This Author published in this journals
All Journal JURNAL BIOMEDIK
Laurens T. B. Kalesaran, Laurens T. B.
Unknown Affiliation

Published : 6 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

Skor prediksi sindrom disfungsi multi-organ pada pasien multitrauma Rendy, Leo; Sapan, Heber B.; Kalesaran, Laurens T. B.; Lolombulan, Julius H.
JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 8, No 2 (2016): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.8.2.2016.12669

Abstract

Abstract: Multiple organ dysfunction syndrome (MODS) in patients with major trauma remains to be frequent and devastating complication during clinical course in emergency department and intensive care unit (ICU). The ability to easily and accurately identify patients at risk for MODS postinjury especially in multitrauma cases would be very valuable. This study aimed to construct an instrument for prediction of the development of MODS in adult multitrauma patients using clinical and laboratory data available in the first day at prahospital and emergency department (hospital) setting. This was a prospective study. Samples were adult multitrauma patients with Injury Severity Score (ISS) ≥16, aged 16-65 years old, admitted to 4 academic Level-I trauma center from September 2014 to September 2015. Sequential organ failure assessment (SOFA) score was used to determine MODS during hospitalization. A risk score created from the final regression model consisted of significant variables as MODS predictor. The results showed that there were 98 multitrauma patients as samples. The mean age was 35.2 years old; mostly male (85.71%); the mean of ISS was 23.6; mostly (76.53%) were caused by blunt injury mechanism. MODS was encountered in 43 patients (43.87%). The prediction risk score consists of Revised Trauma Score (RTS) (<7.25) and serum lactate level ≥2 mmol/L. This study also verified several independent risk factors for post multitrauma MODS, such as ISS >25, presence of SIRS, shock grade 2 or more, and white blood cell count >12,000/mm3. Conclusion: We derived a novel, simple, and applicable instrument to predict MODS in adult following multitrauma. The use of this scoring system may allow early identification of multitrauma patients who are at risk for MODS and result in more aggressive targeted resuscitation and better referral allocation based on regional trauma system.Keywords: MODS, multitrauma, emergency department, MODS prediction scoreAbstrak: Sindrom disfungsi multi-organ (MODS) merupakan komplikasi buruk yang sering terjadi sepanjang perjalanan klinis pasien trauma mayor di Unit Gawat Darurat (UGD) maupun di ruang perawatan intensif. Suatu nilai patokan yang dapat memprediksi MODS pascatrauma secara akurat sejak dini tentunya sangat berharga bagi tatalaksana pasien terutama pada kasus multitrauma. Penelitian ini bertujuan untuk membuat suatu instrumen yang dapat memrediksi perkembangan MODS pada pasien dewasa multitrauma dengan menggunakan data klinis dan laboratorium yang tersedia pada 24 jam pertama pasca trauma pada seting fase prahospital maupun di fase hospital sejak di UGD. Jenis penelitian ini prospektif, mengumpulkan pasien multitrauma dengan Injury Severity Score (ISS) ≥16, rentang usia 16-65 tahun, di 4 pusat trauma level-1 rumah sakit pendidikan selama 1 tahun (September 2014-2015). Dilakukan pencatatan data klinis dan laboratorium sesuai perkembangan pasien. Skor sequential organ failure assessment (SOFA) digunakan untuk menentukan adanya MODS selama perawatan. Skor prediksi dibuat dengan membangun model regresi logistik yang signifikan untuk memrediksi terjadinya MODS pasca multitrauma. Hasil penelitian mendapatkan 98 sampel multitrauma yang memenuhi kriteria inklusi dengan rerata usia 35,2 tahun, sebagian besar laki-laki (85,71%) dengan rerata ISS 23,6, dan disebabkan oleh trauma tumpul (76,53%). MODS terjadi pada 43 pasien (43,87%). Skor prediksi terdiri dari RTS dengan (cut off point 7,25) dan kadar laktat serum (cut off point 3,44 mmol/mL). Penelitian ini juga memverifikasi beberapa faktor risiko individual terjadinya MODS pasca multitrauma yaitu ISS>25, adanya SIRS, syok derajat 2 atau lebih, dan leukositosis >12.000. Simpulan: Kami melaporkan instrumen baru yang praktis untuk memrediksi MODS pada pasien multitrauma dewasa. Skor ini memungkinkan identifikasi dini pasien trauma yang berisiko akan mengalami MODS sehingga dapat menjadi tanda alarm dilakukannya resusitasi yang lebih agresif dan tepat serta alokasi rujukan pasien yang lebih efisien berdasarkan sistem trauma regional.Kata kunci: MODS, multitrauma, UGD, skor prediksi MODS
PERUBAHAN NILAI LAKTAT SERUM DAN NILAI LEUKOSIT PASCA PENANGANAN PASIEN MULTITRAUMA Koan, Jimmy; Kalesaran, Laurens T. B.; Sapan, Heber B.
JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 8, No 2 (2016): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.8.2.2016.12703

