Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

Perbandingan Efektivitas Campuran Propofol dengan Ketamin, Fentanil dan Lidokain dalam Mengurangi Nyeri dari Injeksi Propofol: Telaah Sistematis Christopher, Michael; Senapathi, Tjokorda Gde Agung; Suarjaya, I Putu Pramana; Dewi, Dewa Ayu Mas Shintya
E-Jurnal Medika Udayana Vol 11 No 8 (2022): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/MU.2022.V11.i8.P02

Abstract

Propofol merupakan obat sedasi yang sering digunakan di prosedur di rumah sakit. Propofol memiliki efektivitas yang baik dalam menginduksi efek sedasi dan memiliki efek samping yang sangat minimal. Kekurangan dari penggunaan propofol ini adalah nyeri, dan nyeri ini memiliki insiden yang tinggi. Nyeri ini dapat dikurangi dengan berbagai faktor, salah satunya adalah menggunakan obat analgesia lokal lainnya seperti lidokain, fentanil dan ketamin. Telaah sistematis ini bertujuan merekam dari berbagai uji klinis acak yang terdapat di berbagai sumber literatur. Tahun penelitian dibatasi dari tahun 2016 hingga 2020. Penulis menggunakan kriteria kelayakan PICOS. Obat yang akan digunakan adalah lidokain, fentanil dan ketamin. Penulis juga menggunakan Jadad Scale untuk mengetahui risiko bias dari masing-masing penelitian yang sudah masuk kriteria inklusi. Penulis menggunakan Funnel Plot untuk mengetahui publikasi bias dari masing-masing studi. Telaah sistematis ini telah meneliti sebanyak 2130 sampel manusia yang didapat dari 25 penelitian. Penelitian-penelitian ini memiliki kelompok penelitian lagi untuk membandingkan hasil percobaan klinis oleh peneliti terkait. Hasilnya adalah induksi sedasi dengan kejadian nyeri paling rendah adalah penggunaan propofol 0,33% 6 ml dengan dosis 2,5 mg/kgBB dengan skor rata-rata nyeri 0,08. (p>0,05) Kata kunci : propofol, nyeri, skala nyeri
PROFIL PASIEN CEDERA OTAK YANG DIRAWAT DI RUANG TERAPI INTENSIF RSUP SANGLAH DENPASAR Sutjipto, Matthew Nathanael; Hartawan, I Gusti Agung Gede Utara; Dewi, Dewa Ayu Mas Shintya; Aryabiantara, I Wayan
E-Jurnal Medika Udayana Vol 11 No 10 (2022): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/MU.2022.V11.i10.P01

