Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

KEABSAHAN KEKUATAN PEMBUKTIAN KONTRAK ELEKTRONIK DALAM PERJANJIAN BISNIS MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA Paul Hans Kakisina; Vecky Yani Gosal; Nurhikmah Nachrawy
LEX ADMINISTRATUM Vol. 11 No. 4 (2023): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Peran teknologi pada dunia bisnis membantu banyak pelaku bisnis seperti memudahkan pembayaran tagihan ke pemasok, memiliki akses luas terhadap informasi yang mana sangat penting untuk keberlanjutan perusahaan untuk meningkatkan bisnis.Kontrak elektronik merupakan salah satu bentuk variasi baru dalam suatu perjanjian bisnis baik jual beli maupun hal yang berkaitan dengan bisnis, karena kontrak elektronik tidak lagi menggunakan kertas melainkan menggunakan data dan aplikasi digital yang memberikan efisiensi bagi perusahaan yang menjalankan bisnisnya secara online. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Keabsahan Pembuktian kontrak elektronik dalam perjanjian bisnis menurut hukum positif Di Indonesia Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan konseptual dan pendekatan undang-undang. Adapun hasil dari penelitian yaitu Kontrak elektrokni dalam satu perjanjian bisnis memilikih dasar hukum yang Kuat sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mana harus memenuhi asas- asas hukum dan persyaratan melakukan suatu perjanjian sebagaimana terdapat dalam KUHperdata, ketentuan peraturan Perundang-undangan yang berlaku saat ini yang mana memberikan penegasan bahwa pembuktian alat bukti elektronik juga dianggap sah dan dapat dipersamakan dengan kekuatan pembuktian alat bukti tertulis, apabila informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tersebut dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan Kata Kunci: KONTRAK ELEKRONIK, KEABSAHAN PERJANJIAN BISNIS.
TANGGUNG JAWAB RUMAH SAKIT TERKAIT PENOLAKAN PASIEN GAWAT DARURAT BERDASARKAN ASAS SALUS AEGROTI SUPREMA LEX Brigitta Hemadhanita Rares Ho; Caecilia J.J Waha; Vecky Yani Gosal
LEX ADMINISTRATUM Vol. 12 No. 3 (2024): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Semakin maju suatu negara, semakin pesat pula tuntutan fasilitas yang dibutuhkan oleh Masyarakat Indonesia yaitu dalam aspek kesehatan. Rumah sakit merupakan lembaya pelayanan masyarakat yang bergerak dalam bidang kesehatan. Rumah sakit yang menerima pasien harus mengetahui bentuk tanggung jawab apa yang harus diterima dan diembannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan dari asas Salus Aegroti Suprema Lex di rumah sakit sesuai peraturan perundang – undangan. Penelitian ini menggunakan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan undang – undang dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masih banyak tenaga medis dan tenaga kesehatan yang belum memaknai konsep dari asas Salus Aegroti Suprema Lex. Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat tanggung jawab yang harus diemban oleh rumah sakit yang melakukan penolakan kepada pasien gawat darurat. Kata Kunci : Asas Salus Aegroti Suprema Lex, Gawat Darurat, Tanggung Jawab Rumah Sakit
KEWENANGAN LEMBAGA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM MELAKUKAN PENYADAPAN TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI BERDASARKAN PRINSIP DUE PROCESS OF LAW MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2019 Gracia Jeslin Rangka; Caecilia Johanna Julietta Waha; Vecky Yani Gosal
LEX PRIVATUM Vol. 15 No. 2 (2025): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami pengaturan hukum lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyadapan terhadap tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 dan memahami pelaksanaan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyadapan berdasarkan prinsip due process of law. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. Pengaturan penyadapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah lebih maju dibandingkan regulasi sebelumnya, selain itu ada penambahan pengaturan meskipun tidak ideal. 2. Penyadapan salah satu instrumen yang membantu Komisi Pemberantasan Korupsi dalam pengumpulan alat bukti untuk kepentingan penegakan hukum, akan tetapi tetap harus mengikuti aturan yang berlaku, dan aturan internal Komisi Pemberantasan Korupsi harus sejalan dan tidak bertentangan dengan perundang-undangan. Kata Kunci : kewenangan, lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi, penyadapan, tindak pidana korupsi, due process of law
KEWENANGAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM (RUPS) PADA PEMBERHENTIAN SEORANG DIREKSI DITINJAU DARI UNDANG –UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 Natasya Glorya Pontoh; Djefry W. Lumintang; Vecky Yani Gosal
LEX ADMINISTRATUM Vol. 13 No. 1 (2025): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan kajian kewenangan dan kedudukan Direksi dalam perusahaan menurut aturan hukum yang berlaku dan untuk melakukan kajian terhadap akibat hukum keputusan RUPS dalam memberhentikan Direksi. Metode yang digunakan adalah penelitian normatif, dengan kesimpulan yaitu: 1. Kedudukan dan Kewenangan Direksi dalam perusahaan adalah sebagai pengelola perusahaan dan mewakili perseroan baik di dalam maupun diluar pengadilan dengan pembatasan-pembatasan sebagaimana diatur dalam anggaran dasar perseroan. Direksi dapat diangkat oleh pemegang saham melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tetapi ada juga sebagai pemegang saham yang merangkap sebagai Direksi yang semua itu tergantung dari kesepakatan dan keputusan RUPS. 2. Direksi dapat diberhentikan sementara dan tetap oleh RUPS dengan pertimbangan Direksi dapat merugikan perseroan dan tentunya merugikan pemegang saham itu sendiri. Direksi yang paling rentan untuk sewaktu-waktu dapat saja diberhentikan oleh pemegang saham maupun oleh Dewan Komisaris adalah Direksi yang bukan pemegang saham dan Direksi yang merangkap sebagai pemegang saham tetapi selaku pemegang saham minoritas. Kata Kunci : pemberhentian direksi, RUPS