Abstract

Abstract: Available laboratory markers in the early stage of injury are very helpful for the clinicians to predict the diturbances in cellular level concerning prevention of early decompensation, therefore, vital condition of the patient can improve faster. Lactate and leucocyte levels are assumed as sensitive markers of metabolic changes that occur at the time of injury. This study aimed to obtain the changes of lactate and leukocyte levels in multitraumatic patients after resusitation at Prof. Dr. R. D. Kandou Hospital Manado from August to September 2015. This was an observational analytical study. The results showed that there were 36 multitraumatic patients in this study, consisted of 27 males and 9 females. One patient died during this study. The mean decrease of blood lactate was 1.4611 mmol/L, meanwhile, of leukocytes was 5582.2000/mm3. The paired T test showed very significant changes of blood lactate and leukocyte levels (P < 0.001) after resusitation. Conclusion: Achievement of resusitation and improvement in cellular level could be monitored by using lactate and leukocyte levels after resusitation of multitraumatic patients although the definitive aim of the trauma was not final yet.Kata kunci: lactate, leukocyte, multitraumatic patientsAbstrak: Tersedianya penanda laboratorik pada fase awal cedera dapat memudahkan klinisi memrediksi kelainan yang terjadi di tingkat sel untuk mencegah terjadinya fase dekompensasi secara dini sehingga dapat memperbaiki kondisi vital pasien dengan segera. Kadar laktat dan jumlah leukosit telah lama dianggap sebagai salah satu penanda yang sensitif terhadap perubahan metabolisme yang terjadi saat cedera. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan nilai serum laktat dan leukosit darah yang terjadi pada pasien multitrauma setelah penanganan di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado sejak bulan Agustus sampai dengan September 2015. Jenis penelitian ini observasional analitik dengan desain potong lintang. Hasil penelitian memperlihatkan terdapat 36 pasien multitrauma, terdiri dari 27 laki-laki dan 9 perempuan. Selama penelitian didapatkan 1 pasien meninggal saat penanganan. Pada pasca penanganan, rerata penurunan nilai asam laktat darah sebesar 1,4611 mmol/L dan nilai leukosit sebesar 5582,2000/mm3. Hasil uji T berpasangan memperlihatkan perubahan nilai laktat darah dan leukosit pasca penanganan yang sangat bermakna (P < 0,001). Simpulan: Tercapainya resusitasi dan perbaikan di tingkat sel dapat dimonitor dari nilai laktat dan leukosit darah pasca penanganan pasien multitrauma walaupun penanganan belum sampai pada tujuan definitif trauma.Kata kunci: asam laktat, leukosit, multitrauma
International Normalizing Ratio (INR) pada pasien multitrauma di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Ratuwalangon, Verro; Kalesaran, Laurens T. B.; Panelewen, Jimmy; Sapan, Heber B.
JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 8, No 2 (2016): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.8.2.2016.12671

