Claim Missing Document
Check
Articles

Found 15 Documents
Search

DISEMINASI HUKUM HUMANITER TENTANG PIHAK DALAM KONFLIK BERSENJATA INTERNAL UNTUK MENDUKUNG WAWASAN KEBANGSAAN DI ERA PANDEMI COVID-19 Arlina Permanasari; Maya Notoprayitno; Jun Justinar
Jurnal AKAL : Abdimas dan Kearifan Lokal Vol. 2 No. 2 (2021): Jurnal AKAL : Abdimas dan Kearifan Lokal
Publisher : Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2588.035 KB) | DOI: 10.25105/akal.v2i2.10262

Abstract

Sejak Januari 2020 kembali marak berita tentang kontak tembak antara Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dan anggota TNI/Polri yang terjadi di Intan Jaya, Papua. Walaupun konflik di Intan Jaya diduga telah dimulai sejak 2014, namun terjadi peningkatan intensitas konflik pada tahun 2020. Apakah memang benar Indonesia sedang menghadapi perang atau konflik bersenjata non-internasional (KBNI)? Hal ini dapat menimbulkan keresahan dalam masyarakat yang bermuara pada rentannya wawasan kebangsaan yang seharusnya justru menguat di era pandemi Covid-19. Berdasarkan situasi tersebut, Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM (terAs) FH USAKTI melakukan diseminasi melalui seminar daring guna membahas KBNI menurut hukum humaniter dan hukum nasional yakni tentang status hukum para pihak dalam KBNI praktik negara perlindungan korban dan peran perwira hukum militer dalam operasi militer terkait KBNI. Diseminasi berupa teori dasar KBNI, studi kasus serta implementasi pada praktik negara tersebut diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang situasi yang sedang terjadi dan akibat hukumnya bagi para pihak pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Hasil diseminasi menunjukkan bahwa aspek hukum KBNI masih belum sepenuhnya dipahami dan memerlukan diseminasi lanjutan guna meningkatkan masyarakat yang berwawasan kebangsaan.
PERLINDUNGAN PENGUNGSI DI WILAYAH KONFLIK BERSENJATA DAN PENENTUAN STATUS PRIMA FACIE Jun Justinar
terAs Law Review : Jurnal Hukum Humaniter dan HAM Vol. 1 No. 1 (2019): terAs Law Review
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (475.509 KB) | DOI: 10.25105/teras-lrev.v1i1.5793

Abstract

Salah satu alasan mengapa pengungsi meninggalkan rumahnya ke tempat yang aman di luar negaranya adalah karena konflik bersenjata internal atau internasional. Konflik bersenjata berdampak pada sistem penjaga perlindungan pengungsi. Makalah ini membahas kapan keadaan perang dapat mengakhiri status pengungsi, bagaimana perlindungan pengungsi dalam konflik bersenjata dan bagaimana status pengungsi ditentukan pada sipil dievakuasi karena konflik bersenjata. Suatu keadaan perang tidak akan mengakhiri status pengungsi tetapi para pengungsi mengangkat senjata dan secara aktif terlibat dalam konflik bersenjata. Perlindungan pengungsi dalam konflik bersenjata berlipat ganda. Secara umum pengungsi akan mendapatkan perlindungan berdasarkan instrumen hak asasi manusia tetapi karena status sebagai pengungsi manfaatnya berdasarkan perlindungan hukum dalam Konvensi 1951 atau Protokol 1967 serta perlindungan sebagai korban perang berdasarkan Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977. Pengungsi yang terlibat dan aktif dalam operasi militer kehilangan statusnya sebagai pengungsi. Dalam keadaan perang, status pengungsi ditentukan berdasarkan fakta di lapangan sehingga mereka disebut sebagai pengungsi prima facie karena pengungsi yang datang 'secara massal' sulit untuk menentukannya secara perorangan. Kata kunci: konflik bersenjata, prima facie, status pengungsi 
INTERPRETASI KLAUSULA PENGECUALIAN DALAM BEBERAPA PERJANJIAN INTERNASIONAL DAN KAITANNYA DENGAN KOMBATAN ( Interpretation of Exclusion Clauses in International Treaties in relation to the Combatant ) Jun Justinar
terAs Law Review : Jurnal Hukum Humaniter dan HAM Vol. 2 No. 2: November 2020
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (408.643 KB) | DOI: 10.25105/teras-lrev.v2i1.9053