Abstract

ABSTRAK Latar Belakang: cedera otak dapat diklasifikasikan menjadi cedera otak traumatik dan cedera otak non traumatik. Cedera otak traumatik didefinisikan sebagai perubahan fungsi otak akibat rangsangan dari luar, sedangkan cedera otak non traumatik seringkali disebabkan oleh cedera serebrovaskular (CVA). Tingkat keparahan cedera otak diklasifikasikan menjadi cedera otak ringan, sedang, dan berat yang dinilai menggunakan skor GCS. Data primer mengenai pasien cedera otak di Indonesia khususnya di Denpasar masih terbatas. Keterbatasan informasi ini yang menjadikan penulisn tertarik untuk melakukan penelitian ini. Tujuan: mendapatkan informasi lebih mengenai profil pasien cedera otak yang dirawat di RTI RSUP Sanglah Denpasar. Metode: penelitian deskriptif potong lintang. Populasi target pada register pasien yang masuk dalam kriteria inklusi sejak 1 januari 2021 hingga 30 Juni 2021 di RTI RSUP Sanglah Denpasar. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: kondisi demografi berupa usia, jenis kelamin, alamat, skor GCS, diagnosis, trauma penyerta, komorbid, ventilator, masa hari bebas ventilator, dan angka mortalitas. Hasil: Sampel total penelitian ini sebanyak 89 pasien, dengan 52,93% pasien merupakan pasien cedera otak traumatik. Rata-rata usia pasien cedera otak traumatik adalah 43 tahun, sedangkan rata-rata pasien cedera otak non traumatik adalah 59 tahun. Pada pasien cedera otak, laki-laki memiliki proporsi lebih besar yaitu 78,65% dan sebesar 23,60% pasien cedera otak memiliki alamat tempat tinggal di Denpasar. Skor GCS masuk pada pasien cedera otak traumatik didapatkan sebagai berikut, Skor GCS 3-8 (50%), Skor GCS 9-12 (22,92%), Skor GCS 13-15 (27,08%). Sedangkan skor GCS masuk pada pasien cedera otak non traumatik didapatkan sebagai berikut, Skor GCS 3-8 (48,78%), skor GCS 9-12 (43,90%), skor GCS 13-15 (7,32%). Pada pasien cedera otak traumatik 62,50% pasien yang datang memiliki trauma penyerta dan pada pasien cedera otak non traumatik 85,73% pasien yang datang memiliki komorbid. Penggunaan ventilator pada pasien cedera otak traumatik yaitu sebesar 87,5% dan pada pasien cedera otak non traumatik sebesar 82,93%, dengan rata-rata penggunaan ventilator selama 5 hari. Angka mortalitas pada penelitian ini adalah 29,17% untuk pasien cedera otak traumatik dan 43,90% untuk pasien cedera otak non traumatik. Simpulan: Cedera otak traumatik merupakan cedera otak terbanyak yang dirawat di RTI RSUP Sanglah Denpasar. Dan rata-rata penggunaan ventilator pada pasien cedera otak yang dirawat di RTI RSUP Sanglah Denpasar adalah 5 hari. Kata kunci : Cedera otak, Cedera otak traumatik, Cedera otak non traumatik, Skor GCS.
TINGKAT PENGETAHUAN MANAJEMEN NYERI MAHASISWA TAHAP AKHIR DI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA Wahyuni, Ni Kadek Ayuk Ari; Dewi, Dewa Ayu Mas Shintya; Hartawan, I Gusti Agung Gede Utara
E-Jurnal Medika Udayana Vol 12 No 12 (2023): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/MU.2023.V12.i12.P04

Abstract

Pengetahuan dasar yang wajib diketahui oleh seluruh mahasiswa kedokteran yaitu mengenai manajemen nyeri karena nyeri menjadi penyebab utama pasien datang untuk mendapatkan pengobatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan manajemen nyeri mahasiswa tahap akhir di Fakultas Kedokteran Universita Udayana. Metode penelitian dengan responden penelitian ini adalah mahasiswa tahap akhir semester VI program studi pendidikan dokter di fakultas kedokteran universitas udayana. Adapun jenis penelitian ini non eksperimental dengan metode penelitian deskriptif yang menggunakan pendekatan cross-sectional (potong lintang). Teknik pengambilan sampel dengan metode total sampling dan menggunakan kuesioner dari Knowledge and attitudes regarding pain (KASRP). Dari total 213 responden yang telah memenuhi kriteria inklusi dan diperoleh hasil penelitian yang menunjukkan bahwa rata-rata tingkat pengetahuan manajemen nyeri mahasiswa tahap akhir di fakultas kedokteran universitas udayana sebanyak 46,94% dengan nilai minumun 28,21% dan nilai maksimun 100%. Mahasiswa tahap semester VI program studi pendidikan dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana memiliki pengetahuan mengenai manajemen nyeri yang kurang baik. Peneliti menyarankan dilakukan pelatihan dan pembelajaran mengenai manajemen nyeri sebelum mahasiswa masuk ke tahap klinik (co-ass).
KARAKTERISTIK NYERI PASCA-OPERASI ORTOPEDI DI RSUP SANGLAH PERIODE OKTOBER-DESEMBER 2020 Eugenia, Michelle; Dewi, Dewa Ayu Mas Shintya; Senapathi, Tjokorda Gde Agung; Wiryana, I Made
E-Jurnal Medika Udayana Vol 11 No 10 (2022): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/MU.2022.V11.i10.P07

