Carel Hot Asi Siburian
Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta

Published : 14 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 14 Documents
Search

Meragukan Sejarah Peristiwa Kenaikan Yesus dalam Markus 16:9-20 dan Lukas 24:50-53 dengan Pendekatan Analisis Redaksi-Kritis Carel Hot Asi Siburian
Jurnal Abdiel: Khazanah Pemikiran Teologi, Pendidikan Agama Kristen dan Musik Gereja Vol 7 No 2 (2023): Volume 7 Nomor 2 Tahun 2023
Publisher : Sekolah Tinggi Theologia Abdiel

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37368/ja.v7i2.595

Abstract

Peristiwa kenaikan Yesus (Mrk. 16:9-20; Luk. 24:50-53) menjadi puncak dari rangkaian rencana Ilahi yang dimulai sejak inkarnasi Anak, kematian, kebangkitan, dan diakhiri dengan kenaikan Yesus. Namun kisah kenaikan itu hanya muncul dalam Injil Markus dan Injil Lukas, dan sebagian kecil dalam kitab Kisah Para Rasul. Dalam studi biblika, Injil Markus sendiri pada awal penulisannya tidak memiliki kisah kenaikan Yesus (Mrk. 16:9-20) sehingga dapat disimpulkan bahwa hanya Lukas yang menuliskan kisah kenaikan yang sangat penting ini. Sebab itu, artikel ini hadir untuk meragukan sekaligus menantang kisah kenaikan Yesus dengan landasan bahwa hanya ada satu penulis saja yang menuliskan kisah kenaikan Yesus, itupun hanya dalam empat ayat pendek saja. Kehistorisan kisah kenaikan tersebut menjadi pertanyaan penting dalam artikel ini, sebab tidak elok rasanya menumpukan doktrin di atas sebuah kisah yang tidak dapat dipastikan kebenarannya. Maka melalui metode tafsir historis-kritis ringkas dan pendekatan analisis redaksi-kritis, akan diperlihatkan bahwa kisah kenaikan Yesus, secara historis, dapat diragukan. Simpulan dari artikel ini adalah kisah kenaikan Yesus justru tidak terjadi seperti yang kita pahami selama ini, di mana penggambarannya selalu berhubungan dengan Yesus yang terangkat ke surga (melayang, naik, dan menghilang di awan-awan).
Benarkah Hamba Ketiga Malas dan Jahat? Carel Hot Asi Siburian
SANCTUM DOMINE: JURNAL TEOLOGI Vol 13 No 1 (2023): Desember
Publisher : Sekolah Tinggi Theologia Nazarene Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46495/sdjt.v13i1.200

Abstract

The “classical” reading of Matthew 25:14-30 has always referred to the third servant as being unfaithful to his master and to what his master entrusted to him. “Talents” are always considered as “gifts” given by God that must always be developed by human. This reading also “seems” to negate the objections that appear in the text, when the third servant gives resistance to the master. But does this parable really show that the third servant is lazy and wicked, and does it really “only” speak of God’s gift? This paper will present a critical-alternative reading of Matthew 25:14-30. Using the narrative approach method, there are at least four readings of this parable, which are (1) Jesus is/was doing the third servant; (2) the third servant is a good servant; (3) this parable is not about gifts; and the possibility that (4) Matthew’s Gospel is “hiding” something; that the answer to the parable in Matthew 25:14-30 is in Matthew 25:31-46. That is why the parable of the talents must be read together with the story of the last judgement.
Kristus (dan) Debata Mulajadi na Bolon: Perjumpaan yang “serupa tapi ‘tak sama” atau “adalah?” Carel Hot Asi Siburian
Jurnal Teologi Kontekstual Indonesia Vol 4, No 2 (2023): Desember
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Simpson Ungaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46445/jtki.v4i2.658

Abstract

Christ and Debata Mulajadi na Bolon are two distinct entities, understood respectively by Christianity and by Batak-Toba culture. Christ is known as the incarnate logos (John 1:1-5) and the firstborn and invisible image of God (Colossians 1:15), while Debata Mulajadi na Bolon is only approached as “the supreme god of Batak-Toba”; although the titles ascribed to him are similar to those ascribed to God. This article will build on the idea that Christ is Debata Mulajadi na Bolon himself, although it must be acknowledged that there are differences, especially in their Trinity theology. Debata Mulajadi na Bolon is not a pagan figure but God who presents Himself as Debata Mulajadi na Bolon. The three biblical texts that will be discussed in this article are the bridge of this transformation effort, also using two approaches namely Niebuhr’s typology, Christ the Transformer of Culture and Bevans’ synthesized contextual theology model.
Signifikansi Eksorsisme bagi Pelayanan Yesus menurut Ketiga Injil Sinoptik dan Implementasinya dalam Konteks Indonesia Carel Hot Asi Siburian
CARAKA: Jurnal Teologi Biblika dan Praktika Vol. 4 No. 1 (2023): Mei 2023
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Injil Bhakti Caraka