Abstract

Abstrak Pengungsi adalah penduduk sipil sehingga apabila ia mengangkat senjata, ia kehilangan status pengungsinya. Pengungsian dalam jumlah besar dalam konflik bersenjata menyebabkan kesulitan untuk membedakan antara pengungsi yang sebenarnya dengan kombatan yang membaur dengan para pengungsi. Oleh karena itu perlu dibuat pedoman teknis untuk membedakan keduanya. Sementara itu untuk penyalahgunaan status pengungsi, Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi telah menetapkan Klausula Pengecualian. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimanakah interpretasi Klausula Pengecualian yang dihubungkan dengan status kombatan. Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan pendekatan eksploratif yang menggunakan bahan hukum sekunder. Analisis dilakukan secara kualitatif dan penarikan kesimpulan dilakukan secara deduktif. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa Klausula Pengecualian telah diakui sebagai suatu norma dan telah diadopsi dalam beberapa perjanjian internasional. Pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dan perdamaian serta penjahat perang termasuk dalam kelompok yang dikecualikan dari status pengungsi. Kombatan tidak mungkin berstatus sebagai pengungsi karena pengungsi haruslah penduduk sipil. Kata kunci: Klausula Pengecualian, Status Pengungsi, Kombatan. Abstract Refugees are civilians, so if they take up arms, they lose their refugee status. The large number of displaced persons in armed conflict makes it difficult to distinguish between actual refugees and combatants mingling with refugees. Therefore it is necessary to make technical guidelines to distinguish the two. Meanwhile for the abuse of refugee status, the 1951 Convention on the Status of Refugees has inserted an Exclusion Clause. This raises the question of how the interpretation of the Exclusion Clause relates to combatant status. This research is a normative research with an exploratory approach using secondary legal materials. The analysis was conducted qualitatively and the conclusion was drawn deductively. The result of the discussion shows that the Exclusion Clause has been recognized as a norm and has been adopted in several international treaties. Perpetrators of crimes against humanity and crimes against peace as well as war criminals are included in the group exempted from refugee status. It is impossible for combatants to have the status of refugees because refugees must be civilians. Keywords: Combatant, Exclusion Clause, Refugee Status. 
STATUS HUKUM BARISAN REVOLUSI NASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA DI THAILAND SELATAN Winna Ellianne; Jun Justinar
terAs Law Review : Jurnal Hukum Humaniter dan HAM Vol. 3 No. 2 (2021): November 2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (811.111 KB) | DOI: 10.25105/teraslrev.v3i2.15048

Abstract

This paper aims to discuss the actions related to humanitarian law by the Thai Government inovercoming armed conflicts that occur in the country with the emergence of an organized armedgroup, namely the National Revolutionary Front or BRN for short. Knowing that the rebel groupsare Muslim majority and domiciled in the Southern Thailand area there is a conflict with the ThaiGovernment and the motivation to release the Southern Thailand province from the Thaigovernment to form an Islamic state. Armed disputes that began in 2004 with several armedconfrontations that pose a danger to civilians and threaten the security and defense of thecountry which then urged the Thai Government to increase defense and military strength in thearea concerned in suspending the BRN. Because armed conflict occurs within the sovereignterritory of the Thai state, this conflict is a non-international armed conflict that is also motivatedby an organized armed group's goal to gain independence and secede from its main state. Thehistory of the collapse of the Patani Kingdom in Southern Thailand is the main reason for theconflict that occurred in this case.
PEMBERIAN SUAKA DALAM PERSPEKTIF HUKUM DIPLOMATIK Jun Justinar
Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum Vol. 1 No. 2 (2019): Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (260.648 KB) | DOI: 10.25105/hpph.v1i2.5462

