
AHKAMUL USRAH: Jurnal S2 Hukum Keluarga dan Peradilan Islam Vol. 4 No. 2 (2024): MARET 2024 -AGUSTUS 2024
Publisher : Prodi Magister Hukum Keluarga Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/ahkamulusrah.v4i2.5548

Abstract

Penelitian ini membahas tentag kewarisan anak angkat dalam peraturan Perundang-Undangan di Indonesia. Latar belakang penelitian ini adalah anak perubahan gender dalam masyarakat moderen yang menyebabkan anak angkat terputus nasab dengan orang tua kandungnya, fenomena ini muncu akibat beberapa faktor, antara lain adalah ketidak sadaran hukum dalam kalangan masayarakat yang mengakibatkan pengangkatan anak tersebut tidak dilaksanakan seperti aturan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang berlaku di Indonesia, baik yang telah diatur dalam KUHP, KHI maupun Hukum Fiqih itu sendiri. Selain itu anak angkat juga mendapat warisan dari harta orang tua angkatnya dengan sebutan hibbah wasiat dalam KUHP sesuai asas ligitime portie, keudian wasiat wajibah dalam KHI tidak melebihi 1/3 dari harta warisan, namun tidak dalam hukum fiqih yang menyatakan anak angkat tidak ada hak dalam harta warisan orang tua angkatnya karena tidak termasuk ahli waris, akan tetapi tidak ada larangan dalam hukum fiqih apabila terjadi hibbah (hadiah) kepada selain ahli waris semasa dia (pewaris) masih hidup dan sehat. Rumusan masalah yang diangkat meliputi: Apasaja sebab-sebab terjadinya pengangkatan anak, Bagaimana status kedudukan anak angkat dalam hal kewarisan di dalam Fiqih, KHI dan KUH Perdata dan Apakah secara hukum anak angkat (yang bukan keturunan langsung dari pewaris) tidak berhak mendapatkan warisan dari perwaris. Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif, yaitu pengumpulan data-data yang diperoleh dari buku, kitab, tesis dan jurnal. Pendekatan Penelitian yang digunakan yaitu yuridis empiris yakni penelitian hukum kepustakaan/data sekunder belaka. Berdasarkan hasil penelitian, penulis menemukan bahwa anak angkat mendapat warisan dari orang tua angkatnya dengan bentuk hibbah wasiat di dalam KUHP, wasiat wajibah di dalam KHI dan di dalam KUHP/KHI menyebutkan bahwa anak angkat tidak terputus nasabnya menjadi anak kandung orang tua angkatnya.