Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

KUALITAS DAN DERAJAT NYERI PADA INJEKSI PROPOFOL INTRAVENA DENGAN PEMBERIAN LIDOKAIN INTRAVENA DI RSUP SANGLAH DENPASARr Pratiwi, Made Sindy Astri; Suranadi, I Wayan; Sinardja, I Ketut; Kurniyanta, I Putu
E-Jurnal Medika Udayana Vol 11 No 3 (2022): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/MU.2022.V11.i03.P01

Abstract

Induksi anestesi menggunakan propofol secara intravena menyebabkan nyeri yang dapat diatasi dengan premedikasi lidokain intravena. Hingga kini, belum ada penelitian terbaru mengenai derajat dan kualitas nyeri akibat induksi propofol dengan premedikasi lidokain intravena di RSUP Sanglah Denpasar. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur kedua hal di atas. Desain penelitian ini adalah deskriptif observasi cross-sectional bertempat di RSUP Sanglah Denpasar. Subjek penelitian dipilih dengan consecutive sampling berjumlah 39 pasien berjenis kelamin laki-laki atau perempuan, berusia 18-64 tahun, BMI 18,5-22,9 kg/m2, status fisik ASA I atau II, menjalani operasi elektif dengan propofol intravena dan premedikasi lidokain intravena, serta menandatangani informed consent. Penilaian kualitas nyeri menggunakan SFMP-Q sementara derajat nyeri dinilai menggunakan kombinasi VAS dan NRS. Data yang terkumpul akan dianalisis secara univariat. Nyeri akibat propofol intravena dengan premedikasi lidokain penelitian ini ditemukan tidak nyeri 23,1%, nyeri ringan 74,4%, nyeri sedang 2,6%, dan tidak ada yang mengalami nyeri berat. Lidokain menyebabkan sensitisasi nyeri sensori yang rendah terhadap 80% pasien dan tidak mengalami gangguan afeksi pada 80% pasien. Pada penelitian ini, propofol intravena dengan premedikasi lidokain dapat mengurangi rasa nyeri dengan sensitisasi nyeri yang rendah tanpa gangguan afeksi.
CHALLENGES IN MANAGEMENT VENTILATION PEDIATRIC PATIENT WITH ANTEROSUPERIOR MEDIASTINAL TUMOR : A CASE REPORT Kurniyanta, I Putu; Senapathi, Tjokorda; Thomas, Vinsensius
PREPOTIF : JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT Vol. 8 No. 3 (2024): DESEMBER 2024
Publisher : Universitas Pahlawan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/prepotif.v8i3.31219

Abstract

Tumor mediastinum, khususnya yang terletak di kompartemen anterior dan superior, memiliki tantangan besar untuk prosedur anestesi. Keganasan ini merupakan kondisi patologis langka yang dapat ditemukan pada populasi anak-anak, yang juga dapat meningkatkan risiko komplikasi kardiorespirasi karena kemungkinan obstruksi jalan napas. Selain itu, upaya untuk mempertahankan patensi jalan napas melalui ventilasi satu paru juga mengakibatkan ketidaksesuaian ventilasi/perfusi jika tidak dilakukan dengan hati-hati. Makalah kami membahas kasus laki-laki berusia 12 tahun dengan keluhan awal kesulitan bernapas progresif sekitar dua bulan sebelum masuk rumah sakit dan merasa lebih lega jika berbaring di sisi kanannya. Pasien didiagnosis dengan tumor mediastinum anterosuperior yang menjalani torakotomi clamshell. Selama prosedur sedasi, pasien kami mengalami desaturasi oksigen progresif, di mana pasien mengalami ventilasi manajemen yang sulit setelah intubasi. Tindakan segera diambil untuk memulihkan pasien ke keadaan fisiologis termasuk manipulasi posisi untuk mengembalikan kecocokan ventilasi/perfusi (V/P). Kami mengubah posisi pasien ke posisi dekubital lateral kiri yang mendukung ventilasi yang lebih baik untuk mengoreksi ketidaksesuaian V/P. Saturasi tetap normal setelah kami menempatkan pasien dalam posisi terlentang, yang mungkin didukung oleh kemampuan paru-paru dependen untuk mendukung kebutuhan oksigenasi dan distribusi transpulmonal yang seimbang selama torakotomi. Kami membahas mekanisme singkat yang mendasari kondisi tersebut untuk digunakan sebagai referensi kasus serupa di masa mendatang.  
Efficacy of Quadratus Lumborum Block Compared to Paravertebral Block on Pediatric Patients Undergoing Abdominal Surgery Sudiantara, Putu Herdita; Widnyana, I Made Gede; Putra, Kadek Agus Heryana; Kurniyanta, I Putu; Senapathi, Tjokorda Gde Agung
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 42 No 3 (2024): Oktober
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v42i3.415