Abstract

Nyeri merupakan salah satu aspek penting dalam menentukan kualitas hidup seseorang. Salah satu nyeri yang sering terjadi adalah nyeri akibat tindakan intervensi bedah atau operasi yang biasa sering disebut nyeri pasca-operasi. Apabila nyeri ini tidak ditangani dengan baik maka akan memengaruhi kualitas hidup pasien dan sangat berhubungan dengan penatalaksanaan nyeri tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik nyeri pasien pasca-operasi ortopedi melalui pendataan Acute Pain Service (APS) di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah pada periode Oktober-Desember 2020. Penelitian ini menggunakan metode descriptive cross-sectional. Data yang digunakan diambil dari rekapan data sekunder Acute Pain Service (APS) di RSUP Sanglah. Total sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 195 pasien pasca-operasi ortopedi. Berdasarkan penelitian, diperoleh bahwa yang paling banyak menjalani operasi ortopedi adalah pasien laki-laki usia dewasa pada daerah ekstremitas inferior. Tatalaksana nyeri yang paling banyak digunakan adalah kombinasi obat intravena opioid dan oral parasetamol. Dari keseluruhan sampel, diperoleh paling banyak pasien mengalami intensitas nyeri ringan, yaitu 176 pasien (90,3%). Berdasarkan pembagian kelompok jenis kelamin, umur, jenis operasi, dan tatalaksana juga diperoleh bahwa sebagian besar pasien mengalami nyeri ringan. Kata kunci : Nyeri pasca-operasi, Operasi ortopedi, RSUP Sanglah
PERBANDINGAN SUHU INTI, KEJADIAN HIPOTERMIA, KEJADIAN SHIVERING, KADAR IL-6, IL-10, DAN RASIO IL- 10/IL-6 ANTARA UNDERBODY DENGAN OVERBODY RESISTIVE WARMING DAN SELIMUT HANGAT PADA OPERASI UROLOGI DENGAN ANESTESI SPINAL Patricia, Yoshie; Suarjaya, Putu Pramana; Dewi, Dewa Ayu Mas Shintya; Budiarta, Gede; Senapathi, Tjokorda Gde Agung
PREPOTIF : JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT Vol. 9 No. 2 (2025): AGUSTUS 2025
Publisher : Universitas Pahlawan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/prepotif.v9i2.46774

Abstract

Hipotermia merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi selama operasi, terutama pada tindakan dengan anestesi spinal yang mengganggu mekanisme termoregulasi akibat blok saraf eferen, sehingga panas tubuh berpindah dari inti ke perifer. Pada operasi urologi, penggunaan cairan irigasi semakin memperberat terjadinya hipotermia. Resistive warming (RW) adalah metode pemanasan aktif yang bertujuan mengurangi perbedaan suhu antara inti dan perifer. Penggunaan RW secara overbody (OB) dan selimut hangat (SH) lebih umum dipakai selama perioperatif, namun penggunaan underbody (UB) RW masih jarang diteliti, meskipun memiliki keuntungan tidak mengganggu akses kerja tenaga medis. Hipotermia intraoperatif dapat menyebabkan shivering, meningkatkan morbiditas kardiovaskular, dan memicu respons inflamasi dengan peningkatan IL-6 serta penurunan IL-10, yang berpotensi menyebabkan infeksi, demam, dan urosepsis pasca operasi. Penelitian ini merupakan non-blind randomized clinical trial pada 42 pasien operasi urologi yang dibagi menjadi tiga kelompok: UB, OB, dan SH. Suhu inti dicatat setiap 15 menit, dan kadar IL-6 serta IL-10 diukur sebelum serta 6 jam setelah operasi. Hasil menunjukkan bahwa kelompok UB memiliki suhu inti lebih tinggi, insidensi hipotermia dan shivering lebih rendah, penurunan IL-6 yang signifikan, serta rasio IL-10/IL-6 yang lebih tinggi secara bermakna dibanding kelompok lainnya. Underbody RW terbukti efektif mencegah hipotermia dan respon inflamasi pascaoperasi.
Anesthetic Management in Obese Patients Undergoing Laparoscopic Cholecystectomy: A Case Report Pakardian, Insan Aqid; Dewi, Dewa Ayu Mas Shintya
Medicinus Vol. 14 No. 3 (2025): June
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19166/med.v14i3.10152