Abstract

Abstract: Trauma is the leading cause of deaths in patients aged less than 45 years. Life-threatening bleeding which usually occurs in multitraumatic patients is caused by vascular injury along with coagulopathy. Several studies on multitraumatic patients showed that the risk of coagulopathy occurred along with increasing Injury Severity Score (ISS) which is directly proportional to the increase of International Normalizing Ratio (INR) with an impact of increase of mortality rate. Although INR as an indicator of coagulopathy in multitraumatic patients is still unclear, early monitoring of coagulation is important to detect coagulopathy due to trauma. This study aimed to obtain the relationship of INR and multi-traumatic patients. This was an analytical study with a cross sectional design conducted in Energency Room Prof. Dr. R. D. Kandou Hospital Manado from December 2015 to March 2016. ISS for multi trauma was ˃16, meanwhile INR for coagulopathy risk was ˃1.5 and without that risk was ≤1.5. There were 30 patients in this study aged 13-80 years old. Of 26 patients with ISS 17-25, one had INR >1.5. Moreover, ISS 26-59 was found in 4 patients; all had INR >1.5. All patients with INR ˃1.5 died. Conclusion: Increase of ISS was proportionally to increase of INR which was further proportionally to the increase of mortality rate in multiraumatic patients.Keywords: coagulopathy, INR, ISSAbstrak: Trauma merupakan penyebab kematian utama pada pasein berusia kurang dari 45 tahun. Perdarahan yang mengancam nyawa pada pasien multitrauma biasanya disebabkan oleh cedera vaskular disertai koagulopati. Studi mengenai pasien multitrauma memperlihatkan adanya risiko koagulopati pada peningkatan nilai Injury Severity Score (ISS), yang secara proporsional sejalan dengan peningkatan nilai INR dengan akibat peningkatan angka kematian. Monitoring dini dari koagulasi sangat penting untuk mendeteksi terjadinya koagulopati akibat trauma. Walaupun demikian INR sebagai indikator koagulopati belum jelas. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan hubungan INR dan pasien multitrauma agar dapat mengenali terjadinya koagulopati. Jenis penelitian ini analitik dengan desain potong lintang, dilaksanakan di Ruang Emergensi Bedah BLU RSUP Prof. R. D. Kandou Manado sejak Desember 2015 sampai dengan Maret 2016. Batasan multi trauma untuk ISS ialah skor ˃16, sedangkan batasan untuk INR dengan risiko koagulopati ˃1,5 dan yang tanpa risiko koagulopati ≤1,5. Hasil penelitian mendapatkan 30 pasien multi trauma berusia 13-80 tahun. Pada kelompok ISS 17-25 terdapat 26 pasien; satu diantaranya dengan INR >1,5. Pada kelompok ISS 26-59 terdapat 4 pasien; semuanya mempunyai INR >1,5. Semua pasien dengan INR ˃1,5 meniggal. Simpulan: Peningkatan ISS proporsional dengan peningkatan INR yang selanjutnya proporsional terhadap peningkatan angka kematian pasien multitrauma.Keywords: koagulopati, INR, ISS
Perbandingan indeks massa tubuh, lingkar pinggang, dan rasio pinggang pinggul sebagai faktor risiko kanker kolorektal Khosama, Yuansun; Sapan, Heber B.; Panelewen, Jimmy; Kalesaran, Laurens T. B.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 8, No 2 (2016): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.8.2.2016.12670

Abstract

Abstract: Globally, colorectal cancer is the 4th cause of deaths. Risk factors of colorectal cancer are divided into modified and unmodified; obesity is one of the modified factors. It is accepted that insulin resistance and metabolic dysfunction act as a link between obesity and colorectal cancer. Distribution of fat tissue in Asian including Indonesian differs from that in Western people. Although of the same body mass index (BMI), Asian have higher fat tissue level than the Westerns. Body fat tissue can be measured by using BMI, waist circumference (WC), and waist-hip ratio (WHR). Acurate anthropometric measurements play some important roles in prevention of colorectal cancer. This study aimed to compare the three anthropometric parameters in colorectal cancer patients. This was a descriptive analytical study with a cross sectional design. Subjects were colorectal patients admitted to Surgery Department of Sam Ratulangi University Manado and its collaborationg hospitals from June 2015 to December 2015. There were 33 colorectal cancer patients in this study consisted of 22 males and 11 females. The ages ranged from 27 years to 77 years. The sensitivity result was as follows: BMI 33.3%, WC 51%, and WHR 42%, meanwhile the specifity result was 75.80%; 60.60%; and 60.60% respectively. The X2 test showed a P value of 0.327. Conclusion: Statistically, BMI, WC, and WHR showed no significant difference as the risk factors of colorectal cancer. However, the three parameters have to be used together to detect the accumulation of body fat tissue. It is suggested that the detection has to be applied in primary health care to diminish the colorectal cancer risk.Keywords: colorectal cancer, BMI, WC, WHRAbstrak: Kanker kolorektal (KKR) merupakan penyebab kematian keempat terbanyak di dunia. Secara garis besar faktor risiko KKR terbagi atas yang tidak dapat dimodifikasi dan yang dapat dimodifikasi, salah satunya ialah obesitas. Resistensi insulin dan disfungsi metabolik menjadi penghubung antara obesitas dan karsinoma kolorektal. Distribusi lemak tubuh pada orang Asia, termasuk Indonesia, berbeda dengan distribusi lemak tubuh pada orang Barat. Pada indeks massa tubuh (IMT) yang sama, orang Asia memiliki kadar lemak tubuh yang lebih tinggi dibandingkan orang Barat. Kadar lemak tubuh dapat dinilai melalui pengukuran IMT, lingkar pinggang (LP), dan rasio pinggang-pinggul (RPP). Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan ketiga parameter ukuran antropometri tubuh pada pasien KKR. Penentuan patokan antropometri tubuh yang tepat membantu tindakan preventif KKR. Jenis penelitian ialah deskriptif analitik dengan desain potong lintang. Subyek penelitian ialah pasien KKR yang dirawat di Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado dan RS jejaringnya sejak bulan Juni 2015-Desember 2015. Hasil penelitian mendapatkan 33 pasien KKR (22 laki-laki dan 11 perempuan). Usia pasien berkisar 27-77 tahun. Sensitivitas IMT ialah 33,3%; LP 51%; dan RPP 42%, sedangkan spesifisitas berturut-turut ialah 75,80%; 60,60%; dan 60,60%. Uji X2 mendapatkan nilai P = 0,327. Simpulan: IMT, LP, dan RPP secara statistik tidak menunjukkan perbedaan bermakna sebagai faktor risiko KKR. Ketiganya harus diukur bersama-sama untuk mendeteksi akumulasi lemak tubuh. Disarankan deteksi harus dimulai di pelayanan primer untuk mengurangi risiko KKR.Kata kunci: KKR, IMT, LP, RPP
APLIKASI REVISED TRAUMA SCORE, INJURY SEVERITY SCORE, DAN TRAUMA AND INJURY SEVERITY SCORE DALAM MEMREDIKSI MORTALITAS PADA PASIEN MULTITRAUMA DI IRDB BLU RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO Ranti, Jassy S. R.; Sapan, Heber B.; Kalesaran, Laurens T. B.
JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 8, No 2 (2016): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.8.2.2016.12699

