p-Index From 2020 - 2025
0.444
P-Index
This Author published in this journals
All Journal Jurnal Kewarganegaraan
Shahrazad Elmaniz
Universitas Tarumanagara

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Pelanggaran Sila Kedua Pancasila Terkait Dengan Pembunuhan Anak Terhadap Ibu Kandung Sesuai Undang Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang KUHpidana Jeane Neltje Saly; Aufa Fakhrana Rizky; Helen Setia Budi; Shahrazad Elmaniz; Sthasia Lintong; Syafira Aulia Deswita; Vennia Neshya Rusli
Jurnal Kewarganegaraan Vol 7 No 2 (2023): Desember 2023
Publisher : UNIVERSITAS PGRI YOGYAKARTA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31316/jk.v7i2.5393

Abstract

Abstrak Tindakan yang menghilangkan nyawa seseorang disebut dengan pembunuhan, kasus pembunuhan anak terhadap ibu kandung yang dilakukan oleh saudara Rifki Aziz Ramadhan telah melanggar UU Nomor 1 tahun 2023 Tentang KUHPidana dan sila kedua Pancasila. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kasus ini terjadi serta mengetahui hambatan dalam penegakkan hukum dalam kasus ini. Metode penelitian yang dipakai dalam jurnal ini ialah. kualitatif dan teknik analisis studi literatur, dengan mengumpulkan data sekunder seperti buku, jurnal ilmiah, dan karya ilmiah. Berdasarkan hasil penelitian pada kasus ini menunjukkan bahwa secara hukum saudara Rifki Aziz Ramadhan telah melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang KUHPidana, nilai sila kedua pancasila, dan nilai agama. Penyelesaian kasus ini adalah ayah dan keluarga pelaku sudah memaafkan dan mengikhlaskan perbuatan anaknya, tetapi pelaku pembunuhan tetap dipidana dengan Pasal 340 KUHPidana dengan sanksi berupa hukuman mati, atau penjara seumur hidup. Perbuatan tersebut juga termasuk ke dalam salah satu pelanggaran Hak Asasi Manusia golongan berat karena telah dilakukannya perampasan nyawa orang lain seperti yang diatur dalam Pasal 104 Ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999. Adapun sanksi yang dapat dikenakan kepada pelaku seperti yang diatur dalam Pasal 458 Ayat 1 yang menyatakan siapapun yang mengambil nyawa orang lain, dipidana akibat pembunuhan, dengan sanksi penjara paling lama 15 tahun. Agar penegakkan hukum di Indonesia bisa berjalan dengan baik maka perlu adanya penindakan tegas terhadap pelaku pembunuhan sesuai dengan hukum yang berlaku. Kata Kunci: Pelanggaran; Pembunuhan; Pancasila; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang KUHPidana; Hambatan dalam penegakkan hukum Abstract Actions that take someone's life are called murder. The case of child murder of the biological mother carried out by Rifki Aziz Ramadhan's brother violates Law Number 1 of 2023 concerning the Criminal Code and the second principle of Pancasila. This research aims to find out how this case occurred and find out the obstacles to law enforcement in this case. The research method used in this journal is. qualitative and literature study analysis techniques, by collecting secondary data such as books, scientific journals and scientific works. Based on the results in this case, it shows that legally, Rifki Aziz Ramadhan's brother has violated Law Number 1 of 2023 concerning the Criminal Code, the second principle of Pancasila, and religious values. The resolution of this case is that the perpetrator's father and family have forgiven and accepted their son's actions, but the perpetrator of the murder is still punished under Article 340 of the Criminal Code with sanctions in the form of the death penalty or life imprisonment. This act is also included in one of the serious human rights violations because it has committed the taking of another person's life as regulated in Article 104 Paragraph 1 of Law no. 39 of 1999. The sanctions that can be imposed on the perpetrator are as regulated in Article 458 Paragraph 1 which states that anyone who takes another person's life will be punished with murder, with a maximum prison sentence of 15 years. In order for law enforcement in Indonesia to run well, it is necessary to take firm action against perpetrators of murder in accordance with applicable law. Keywords: Violation; Murder; Pancasila; Law Number 1 of 2023 concerning the Criminal Code; Obstacles in law enforcement
Pertanggung Jawaban Dirjen HKI atas Merek Gerprek Bensu melawan I am Geprek Bensu dalam Putusan Pengadilan Mahkamah Agung No.57/Pdt.Sus-Hki/Merek/2019/Pengadilan Niaga Aflah Noval Ramadhan; Reynaldi Hartman; Shahrazad Elmaniz
Jurnal Kewarganegaraan Vol 8 No 1 (2024): Juni 2024
Publisher : UNIVERSITAS PGRI YOGYAKARTA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31316/jk.v8i1.6440

Abstract

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pertanggungjawaban Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Dirjen HKI) dalam kasus sengketa merek antara "Geprek Bensu" dengan "I Am Geprek Bensu" berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 57/Pdt.Sus-HKI/Merek/2019/Pengadilan Niaga. Data diperoleh melalui studi kasus yang melibatkan analisis putusan pengadilan, dokumen hukum yang relevan, dan wawancara dengan ahli hukum kekayaan intelektual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Mahkamah Agung memutuskan bahwa hak merek "I Am Geprek Bensu" lebih sah karena didaftarkan terlebih dahulu, sedangkan "Geprek Bensu" dianggap melanggar hak tersebut. Putusan ini menyoroti tanggung jawab Dirjen HKI dalam memastikan proses pendaftaran merek yang akurat dan adil untuk menghindari sengketa merek. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Dirjen HKI harus meningkatkan mekanisme pemeriksaan dan verifikasi merek dagangnya untuk memastikan perlindungan yang lebih baik terhadap hak kekayaan intelektual, serta memberikan pemahaman yang lebih dalam kepada masyarakat tentang proses hukum merek dagang. Abstract This research aims to analyze the liability of the Director General of Intellectual Property Rights (DG IPR) in a trademark dispute case between "Geprek Bensu" and "I Am Geprek Bensu" based on Supreme Court Decision No. 57/Pdt.Sus-HKI/Merek/2019/Commerce Court. Data was obtained through a case study involving the analysis of court decisions, relevant legal documents, and interviews with intellectual property law experts. The results showed that the Supreme Court decided that the trademark right of "I Am Geprek Bensu" was more valid because it was registered first, while "Geprek Bensu" was deemed to infringe the right. This ruling highlights the responsibility of the Director General of IPR in ensuring an accurate and fair trademark registration process to avoid trademark disputes. This research concludes that the DG IPR should improve its trademark examination and verification mechanisms to ensure better protection of intellectual property rights, as well as provide the public with a deeper understanding of the trademark legal process.