Paulus Bambang Irawan
Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma

Published : 8 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

THE DYNAMIC OF EMPOWERMENT IN POST-AUTHORITARIAN INDONESIA Irawan, Paulus Bambang
Jurnal Teologi (Journal of Theology) Vol 6, No 1 (2017)
Publisher : P3TK, Sanata Dharma University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/jt.v6i1.993

Abstract

Artikel ini mencoba mengkontekstualisasikan pemikiran John Courtney Murray tentang hukum kodrat dan pembicaraan publik sebagai unsur konstitutif bagi dinamika pemberdayaan (empowerment) dalam masyarakat pascaotoritarian, terutama Indonesia. Masyarakat pascaotoritarian ditandai dengan hibriditas antara struktur lama peninggalan rezim otoriter yang masih berjalan dan kuatnya aspirasi akan masyarakat yang lebih terbuka dan adil. Pemikiran Murray tentang hukum kodrat menjadi dasar epistemologis bagi penting dan mendesaknya aneka gerakan masyarakat berdaya, sekaligus membuka ruang bagi pentingnya pembicaraan publik antar berbagai kelompok masyarakat yang berbeda-beda untuk membangun konsensus bagi usaha-usaha membentuk struktur sosial baru yang lebih adil.
A CAPABILITY TO PROMOTE THE COMMON GOOD Bambang Irawan, Paulus
Jurnal Teologi (Journal of Theology) Vol 5, No 1 (2016)
Publisher : P3TK, Sanata Dharma University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/jt.v5i1.477

Abstract

Capability Approachyang dikembangkan oleh Martha Nussbaum dapat memperkuat landasan antropologis dalam berbagai usaha mewujudkan kesejah-teraan umum (bonum commune) dalam masyarakat plural. Dengan pendekatan induktif dan pengakuan akan kemampuan dasariah manusia untuk selalu berkembang, Capability Approach menunjuk pada pluralitas bentuk kebaikan yang oleh Nussbaum dieksplisitkan dalam sepuluh bidang kemampuan dasar manusia (basic capability), terutama penalaran praktis dan afiliasi. Di satu sisi, pemberian ruang bagi tumbuhnya kesepuluh kemampuan dasar tersebut adalah ambang batas (threshold) bagi terwujudnya kesejahteraan umum dalam masyarakat plural. Di sisi lain, prinsip kesejahteraan umum dapat memperkuat perspektif komunitarian dari kemampuan untuk memilih (choice) yang mendapat peran sentral dalam Capability Approach.
Bonum Commune Sebagai Medan Perjuangan Communio Bambang Irawan, Paulus
Jurnal Teologi (Journal of Theology) Vol 1, No 1 (2012)
Publisher : P3TK, Sanata Dharma University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/jt.v1i1.412

Abstract

By Unfolding the intrinsic.....
Suffering As Mysterium Iniquitatis And Mysterium Salutis Jon Sobrino And Jean-Marc Éla On Suffering And Liberation Irawan, Paulus Bambang
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 17 No. 1 (2018): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (570.517 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v17i1.182