Abstract

Abstract: Trauma is the main cause of deaths among teenagers and young adults. Most of the cases are due to traffic accidents, therefore, a scoring system that can transforms the trauma quality to numbers is very valuable. This scoring system is needed to predict mortality, compare therapeutic methods, function as a triage tool pre hospitalization and during the way to the hospital, evaluate quality improvement and prevention program, and as a tool in trauma studies. There are several available scoring systems usually used in trauma studies, as follows: Revised Trauma Score (RTS), Injury Severity Score (ISS), and Trauma Related Injury Severity Score (TRISS). This study aimed to obtain the easiest applicable scoring system to multitraumatic patients in Prof. Dr. R. D. Kandou Hospital Manado. This was an observational correlation study. Evaluation of mortality was done by using the scoring systems and then was compared to the results in the field. There were 37 multitraumatic patients consisted of 30 males and 7 females. Five patients died during this study. By using RTS, of score >7 there was 1 death; of score 6-7 there were 3 deaths; and of score-5 there was 1 death. By using ISS, all dead patients had score ?25, meanwhile by using TRISS, 2 dead patients had score 81-100,1 dead patient had score 61-80, and 2 dead patients had score 41-60. Conclusion: RTS is the easiest applicable scoring system at triage and pre-hospitalization, and is recommended to be a part of management of multitraumatic patients. Along with ISS, RTS can be used as a mortality predictor among multitraumatic patients.Keywords: trauma, RTS, ISS, TRISS, mortalityAbstrak: Trauma merupakan penyebab kematian utama pada usia remaja dan dewasa muda. Sistim penilaian (skoring) yang dapat mengubah kualitas trauma ke dalam bentuk nilai diperlukan agar dapat meramalkan mortalitas, membandingkan metode terapi, merupakan alat triase pre- dan antar rumah sakit, menilai perbaikan kualitas dan program pencegahan, serta merupakan alat dalam studi trauma. Beberapa sistem skoring yang sering digunakan dalam penelitian ialah Revised Trauma Score (RTS), Injury Severity Score (ISS), dan Trauma Related Injury Severity Score (TRISS). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pilihan sistim skoring yang paling mudah diaplikasikan pada pasien multitrauma di BLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou, Manado. Jenis penelitian ialah observasional korelatif. Penilaian ini mengaplikasikan masing-masing skor terhadap angka mortalitas dan dibandingkan dengan hasil yang diperoleh di lapangan. Dalam penelitian ini terdapat 37 pasien multitrauma, terdiri dari 30 laki-laki dan 7 perempuan. Jumlah pasien yang meninggal selama penelitian ialah 5 orang. Untuk RTS, dari pasien dengan skor >7 terdapat 1 kematian; dari pasien dengan skor 6-7 terdapat 3 kematian, dan dari pasien dengan skor 5 terdapat 1 kematian. Untuk ISS, semua pasien yang meninggal memiliki skor ?25, sedangkan untuk TRISS, 2 pasien yang meninggal dengan skor 81-100, 1 pasien dengan skore 61-80, dan 2 pasien yang meninggal dengan skor 41-60. Simpulan: RTS paling mudah diaplikasikan saat triase dan fase pre rumah sakit, serta direkomendasikan untuk menjadi bagian dari pedoman penanganan kasus multitrauma. Bersama-sama dengan ISS, RTS dapat diaplikasikan sebagai prediktor mortalitas pasien multitrauma.Kata kunci: trauma, RTS, ISS, TRISS, mortalitas
Besaran Neutrofil dan Kadar C-reactive Protein sebagai Faktor Prognostik Multi Organ Failure pada Pasien Multi-trauma ., Candy; Sapan, Heber B.; Kalesaran, Laurens T. B.; Kalitouw, Ferry
Jurnal Biomedik : JBM Vol 9, No 3 (2017): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.9.3.2017.17341

