Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Comparison of Inflammation, Pain, and Recovery in Colorectal Cancer Patients Undergoing Surgery with General Anesthesia and Combined Epidural Kenzi, Ignatio Armando; Hartawan, IGAG Utara; Sidemen, IGP Sukrana; Agung Senapathi, Tjokorda Gde; Gede Widnyana, I Made
Journal La Medihealtico Vol. 6 No. 2 (2025): Journal La Medihealtico
Publisher : Newinera Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37899/journallamedihealtico.v6i2.2002

Abstract

Colorectal cancer has a high incidence and mortality rate. Surgery can increase the cytokine IL-6 which triggers inflammation and metastasis. The combination of general and epidural anesthesia has the potential to suppress IL-6, improve the tumor microenvironment, provide analgesia and improve postoperative recovery. To compare the effectiveness of postoperative analgesia quality in colorectal cancer patients receiving general anesthesia with combined epidural anesthesia. The single blind RCT study involved 44 patients who underwent surgery on colorectal cancer at Prof. Ngoerah Hospital. The study subjects were divided into two groups, group K who received general anesthesia and group P who received general anesthesia combined with epidural anesthesia. Patients' IL-6 will be evaluated preoperatively and 6 hours postoperatively. VAS and QOR-15 will be assessed 24 hours postoperatively. Of the 44 patients analyzed, the combined general anesthesia with epidural anesthesia group showed a significantly lower difference in IL-6 levels compared to the general anesthesia alone group of -14.69 [95% CI, p = <0.001]. The 24-hour postoperative VAS score was significantly lower than conventional general anesthesia, both in stationary and mobile conditions. In postoperative recovery, it was found that conventional general anesthesia combined with epdiural anesthesia gave greater QOR-15 results compared to conventional general anesthesia. General anesthesia combined with epidural anesthesia in colorectal cancer patients undergoing surgery can provide a lower difference in IL-6, lower VAS and higher QOR-15 postoperative satisfaction than the general anesthesia group.
UTILIZATION OF ROCURONIUM AT A DOSE OF 0.8 MG/KG BODY WEIGHT IN CESAREAN SECTION WITH SPHENOID WING MENINGIOMA: A CASE REPORT Salmon, Deni; Senapathi, Tjokorda Gede Agung; Pradhana, Adinda Putra; Hartawan, IGAG Utara
HEARTY Vol 13 No 3 (2025): JUNI
Publisher : Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Ibn Khaldun, Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32832/hearty.v13i3.20047

Abstract

Sphenoid Wing Meningioma (SWMNG) is a prevalent intracranial tumor with significant implications for obstetric patients, particularly due to heightened risks of cerebral edema and increased intracranial pressure (ICP). This case highlights the anesthetic management of a pregnant patient with SWMNG and symptomatic epilepsy, focusing on the use of rocuronium bromide for rapid sequence intubation (RSI). Rocuronium, a non-depolarizing neuromuscular blocker, offers rapid onset and intermediate duration, making it a preferred choice for high-risk cases. A 34 year old woman at 38 weeks and 5 days of gestation with a confirmed diagnosis of SWMNG and symptomatic epilepsy underwent a cesarean section and surgical sterilization. The patient’s clinical history included frequent transient loss of awareness episodes, exacerbated during pregnancy. Imaging confirmed SWMNG, necessitating general anesthesia (GA) with rocuronium at a dose of 0.8 mg/kg to ensure effective RSI while minimizing risks of prolonged neuromuscular blockade, compromised hemodynamic stability, and increased ICP. The procedure was successfully completed with stable maternal and fetal outcomes. Rocuronium facilitated optimal intubation conditions and muscle relaxation, with minimal placental transfer and preserved uterine contractility. This case underscores the efficacy of precise rocuronium dosing in balancing rapid recovery, safety, and the unique challenges of airway management in obstetric patients with intracranial tumors. Vigilant monitoring and tailored anesthetic strategies are essential to mitigate complications, ensuring favorable outcomes for both mother and fetus.
Anestesi Bebas Opioid Untuk Total Abdominal Histerektomi Dengan Bisalfingoovorektomi: Optimalisasi Manajemen Nyeri dan Stabilitas Hemodinamik Pamudji, Ivan Sebastian; Aryasa, Tjahya; Sinardja, Cynthia Dewi; Hartawan, IGAG Utara
COMSERVA : Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Vol. 5 No. 1 (2025): COMSERVA: Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Publisher : Publikasi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59141/comserva.v5i1.3336

