Tulisan ini bertujuan untuk mengkritisi praktik politik identitas keagamaan oleh para kandidat dalam Pemilu Indonesia. Peneliti menggunakan metode kualitatif, dengan pendekatan studi kasus kolektif. Hasil penelitian, ditemukan bahwa terjadinya praktik politik identitas keagamaan dalam Pemilu Indonesia disebabkan oleh kecenderungan masyarakat berpolitik sarat dengan pertimbangan agama. Selain itu, praktik politik identitas keagamaan oleh mayoritas memiliki korelasi dengan mayoritarianisme. Penentuan kebijakan berbasis jumlah, seperti yang ada dalam Pemilu, dapat menghasilkan interseksi hingga berpotensi terciptanya pergeseran filosofi politik – dari demokrasi menuju mayoritarianisme. Analisis dilakukan dengan mempertimbangkan teori-teori yang relevan dalam penelitian ini, yaitu kolaborasi konsep public reason dari John Rawls dan wertrational dari Max Weber, konsep politik identitas dari Francis Fukuyama, konsep mayoritarianisme dari Izak Y. M. Lattu, dan konsep demokrasi dari Aristoteles. Kesimpulannya, meminjam istilah Tan Malaka, kecenderungan logika mistika dalam berpolitik di masyarakat perlu dimoderasi melaluisosialisasi dan edukasi untuk mereduksi praktik politik identitas keagamaan di Indonesia. Selain itu, mempertimbangkan potensi agama dalam memberikan kontribusi yang positif, klaim kebenaran kelompok keagamaan dalam agenda politik perlu diterjemahkan secara epistemik sehingga tidak bersifat eksklusif.