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46348/car.v4i1.177

Abstract

This article will discuss the theme of Jesus as an exorcist and its significance to His ministry from the perspective of the Synoptic Gospels. The conclusions of this article are: 1) Jesus’ ministry of exorcism is unique because Jesus casts out demons on His own authority and shows the realization of God’s salvation for mankind, 2) the ministry of exorcism must remain an integral part, task, and calling of the church in the world until the end of time, 3) that a person who does not even know Jesus can cast out demons in the name of Jesus (Mark 9:38-41; Luke 9:49-50), where it shows that the name of Jesus has power over demons, and finally, and finally, 4) the implementation of the story of Jesus as an exorcist for the Indonesian context, that the church must be able to restore the existence of exorcism in the midst of cultural diversity, and perhaps even make efforts to contextualize it with culture in terms of exorcism in the name of Jesus. The method used is a literature study on the stories of exorcism by Jesus according to the Synoptic Gospels. This article will conclude that exorcism by Jesus will always be centered on the presence of the Kingdom of God in the world and in the future.
Lateness Eschatology: Analisis Kritis atas Keterlambatan Kedatangan Mempelai Laki-laki dalam Matius 25:1-13 Carel Hot Asi Siburian
Jurnal Teologi Berita Hidup Vol 6, No 2 (2024): Maret 2024
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Berita Hidup

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38189/jtbh.v6i2.604

Abstract

Tema mengenai penundaan parousia sering kali menjadi bagian sentral dalam eskatologi Perjanjian Baru. Namun pemahaman tersebut hanya berhenti sebatas “pengharapan” oleh manusia saja. Artinya, yang ditunggu masih belum tiba. Menariknya, hanya dalam perumpamaan sepuluh gadis (Mat. 25:1-13) saja, “sosok” yang diharapkan tiba, telah tiba. Ia adalah mempelai laki-laki. Di sinilah letak kebaruan penelitian dalam artikel ini, sebab ketibaan “sosok” yang ditunggu ini menimbulkan paham lateness eschatology dan bukan delayed eschatology. Argumen utama dari artikel ini adalah bahwa 1) sangat aneh menerima kenyataan bahwa Yesus datang terlambat dalam pesta-Nya sendiri (jika pembaca masih menyejajarkan figur Yesus dengan mempelai laki-laki), dan oleh sebab itu, 2) muncul paham tentang lateness eschatology hanya dalam perumpamaan ini. Namun baik itu delayed maupun lateness, keduanya bukan karena Allah pada diri-Nya sendiri menyampaikan keterlambatan atau penundaan kedatangan-Nya, melainkan akibat pengharapan berlebih oleh manusia. Akhirnya, artikel ini membuka wacana apakah memang ada “keterlambatan” seperti itu dan mengapa tema tersebut muncul dalam Injil Matius.
Lateness Eschatology: Analisis Kritis atas Keterlambatan Kedatangan Mempelai Laki-laki dalam Matius 25:1-13 Siburian, Carel Hot Asi
Jurnal Teologi Berita Hidup Vol 6, No 2 (2024): Maret 2024
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Berita Hidup