Abstract

Abstract: Jon Sobrino and Jean-Marc Éla provide unique contributions for theological ethics in reflecting suffering as mystery of evil (mysterium iniquitatis) and suffering as the driving force for liberation (mysterium salutis). As a proponent of liberation theology, Sobrino focuses on structural problem of evil. In this regard, Éla gives his unique voice by analyzing suffering from its socio-cultural perspectives. Putting Sobrino and Éla in dialog shows the need for interdisciplinary approach in doing theological ethics. This interdisciplinary reflection on suffering on the one hand will bring a more holistic view on the complexity of the problem of suffering. On the other hand, it brings a more contextual understanding on the meaning of discipleship in a violent world. Keywords: Saffering, evil, liberation, resocialization, structural & socio- cultural approach, discipleship. Abstrak: Jon Sobrino dan Jean-Marc Éla memberikan sumbangan yang khas bagi refleksi teologis etis tentang kompleksitas problem penderitaan sebagai misteri kejahatan (mysterium iniquitatis) namun sekaligus menawarkan daya dorong bagi kesetiaan menapaki jalan pembebasan (mysterium salutis). Sobrino yang menekankan analisa struktural atas kejahatan membutuhkan analisa sosio-kultural dari Éla sehingga aneka upaya “memberi nama” dan melawan problem kejahatan mendapatkan pijakannya pada praktik-praktik kultural dalam komunitas lokal. Dialog Sobrino dan Éla juga menunjukkan bahwa teologi mesti membuka diri pada kajian interdisipliner dengan ilmu lain sehingga, di satu sisi, misteri penderitaan dapat didekati secara lebih utuh dan, di sisi lain, jalan kemuridan yang muncul karena tanggapan atasnya menjadi lebih kontekstual. Kata-kata kunci: Penderitaan, kejahatan, pembebasan, resosialisasi, pendekatan struktural, pendekatan sosio-kultural, kemuridan.
Peran Epikeia sebagai Keutamaan yang Menuntun Diskresi Moral Warow, Anita Stephanie F.; Irawan, Paulus Bambang
Jurnal Teologi (Journal of Theology) Vol 13, No 02 (2024)
Publisher : Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/jt.v13i02.8587

Abstract

In present times, many ecclesiastical laws are difficult to understand. This also has an impact on its application. There are some rules that are difficult to apply in certain situations. This is due to context mismatch; laws formulated based on a particular context are applied to a different context. The main question of this article is whether there is an appropriate way or norm to guide the understanding and application of rules that are sometimes out of context? How to overcome the tension between law and reality or law and moral subjects? Library research will be used to answer these questions. The library method is a series of activities related to collecting library data, reading and recording and processing research materials. According to Thomas Aquinas, Epikeia is a virtue related to the virtue of legal justice. Epikeia as a virtue will help us in applying relevant moral norms in concrete situations. This virtue comes to the rescue of the moral agent especially when he is faced with a conflict between the essence of the law or written rules.AbstrakHukum Gereja hingga saat ini sering kali masih sulit untuk dipahami. Hal ini berdampak juga pada pengaplikasiannya. Terdapat beberapa aturan yang sulit untuk diaplikasikan dalam situasi tertentu. Hal ini disebabkan oleh ketidaksesuaian konteks karena hukum yang diformulasikan berdasarkan konteks tertentu, diaplikasikan pada konteks yang berbeda. Pertanyaan pokok artikel ini adalah apakah ada cara atau norma yang tepat untuk menjadi pedoman dalam memahami dan mengaplikasikan aturan yang terkadang tidak kontekstual? Bagaimana cara mengatasi ketegangan antara hukum dan realitas atau hukum dan subjek moral? Metode kepustakaan atau Library research akan digunakan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Metode kepustakaan adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengelolah bahan penelitian. Menurut Thomas Aquinas, Epikeia adalah sebuah keutamaan yang berkaitan dengan Keutamaan keadilan hukum. Epikeia sebagai keutamaan akan membantu kita dalam mengaplikasikan norma moral yang relevan dalam siatuasi konkret. Keutamaan ini hadir untuk menyelamatkan agen moral terutama ketika ia dihadapkan pada konflik antara esensi hukum atau aturan yang tertulis.
Educating Compassionate Attitudes: Perkampungan Sosial Pingit as a Mode for Public Theology Mahardika, Amadea Prajna Putra; Manggala, Jakobus Aditya Christie; Irawan, Paulus Bambang
Proceedings of The International Conference on Theology, Religion, Culture, and Humanities Vol 1, No 2 December (2024): Proceedings of The International Conference on Theology, Religion, Cult
Publisher : Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/tic.v1i2.8876