Abstract

Suaka bermakna bebas dari penangkapan. Suaka teritorial dapat diberikan di wilayah darat dan perairan. Berdasarkan Deklarasi Suaka Teritorial, negara-negara harus mengikuti sejumlah standar dan kebutuhan nyata yaitu pencari suaka yang menyelamatkan diri dari penganiayaan tidak boleh ditolak di perbatasan dan tidak boleh diusir atau dikembalikan dengan paksa; apabila suatu negera menghadapi kesulitan dalam memberikan atau melanjutkan pemberian suaka maka negara secara sendiri atau bersama-sama atau melalui PBB harus mempertimbangkan untuk meringankan beban yang ditanggung oleh negara pemberi suaka; suaka yang diberikan kepada orang yang mengungsi karena menghindari penganiayaan harus dihormati oleh semua negara. Suaka diplomatik adalah suaka yang diberikan di tempat yang menjadi milik atau yang dipergunakan untuk keperluan resmi negara pemberi suaka. Suaka dapat diberikan sementara waktu di gedung perwakilan asing dalam tiga hal yang luar biasa yaitu: orang yang secara fisik dalam bahaya karena adanya kekerasan masal atau seorang pelarian politik di negara asalnya; apabila di negara itu terdapat kebiasaan yang sudah lama diakui dan bersifat mengikat; apabila terdapat perjanjian khusus antara negara tempat penerima suaka berasal dan negara tempat gedung perwakilan berada. Suaka dapat diberikan di perwakilan diplomatik karena perwakilan diplomatik dianggap secara penuh berada di bawah yurisdiksi negara asal perwakilan tersebut.Kata Kunci: Hukum diplomatik, suaka,  Deklarasi Suaka Teritorial
Protecting Refugees Against Human Trafficking Jun Justinar
Jurnal Hukum PRIORIS Vol. 6 No. 2 (2017): Jurnal Hukum Prioris Volume 6 Nomor 2 Tahun 2017
Publisher : Faculty of Law, Trisakti University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1389.797 KB) | DOI: 10.25105/prio.v6i2.2434

Abstract

When governments are unwilling or unable to protect their citizens, individuals may suffer such serious violations of their personal rights. The hallmark of a refugee is the absence of protection by his own state.  Refugees are at particular risk for human trafficking as a consequence of their vulnerable status. There are some instruments to protect refugee from human trafficking. In the frame of trafficking, refugees then have a double protection due to their status, first the Convention on the Status of Refugee; and second by the international instruments related to Human Trafficking.  The principle of non-refoulement constitutes an essential component of international refugee protection and also embodied in some regional instruments. Providing temporary protection is a humanitarian and non-political act to react speedily to a crisis or disaster, including to prevent human trafficking on refugee. It is the duty and responsibility of all States to cooperate in all the fields in which international cooperation could be develop in solving international problems especially on refugee.
PENENTUAN STATUS PENGUNGSI DAN PENERAPAN PRINSIP NON-REFOULEMENT DI JERMAN, AUSTRALIA DAN KANADA Jun Justinar
Jurnal Hukum PRIORIS Vol. 9 No. 1 (2021): Jurnal Hukum Prioris Volume 9 Nomor 1 Tahun 2021
Publisher : Faculty of Law, Trisakti University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25105/prio.v9i1.16638

Abstract

Prinsip non-refoulement merupakan 'landasan', 'pusat' atau 'pokok' dari perlindungan mendasar bagi pengungsi. Prinsip ini terdapat dalam Pasal 33 (1) Konvensi Pengungsi 1951 yang melarang Negara Pihak mengusir atau mengembalikan pengungsi dengan cara apapun ke perbatasan wilayah yang mengakibatkan kehidupan atau kebebasannya akan terancam karena alsan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan dari kelompok sosial tertentu. atau opini politiknya. Prinsip non-refoulement merupakan satu-satunya jaminan bahwa pengungsi tidak akan mengalami penganiayaan hingga ia mengungsi sampai memasuki wilayah negara lain. Seseorang harus menjadi pengungsi terlebih dahulu, atau setidaknya menjadi pencari suaka untuk mendapatkan keuntungan dari ketentuan non-refoulement. Penentuan status pengungsi perlu ditetapkan agar seseorang yang mengklaim status pengungsi dan telah terbukti memenuhi kriteria pengungsi segera mendapat jaminan tidak akan mengalami pengusiran. Tulisan ini merupakan bagian dari disertasi berdasarkan penelitian yang menggunakan data sekunder dengan memaksimalkan kajian pustaka. Data yang terkumpul disampaikan secara deskriptif dengan hasil analisis data yang disimpulkan secara deduktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penetapan status penting bagi pengungsi agar terpenuhi haknya untuk dilindungi dari pengusiran sesuai dengan prinsip non-refoulement. Penentuan status pengungsi di Jerman dilakukan oleh Bundesamt für Migration und Flüchtlinge/Federal Office of Migration and Refugee sedangkan di Australia dilaksanakan oeh Department of Home Affairs; dan di Kanada ditetapkan Immigration and Refugee Board of Canada. Penerapan prinsip non-refoulement di Jerman dilakukan berdasarkan Asylum Act and Residence Act dan Asylgesetz [Asylg] [Asylum Act], sementara di Australia berdasarkan Migration Act 1958 dan Immigration Act 1976, sedangkan di Kanada berdasarkan Immigration and Refugee Protection Act, Constitution Act 1982 dan Canadian Charter of Rights and Freedoms.
ASPEK HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN DIPLOMATIK BAHRAIN DENGAN QATAR BERDASARKAN KONVENSI WINA 1961 Ade Khatibul Rafi; Jun Justinar
Reformasi Hukum Trisakti Vol. 4 No. 4 (2022): Reformasi Hukum Trisakti
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (222.565 KB) | DOI: 10.25105/refor.v4i6.15058