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38189/jtbh.v6i2.604

Abstract

Tema mengenai penundaan parousia sering kali menjadi bagian sentral dalam eskatologi Perjanjian Baru. Namun pemahaman tersebut hanya berhenti sebatas “pengharapan” oleh manusia saja. Artinya, yang ditunggu masih belum tiba. Menariknya, hanya dalam perumpamaan sepuluh gadis (Mat. 25:1-13) saja, “sosok” yang diharapkan tiba, telah tiba. Ia adalah mempelai laki-laki. Di sinilah letak kebaruan penelitian dalam artikel ini, sebab ketibaan “sosok” yang ditunggu ini menimbulkan paham lateness eschatology dan bukan delayed eschatology. Argumen utama dari artikel ini adalah bahwa 1) sangat aneh menerima kenyataan bahwa Yesus datang terlambat dalam pesta-Nya sendiri (jika pembaca masih menyejajarkan figur Yesus dengan mempelai laki-laki), dan oleh sebab itu, 2) muncul paham tentang lateness eschatology hanya dalam perumpamaan ini. Namun baik itu delayed maupun lateness, keduanya bukan karena Allah pada diri-Nya sendiri menyampaikan keterlambatan atau penundaan kedatangan-Nya, melainkan akibat pengharapan berlebih oleh manusia. Akhirnya, artikel ini membuka wacana apakah memang ada “keterlambatan” seperti itu dan mengapa tema tersebut muncul dalam Injil Matius.
MENINJAU ULANG KEJADIAN 22:1-19: BENARKAH ALLAH MENGIZINKAN KEKERASAN PADA ANAK? Siburian, Carel Hot Asi
BONAFIDE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Vol 4 No 2 (2023)
Publisher : SEKOLAH TINGGI TEOLOGI INJILI SETIA SIAU

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46558/bonafide.v4i2.151

Abstract

The different images of God in the Old Testament and New Testaments have long been scrutinised. This has resulted in the assertion that the God of the Old Testament favours evil, genocide, murder, etc., whereas the God of the New Testament (in the form of Jesus) is a loving and forgiving God. This article aims to show that God basically does not allow violence against [creation], in this case children, despite the many texts in the Old Testament (one of which is the sacrifice of Isaac) that have this connotation. The findings of this article also vary, ranging from the finding that there is a possibility that the story of Isaac's sacrifice did not happen historically to Abraham's belief that Isaac would still be the son God promised him, so he did not hesitate to sacrifice Isaac. Some [further] findings are also presented in this article, such as the finding of God's tendency to avoid Abraham and Isaac when delivering sacrifices, the possibility that God misused his authority, to the opening of further discussion about how Abraham and Isaac's relationship after they returned home. All of this is presented to show that reading just one text and concluding that God is an evil God is a wrong approach to reading.
Konstruksi Pemahaman Kontekstual pada Suku Batak Toba dalam Perjumpaan Kristus dan Debata Mulajadi na Bolon Siburian, Carel Hot Asi
JURNAL TERUNA BHAKTI Vol 6, No 1: Agustus 2023
Publisher : SEKOLAH TINGGI AGAMA KRISTEN TERUNA BHAKTI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47131/jtb.v6i1.188

Abstract

Christ and Debata Mulajadi na Bolon are two distinct entities understood by Christianity and Batak-Toba culture. Christ is known as the incarnate λόγος (John 1:1-5) as well as the firstborn and invisible image of God (Colossians 1:15). Debata Mulajadi na Bolon, on the other hand, is only approached as the “supreme god of Batak-Toba”; although the titles attributed to him are similar to those attributed to God. This paper will construct the idea that Christ is Debata Mulajadi na Bolon himself. However, it must be recognized that there are specific differences in their theological understanding of the Trinity. Debata Mulajadi na Bolon is not a pagan figure but God who presents Himself as Debata Mulajadi na Bolon. The three biblical texts discussed in this paper (from Johaninum and Paulinum theologies, respectively), along with Niebuhr's typology, Christ the Transformer of Culture, and Bevans' synthesized contextual theology model, are the bridge to this contextualization effort. Abstrak Kristus dan Debata Mulajadi na Bolon merupakan dua entitas yang berbeda, yang masing-masing dipahami oleh kekristenan dan oleh kebudayaan Batak-Toba. Kristus dikenal sebagai inkarnasi λόγος (Yoh. 1:1-5) juga gambar Allah yang sulung dan tidak kelihatan (Kol. 1:15). Sedangkan Debata Mulajadi na Bolon hanya didekati dengan sebutan “dewa tertinggi Batak-Toba”; meskipun gelar-gelar yang disematkan padanya sekilas mirip dengan gelar yang dikenakan kepada Allah. Melalui tulisan ini akan dibangun konstruksi berpikir bahwa Kristus adalah Debata Mulajadi na Bolon itu sendiri, meskipun harus diakui adanya perbedaan-perbedaan khusus dalam pemahaman teologi Trinitas keduanya. Debata Mulajadi na Bolon bukanlah sosok kekafiran melainkan Allah yang menampilkan diri-Nya sebagai Debata Mulajadi na Bolon. Ketiga teks Alkitab yang akan dibahas dalam tulisan ini (masing-masing dari teologi Johaninum dan Paulinum), disertai dengan tipologi Niebuhr, Christ the Transformer of Culture, dan model teologi kontekstual sintesis dari Bevans adalah jembatan usaha kontekstualisasi ini.
MENGUNGKAP “VISI KEJAHATAN” DALAM PERUMPAMAAN SEPULUH GADIS (MAT. 25:1-13) Siburian, Carel Hot Asi
Manna Rafflesia Vol. 10 No. 2 (2024): April
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Arastamar Bengkulu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38091/man_raf.v10i2.390