Abstract

Total abdominal histerektomi dan bilateral salpingo-ooforektomi (TAH-BSO) merupakan prosedur bedah mayor dengan kebutuhan analgesia yang kompleks. Anestesi bebas opioid (opioid-free anesthesia/OFA) semakin banyak digunakan untuk menghindari efek samping opioid seperti mual, muntah, depresi pernapasan, dan risiko ketergantungan. Laporan ini membahas penerapan teknik OFA pada pasien yang menjalani TAH-BSO dengan fokus pada manajemen nyeri, stabilitas hemodinamik, serta hasil klinis pascaoperasi. Seorang wanita 43 tahun dengan obesitas (BMI 38,28 kg/m2), hipertensi terkontrol, dan riwayat alergi opioid menjalani TAH-BSO. Pasien diklasifikasikan sebagai ASA III dengan risiko tinggi Obstructive Sleep Apnea (OSA). Induksi anestesi dilakukan dengan dexmedetomidine, propofol, dan atracurium. Teknik analgesia multimodal meliputi anestesi epidural dengan bupivakain 0,25% serta pemeliharaan anestesi menggunakan sevofluran <1 MAC, propofol, dan dexmedetomidine. Pasien mendapatkan analgesia pascaoperasi melalui infus epidural bupivakain 0,1% dan paracetamol oral. OFA menggunakan kombinasi agen anestesi multimodal untuk menggantikan opioid dalam manajemen nyeri perioperatif. Teknik ini terbukti mengurangi risiko PONV, meningkatkan stabilitas hemodinamik, serta menurunkan konsumsi analgesik pascaoperasi. Studi menunjukkan bahwa pasien yang menjalani OFA memiliki tingkat nyeri lebih rendah dan pemulihan lebih cepat dibandingkan dengan anestesi berbasis opioid. Pada kasus ini, pemilihan OFA dikarenakan adanya dugaan riwayat alergi opioid, serta untuk mengurangi risiko komplikasi pernapasan yang terkait dengan OSA. Teknik OFA efektif dalam manajemen anestesi pada pasien yang menjalani TAH-BSO, terutama pada individu dengan kontraindikasi opioid. Pendekatan ini memberikan kontrol nyeri yang optimal, mengurangi efek samping opioid, serta menjaga stabilitas hemodinamik intra dan pascaoperasi.
THE COMPARISON OF ATRACURIUM DOSES IN PRODUCING INTUBATION QUALITY, ONSET, DURATION OF MUSCLE RELAXATION IN SURGERIES WITH GENERAL ANESTHESIA Suastika, I Gede Juli; Jeanne, Bianca; Sidemen, IGP Sukrana; Hartawan, IGAG Utara; Senapathi, Tjokorda Gde Agung; Widnyana, I Made Gede; Suarjaya, I Putu Pramana; Dewi, I Dewa Ayu Mas Shintya; Putra, Kadek Agus Heryana; Aryasa EM, Tjahya
PREPOTIF : JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT Vol. 9 No. 3 (2025): DESEMBER 2025
Publisher : Universitas Pahlawan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/prepotif.v9i3.50077

Abstract

Relaksan otot secara rutin digunakan selama anestesi umum untuk memfasilitasi intubasi endotrakeal dan mempertahankan kondisi kerja bedah yang optimal. Atracurium merupakan alternatif yang banyak digunakan dibandingkan rokuronium dan paling sering digunakan dalam anestesi umum untuk memfasilitasi intubasi endotrakeal serta memberikan relaksasi otot rangka selama ventilasi atau ventilasi mekanis. Pemberian atracurium dalam dosis tinggi yaitu 1 mg/kgBB (4ED95) dibandingkan dengan dosis umum 0,5 mg/kgBB (2ED95) dapat memberikan waktu onset intubasi yang lebih cepat, durasi kerja obat yang lebih lama, kualitas intubasi yang lebih baik, serta kondisi hemodinamik yang cukup stabil. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni yang dilakukan di ruang operasi Bedah Sentral sebuah rumah sakit pendidikan, dimulai pada Juli 2024 hingga jumlah sampel penelitian terpenuhi. Populasi penelitian adalah pasien berusia 18–65 tahun yang akan menjalani operasi elektif dengan anestesi umum menggunakan laringoskopi intubasi endotrakeal. Analisis data dilakukan dengan bantuan SPSS versi 26, termasuk uji normalitas Shapiro-Wilk, uji Chi-square, dan uji berpasangan. Jumlah total subjek dalam penelitian ini adalah 38 pasien ASA I dan ASA II yang menjalani intubasi endotrakeal. Rerata waktu onset obat pada kelompok perlakuan adalah 133,21 ± 7,86 detik dan pada kelompok kontrol adalah 230,05 ± 33,45 detik. Rerata durasi kerja obat pada kelompok kasus adalah 72,95 ± 8,50 menit, sedangkan pada kelompok kontrol adalah 34,00 ± 5,42 menit. Tidak terdapat perbedaan signifikan pada stabilitas hemodinamik dan denyut nadi selama proses intubasi yang baik pada kedua kelompok. Kualitas intubasi sangat baik ditemukan pada 19 pasien (100%) di kelompok perlakuan dibandingkan dengan 4 pasien (21,1%) di kelompok kontrol.