Abstract

This paper discusses the concept of public theology, which involves dialogue and engagement with society, aiming for social justice, community welfare, and the common good for the world. It emphasizes the necessity for public theology to address issues affecting the wider community and to use language and logic understandable and debatable by the public. Although aligned with political and liberation theology, public theology tends to be more reformative than revolutionary. The Perkampungan Sosial Pingit (PSP) in Yogyakarta demonstrates concrete involvement in social work, reflecting public theology. This research highlights the engagement of PSP volunteers, the relationship between emotional impulse and compassion, and the impact of social involvement on religion and theology. Furthermore, it shows how social activism and theology influence and enrich each other, providing inspiration for the involvement of young people in social work and public theology.
Hukum Kristus di Era Krisis Ekologi: Mengintegrasikan Pemikiran Bernhard Haring dengan Ekologi Integral dalam Laudato Si Fofid, Elisabet Maria; Irawan, Paulus Bambang
Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology Vol 3, No 1 (2025): Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology
Publisher : Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/snf.v3i1.10208

Abstract

The recent climate change is one of the consequences of the gap in the relationship between humans and the universe. This gap ultimately gives rise to a prolonged ecological crisis. The current environmental crisis is a global challenge, with severe impacts such as increased migration, loss of homes, and the extinction of various plant and animal species. Conditions like these are essentially caused by the loss of human connectivity and sensitivity to nature, which then leads to unpredictable weather changes, decreased agricultural yields, and the exploitation of environmental issues in political policies. In response to this crisis, this paper proposes an integration between the concept of the Law of Christ from Bernhard Haring's thought and the idea of integral ecology in Laudato Si by Pope Francis. So the question of this paper is how to rebuild human connectivity and sensitivity to nature through responsible moral action. The method of this paper is to analyze the concept of the law of Christ according to Bernhard Haring and integrate it with the understanding of the integral ecology of Pope Francis in the encyclical Laudato Si. Bernhard Haring, who lived during World War II, emphasized love as the core of the Law of Christ, where love encourages responsible moral action towards others and nature. He also underlines the importance of freedom of action balanced with responsibility for its impact on creation. Meanwhile, Pope Francis in Laudato Si sees the roots of the ecological crisis in technology, the technocratic paradigm, and the modern anthropocentric view. Pope Francis offers the principle of solidarity and the importance of considering the impact of our actions on the environment for future generations. Both of these thoughts emphasize the need for an ecological conversion based on love as the main driver to give birth to awareness of the importance of responsible moral action to recreate the harmony of the relationship between humans and the universe as a common home.AbstrakPerubahan iklim yang terjadi akhir-akhir ini merupakan salah satu akibat dari  adanya kesenjangan relasi antara manusia dan alam semesta. Kesenjangan ini pada akhirnya melahirkan krisis ekologi yang berkepanjangan. Krisis ekologi saat ini menjadi tantangan global, dengan dampaknya yang sangat serius seperti meningkatnya migrasi, hilangnya tempat tinggal, serta punahnya berbagai spesies tumbuhan dan hewan. Kondisi-kondisi seperti ini pada hakekatnya disebabkan oleh hilangnya konektivitas dan sensitivitas manusia terhadap alam, yang kemudian berujung pada perubahan cuaca tidak menentu, penurunan hasil pertanian, dan eksploitasi isu lingkungan dalam kebijakan politik. Menanggapi krisis ini, paper ini mengusulkan integrasi antara konsep Hukum Kristus dari pemikiran Bernhard Haring dan konsep ekologi integral dalam Laudato Si oleh Paus Fransiskus. Maka pertanyaan dari paper ini adalah bagaimana membangun kembali konektivitas dan sensivitas manusia dengan alam melalui tindakan moral yang bertanggungjawab? Metode dari paper ini adalah menganalisa konsep hukum Kristus menurut Bernhard Haring dan mengintegrasikannya dengan paham ekologi integral Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si. Bernhard Haring, yang hidup di masa Perang Dunia II, menekankan kasih sebagai inti Hukum Kristus, di mana kasih mendorong tindakan moral yang bertanggungjawab terhadap sesama dan alam. Ia juga menggarisbawahi pentingnya kebebasan untuk bertindak yang diimbangi dengan tanggung jawab atas dampaknya terhadap ciptaan. Sementara itu, Paus Fransiskus dalam Laudato Si melihat akar dari krisis ekologi adalah teknologi, paradigma teknokratis dan pandangan antroposentrisme modern. Paus Fransiskus menawarkan prinsip solidaritas dan pentingnya mempertimbangkan dampak tindakan kita terhadap lingkungan untuk generasi mendatang. Kedua pemikiran ini menekankan perlunya pertobatan ekologis yang berdasarkan pada kasih sebagai penggerak utama untuk melahirkan kesadaran akan pentingnya tindakan moral yang bertanggung jawab untuk menciptakan kembali harmonisasi relasi antara manusia dan alam semesta sebagai rumah bersama.
Penafsiran Ulang atas Aksi Puasa Pembangunan berdasarkan Perspektif Moral Gerard Gilleman Adi, Feremenatos; Bambang Irawan, Paulus
Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology Vol 3, No 1 (2025): Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology
Publisher : Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/snf.v3i1.10205