Abstract

Perumpamaan sepuluh gadis selalu dibaca dengan pendekatan alegoris; bahwa lima gadis bodoh yang tidak mempersiapkan minyak ketika menanti sang mempelai adalah gambaran manusia yang tidak siap sedia dalam menantikan kedatangan Kerajaan Allah; lima gadis bijaksana lainnya adalah mereka yang siap; dan mempelai laki-laki yang disejajarkan dengan figur Yesus. Namun pembacaan demikian menghilangkan “ketegangan” yang muncul. Dengan pendekatan tafsir naratif-kritis, artikel ini menawarkan pembacaan bahwa elemen “kejahatan” justru hadir dalam perumpamaan sepuluh gadis. Kejahatan itu terletak pada sikap tidak welas asih yang ditunjukkan oleh lima gadis bijaksana dan mempelai laki-laki. Elemen kejutan seperti 1) Tidak adanya mempelai perempuan, 2) Siapakah kesepuluh gadis?, 3) Siapakah penjual minyak yang buka tengah malam? 4) Pesta apa yang diadakan tengah malam, dan 5) Keterlambatan mempelai laki-laki akan dijawab dalam artikel ini. Artikel ini juga menawarkan pandangan bahwa Matius 25:31-46 justru merupakan ‘kesimpulan’ dari perumpamaan sepuluh gadis, dan lima gadis bijaksana serta mempelai laki-laki gagal melakukannya.
Yesus “Naik” atau “Terangkat”?: “Karakter Ilahi yang Tersembunyi” dalam Kisah Yesus Terangkat ke Surga Siburian, Carel Hot Asi; Panggabean, Christian Roy
LOGON ZOES: Jurnal Teologi, Sosial dan Budaya Vol 7, No 2 (2024): Agustus 2024
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Erikson-Tritt Manokwari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.53827/lz.v7i2.174

Abstract

The Ascension story independently appears only in the Gospel of Luke 24:50-51. However, editorially the story also appears in Mark 16:9-20 and Acts 1:6-11. The main issue in this article is the question of Jesus “ascending” or “being taken up” to heaven. The polemic that arises is to question the exact position of Jesus when it is said that He returned to heaven; as a direct subject or as an object. This problem arises because the Greek word used in the three texts above is passive, where all possibilities lead to the conclusion that Jesus is the object who was taken up to heaven. This is even though the current understanding is that Jesus ascended to heaven by His power. Through this article, using the method of analyzing the Greek word “ascending”, a construction of thinking will be built that the power of Jesus being lifted to heaven did not originate from Jesus. Jesus was lifted by a hidden divine character and this indicates that Jesus in Himself did not have the power to lift Himself in His ascension story.Kisah Kenaikan Yesus secara independen hanya muncul dalam Injil Lukas 24:50-51. Namun secara redaksional kisah tersebut juga muncul dalam Markus 16:9-20 dan Kisah Para Rasul 1:6-11. Masalah utama dalam artikel ini adalah perihal Yesus yang “naik” atau “terangkat” ke surga. Polemik yang muncul adalah mempertanyakan sebenarnya bagaimana posisi Yesus saat disebut bahwa Ia kembali ke surga; sebagai subjek langsung atau sebagai objek. Permasalahan ini muncul sebab kata Yunani yang digunakan dalam ketiga teks di atas bersifat pasif, di mana segala kemungkinan merujuk pada kesimpulan bahwa Yesus justru adalah objek yang diangkat ke surga. Padahal selama ini paham yang muncul adalah bahwa Yesus naik ke surga atas kuasa-Nya sendiri. Melalui artikel ini, menggunakan metode analisis kata Yunani “terangkat”, akan dibangun sebuah konstruksi berpikir bahwa kuasa Yesus yang terangkat ke surga tidak berasal dari diri Yesus. Yesus diangkat oleh suatu karakter Ilahi yang tersembunyi dan hal ini justru menandakan bahwa Yesus dalam diri-Nya sendiri tidak memiliki kuasa untuk mengangkat diri-Nya dalam kisah kenaikan-Nya.