Pemilihan calon legislatif tidak pernah dapat dipisahkan dari subyektivitas pemilih. Pemilih bukanlah sosok yang obyektif karena mereka memiliki penilaiannya sendiri. Seringkali pemilih juga memberikan pilihan pada sosok yang dikultuskan. Dalam hal ini, calon presiden-wakil presiden adalah sosok yang seringkali dikultuskan. Oleh karena calon presiden-wakil presiden menjadi sosok yang dikultuskan, maka pengaruh calon presiden dalam pemilihan legislatif cukup kuat. Dengan demikian, maka calon presiden dan calon legislatif sebenarnya membutuhkan satu sama lain. Namun dalam negosiasi koalisi yang dibangun, tidak dapat dibentuk pemahaman berdasarkan logika semata, yang terjadi adalah kerjasama nilai yang tidak terukur dan abstrak. Meski demikian, penelitian ini mencoba mendekatkan pendekatan kualitatif ini menuju ke pemahaman kuantitatif dengan melakukan kodifikasi pada faktor faktor yang membuat kerjasama antara calon legislator dan calon presiden-wakil presiden saling menguntungkan. Hasil dari survey menunjukkan kebenaran hipotesa awal yaitu penegasan teori integratif dalam negosiasi yang akhirnya mempengaruhi kemenangan masing masing pihak dalam pemilihan umum. Beberapa faktor yang mempengaruhi di antaranya adalah kecocokan personal branding, kesamaan nilai di mata masyarakat serta kemiripan kemiripan fisik dan latar belakang sosial-budaya-agama.