Abstract

Abstract: Trauma is the leading cause of death among people under 50 years old worldwide. Severe trauma will trigger systemic inflammatory response syndrome (SIRS) which can worsen into multiple organ failure MOF). This study was aimed to evaluate whether there was a correlation between neutrophil count and C reactive protein concentration in multi-traumatic patients and whether both variables could become predictors of the occurence of MOF. This was a correlation study with a cross sectional design. There were 71 multitraumatic patients enrolled in this study, obtained from Surgery Emergency Unit of Prof. Dr. R. D. Kandou Hospital Manado; 31 of them were associated with SIRS, MODS, and MOF. The regression analysis showed that the higher the neutrophil count was, the greater the chance of the patient to suffer from MOF (P < 0.001), as well as the higher the CRP concentration, the greater the chance of the patient to suffer from MOF (P < 0.001). The cut-off point of neutrophil to MOF was 17121.7 and the specifity was higher than the sensitivity. Morover, the cut-off point of CRP to MOF was 169.7 and the specifity was higher than the sensitivity. Conclusion: There were significant correlations between the neutrophil count and MOF as well as between CRP concentration and MOF. Neutrophil count and CRP concentration could become predictors of the occurence of MOF and were significant in sensitivity and specifity in acute multi-traumatic patients.Keywords: multiple trauma, MOF, neutrophil, CRPAbstrak: Trauma merupakan penyebab kematian nomor satu pada orang berusia kurang dari 50 tahun. Trauma berat akan memicu timbulnya respons inflamasi sistemik berat (Systemic Inflammatory Response Syndrome, SIRS) yang dapat memburuk menjadi kegagalan multi-organ. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya korelasi antara besaran neutrofil dan kadar CRP pada pasien multi-trauma, dan apakah keduanya dapat digunakan sebagai faktor prediktor dalam mendeteksi terjadinya multi-organ failure (MOF). Jenis penelitian ialah korelasi dengan desain potong lintang. Hasil penelitian mendapatkan 71 pasien multi-trauma yang dirawat di Instalasi Gawat Darurat Bedah RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado; 31 di antaranya disertai SIRS, MODS dan MOF. Hasil analisis regresi menyatakan bahwa makin tinggi besaran neutrofil maka makin besar peluang pasien untuk terjadi MOF (P < 0,001), dan makin tinggi CRP maka makin besar peluang pasien untuk terjadi MOF (P < 0,001). Cut-off point neutrofil terhadap MOF ialah 17121,7 dengan nilai spesifisitas lebih besar dari sensitivitas sedangkan cut-off point CRP terhadap MOF ialah 169,7 dengan nilai spesifisitas lebih besar dari sensitivitas. Simpulan: Terdapat hubungan bermakna antara besaran neutrofil dan MOF serta antara CRP dan MOF. Besaran neutrofil dan CRP merupakan prediktor terjadinya MOF yang mempunyai signifikansi dalam sensitivitas dan spesifisitas pada pasien dengan multi- trauma akut.Kata kunci: multi-trauma, MOF, neutrofil, CRP