Abstract

The unilateral termination of diplomatic relations by Bahrain to Qatar in 2017 was based on political elements that disturbed the national stability of Bahrain. Bahrain and Qatar are legally bound by the Vienna Convention because they ratified it. The main problems are whether the termination of diplomatic relations by Bahrain to Qatar is in accordance with the 1961 Vienna Convention and what are the legal consequences occured from the termination of diplomatic relations. The research is a normative and descriptive analytical legal research, with literature studies and the conclusions are drawn using deductive method. Secondary data obtain through library research and analyzed. The results of the research are as follows: 1) The termination of diplomatic relations between Bahrain and Qatar does not violate the provisions of the 1961 Vienna Convention because there is no standard stipulation that stipulates regulations regarding procedures for terminating diplomatic relations. 2) There are legal consequences that cause rights and obligations of each country as stipulated in Article 2 regarding Mutual Consent and Article 45 concerning the right of a sending country to surrendering trust to a third country regarding the supervision of a diplomatic representative building.
TINDAKAN PENGEPUNGAN YANG MENYEBABKAN KELAPARAN DI MADAYA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL: THE SIEGE CAUSING STARVATION IN MADAYA FROM AN INTERNATIONAL HUMANITARIAN LAW PERSPECTIVE Zulfa, Aninda Aulia; Patrecia, Audrey Putri; Uli, Cena Lucia; Justinar, Jun
terAs Law Review : Jurnal Hukum Humaniter dan HAM Vol. 4 No. 2 (2022): November 2022
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25105/teraslrev.v4i2.19955

Abstract

The Syrian people's rebellion against their government was a form of disappointment with the Al-Assad Regime, a conflict that triggered many victims and losses. The conflict between the rebels and the Syrian government resulted in violations of Geneva Law and Hague Law. The Syrian war spread to Damascus, the capital of Syria. As a result, the city experienced some of the effects of fighting between the rebellion and the Syrian government. One of the areas affected is Madaya, which is near Damascus. The city of Madaya is under siege by the Syrian government so around 40 thousand civilians there experience a crisis of basic needs such as clean water, medicine, and food, which triggers hunger and causes many victims. In addition, the use of landmines in the Syrian war is a crime that violates humanitarian law and requires the Syrian government to take full responsibility for the material and immaterial losses resulting from the threat of siege and the use of beatings. Therefore, a view of international humanitarian law is needed in the Syrian war.    
PEMENUHAN HAK ATAS KESEHATAN TERHADAP INTERNALLY DISPLACED PERSONS LANJUT USIA DALAM BENCANA TSUNAMI ACEH 2004 OLEH PEMERINTAH INDONESIA MENURUT HUKUM INTERNASIONAL: FULFILLMENT OF THE RIGHT TO HEALTH FOR INTERNALLY DISPLACED PERSONS OF THE ELDERLY IN THE 2004 ACEH TSUNAMI DISASTER BY THE GOVERNMENT OF INDONESIA ACCORDING TO INTERNATIONAL LAW Surya, Muhammad Falih Nasywaan; Putri, Denyssa Jasmine Ardiansyah; Justinar, Jun
terAs Law Review : Jurnal Hukum Humaniter dan HAM Vol. 4 No. 2 (2022): November 2022
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25105/teraslrev.v4i2.20032

Abstract

The earthquake that occurred on December 26, 2004 caused a tsunami that hit several countries, including Indonesia. The victims of the Aceh Tsunami were internally displaced persons who were the responsibility of the Indonesian government. This research was created to answer the question: what is the international refugee legal framework in order to fulfill the right to health for elderly IDPs? And what are the efforts of the Government of Indonesia in fulfilling the right to health for elderly IDPs in situations of natural disasters? This research is descriptive normative with secondary data and deductive conclusions. The results showed that protection for the elderly is spread across several international agreements related to human rights. The Government of Indonesia fulfills the right to health for IDPs for elderly victims of the Aceh tsunami in collaboration with IOM and UNHCR.