Abstract

Aksi Puasa Pembangunan is a program held regularly by all dioceses beneath Indonesian Church Conference (Ind.: Konfer-ensi Waligereja Indonesia). The spirit of this program in early years actually was only to help those who are economically poor. Many years later, APP program were developed in every diocese according to its context and function. Through entrust-ing APP in family stage, the Archdiocese of Semarang (Indo-nesia: Keuskupan Agung Semarang or KAS) tries to involve and build social structure. It shows hope that APP would edu-cate all members of family, to internalize charity value and diligently set some funds to give alms. From the perspective of moral theology’s history, APP’s ap-proaches have some similarity with manualist’s approaches. APP is an obligant program for all the dioceses in Indonesia. The new policy of APP which due in KAS since 2023, even highlightened the obligance side of this program, simply ‘forc-ing’ people to donate everyday for alms. The main question in this paper is: how this practice of APP, with all of its manualist strong nuance, develop moral of the faithful in KAS? Gerard Gilleman criticize the manualist’s practice which only discussed moral education from the out-side, rather than interior side of human heart. Moral act should explore the higher value which lead human morality to mature stage. Internal charity must set at the heart of moral life.AbstrakAksi Puasa Pembangunan adalah sebuah program yang menjadi gerak bersama umat di seluruh keuskupan yang bernaung di bawah Konferensi Waligereja Indonesia. Semangat awal yang hendak dibangun adalah membantu mereka yang berkekurangan. Kendati demikian, perlahan APP dikembangkan di berbagai keuskupan sesuai fungsi dan konteksnya masing-masing. Dengan mempercayakan APP pada masing-masing keluarga, Keuskupan Agung Semarang mengharapkan terciptanya budaya dan kontrol sosial yang mendidik anggota keluarga tekun menyisihkan nafkah setiap hari untuk bersedekah. Dalam kacamata sejarah teologi moral, pendekatan APP mirip dengan pendekatan yang dilakukan oleh kelompok manualis. APP merupakan program Konferensi Waligereja Indonesia yang diterapkan kepada seluruh umat Katolik Indonesia. Kebijakan terbaru mengenai APP yang diberlakukan di Keuskupan Agung Semarang sejak 2023, tentu semakin menekankan unsur kewajiban yang memaksa. Maka, pertanyaan pokok di dalam paper ini adalah: karena nuansa manualis yang sangat kuat, sejauh mana praktek APP membantu perkembangan moral umat Keuskupan Agung Semarang? Gerard Gilleman, seorang teolog moral kenamaan abad XX memberi kritik keras pada teologi moral yang hanya berfokus pada 'paksaan' eksternal. Bagi Gilleman, perilaku moral tidak boleh terjebak pada sekedar kewajiban dan kriteria minimal, melainkan harus mengeksplorasi nilai luhur yang hendak diinternalisasikan untuk mendewasakan nurani. Cinta kasih internal harus menjadi pusat kehidupan moral.