Abstract

Background: Obesity is associated with various complications during general anesthesia, including apnea, hypoventilation, and challenges in intubation. In obese patients, these factors increase the anesthetic risks associated with laparoscopic cholecystectomy, a minimally invasive surgery performed to remove the gallbladder. This procedure is often indicated for gallstones causing inflammation, pain, or infection. Laparoscopic cholecystectomy involves small incisions, allowing most patients to recover quickly, return home the same day, and resume normal activities shortly thereafter. Compared to open cholecystectomy, the laparoscopic approach offers advantages such as faster recovery, reduced postoperative pain, and lower risk of complications. Methods: A 43-year-old female patient with a body weight of 120 kg, height of 155 cm, and a BMI of 49.9 kg/m² (classified as obesity) was initially scheduled for an open cholecystectomy. However, intraoperative evaluation by the surgeon led to a decision to switch to laparoscopic cholecystectomy. Anesthesia was induced using a propofol syringe pump, fentanyl (150 mcg), and atracurium (40 mg) as a muscle relaxant. Intubation was performed with video laryngoscopy, using an endotracheal tube (ETT) with a cuff size of 7. Result: During the operation, the patient's end-tidal CO2 (ETCO2) levels increased to 40 mmHg due to CO2 insufflation, leading to worsening respiratory acidosis. Complications such as these are common during laparoscopic procedures in obese patients and require timely management to prevent further deterioration. Conclusions: The patient’s condition was stabilized by employing specific intraoperative strategies, including positioning in reverse Trendelenburg, mild hyperventilation, and applying positive end-expiratory pressure (PEEP). These measures successfully reduced ETCO2 levels, demonstrating the importance of tailored anesthetic and ventilatory management in obese patients undergoing laparoscopic cholecystectomy.
Manajemen Perioperatif Pembedahan Video-Assisted Thoracoscopy (VATS) Dekortikasi dan Biopsi Pada Pasien dengan Kecurigaan Keganasan Paru Kiri dengan Atrial Septal Defect Yuliana, Astrid; Dewi, Dewa Ayu Mas Shintya; Aribawa, I Gusti Ngurah Mahaalit
Syntax Literate Jurnal Ilmiah Indonesia
Publisher : Syntax Corporation

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36418/syntax-literate.v10i7.60745

Abstract

Video-Assisted Thoracoscopy (VATS) is a minimally invasive procedure that can reduce postoperative pain, shorter hospitalizations, and faster recovery. The use of Double Lumen Tube (DLT) in this procedure is with the aim of optimizing the visualization of the surgical field. However, patients with cardiac disorders, such as Atrial Septal Defect (ASD) that can lead to shunt disorders, require adjustments to anesthesia management in terms of ventilation, especially in preventing shunts from right to left. Case Report. The male patient, 30 years old, came in with massive exudative pleural effusion and a history of ASD Secundum. The patient showed significant weight loss and spirometry results showed pulmonary restriction. Preoperative evaluation showed ASA III, with a risk of respiratory and cardiovascular impairment. Anesthesia is performed with left DLT for OLV and thoracic epidural for multimodal analgesation. Postoperatively, the patient is admitted to the ICU on a ventilator and given analgesia via an epidural. Postoperative monitoring showed stable hemodynamics. Discussion. VATS allows thoracic surgery with minimal incision, reducing postoperative pain and speeding up recovery. DLT selection is important for OLVs that require single-lung ventilation, taking into account risk factors such as ASD that can lead to hemodynamic disorders. Anesthesia management in patients with ASD needs to consider cardiac shunt and pulmonary and systemic blood vessel resistance. The anesthesia technique in VATS can be general anesthesia with ventilation of one lung, accompanied by an epidural block for analgesia. Conclusion. Anesthesia management in patients with ASD undergoing VATS requires special attention to ventilation in order to prevent shunts in the heart and pulmonary and systemic blood vessel resistance.