Abstract

Background: Abdominal surgery is a major procedure associated with severe postoperative pain in pediatric patients. Quadratus lumborum block (QLB) is considered an effective pain control in such cases. Paraverterbral block (PVB) is another option for postoperative pain management. The aim of this study was to compare the effectiveness of quadratus lumborum block with paravertebral block. Methods: This single-blind randomized controlled trial included 22 pediatric patients who underwent abdominal surgery at Sanglah Hospital, Denpasar between August – October 2022. Research subjects were divided into 2 treatment groups; group A consisted of general anesthesia combined with quadratus lumborum block and group B consisted of general anesthesia combined with paravertebral block. Duration of analgesia was recorded based on the time to analgesic rescue, FLACC pain scale at 0, 2, 4, 6, 12 and 24 hours and total opioid consumption 24 hours after surgery. Statistical analyses were performed using SPSS. Results: Eleven patients received QLB and PVB respectively. There was a significant difference in mean analgesia duration of 1287 ± 129.69 minutes compared to 750 ± 122.22 minutes (p < 0.001) (CI 95%: 425.18 – 649.36), median FLACC pain scale at 12 (1 (IQR 2) vs 4 (IQR 1)) and 24 hours postoperative (1 (IQR 2) vs 3 (IQR 1)) between QLB and PVB (p < 0.001 and p < 0.007). Mean 24-hour postoperative opioid consumption was significantly lower in the QLB compared to the PVB. Conclusion: QLB has better effectiveness than PVB in pediatrics undergoing abdominal surgery.
Nebulized Dexmedetomidine to Reduce Delirium after General Anesthesia Sevoflurane Inhalation in Preschool Children Undergoing Elective Surgery Wongkar, Jimmy; Kurniyanta, I Putu; Suarjaya, I Putu Pramana; Tjokorda Gde Agung Senapathi; Widnyana, I Made Gede
Journal La Medihealtico Vol. 6 No. 2 (2025): Journal La Medihealtico
Publisher : Newinera Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37899/journallamedihealtico.v6i2.1965

Abstract

Surgery in children remains a major challenge, particularly due to complications such as post-anesthetic delirium, with an incidence rate of up to 80%, especially in preschool-aged children when sevoflurane is the primary agent. Nebulized dexmedetomidine has been shown to reduce the incidence of post-anesthetic delirium with minimal risk of side effects. This study aims to evaluate the effectiveness of nebulized dexmedetomidine in reducing the incidence of post-anesthetic delirium in preschool-aged children undergoing elective surgery, as part of enhancing recovery after pediatric surgery (ERAPS). This research was a double-blind, randomized controlled trial, involving 72 pediatric patients aged 2–6 years undergoing elective surgery under general anesthesia with sevoflurane. Subjects were randomly divided into two groups; Treatment group receiving nebulized dexmedetomidine 2 mcg/kg (n=36) and Control group receiving nebulized normal saline (n=36). The primary outcome was the incidence of delirium during recovery at 15, 30, 60, and 120 minutes, assessed using the Pediatric Anesthesia Emergence Delirium (PAED) Scale. Statistical analysis revealed a significantly lower incidence of post-anesthetic delirium in the nebulized dexmedetomidine group (19.4%) compared to the control group (52.8%) at 15, 30, and 60 minutes (p<0.05), with a reduction in proportion by 33.4% (p=0.003). Relative risk analysis (RR = 0.427, 95% CI: 0.218–0.835; PF = 0.631) demonstrated that dexmedetomidine provides protective effects and significantly reduces the incidence of post-anesthetic delirium in preschool-aged children undergoing elective surgery with sevoflurane inhalational anesthesia. No side effects requiring intervention were observed during this study.
Manajemen Anestesi pada Bayi dengan Duktus Arteriosus Patent yang Menjalani Laparoskopi Duodenostomi: Laporan Kasus Kurniyanta, I Putu; Aryabiantara, I Wayan; Fikrawan, Putu Filla Jaya
Syntax Literate Jurnal Ilmiah Indonesia
Publisher : Syntax Corporation

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36418/syntax-literate.v10i1.56381

Abstract

Manajemen anestesi pada bayi dengan kelainan kongenital seperti patent ductus arteriosus (PDA) dan atresia duodenum memerlukan perhatian khusus, terutama pada prosedur bedah laparoskopi yang menambah kompleksitas akibat efek hemodinamik insuflasi karbon dioksida. Laporan kasus ini bertujuan mengulas pengelolaan anestesi pada seorang bayi perempuan berusia 5 hari dengan PDA dan atresia duodenum yang menjalani duodenostomi laparoskopik. Pasien menunjukkan distensi abdomen sejak lahir dan diagnosis prenatal PDA dengan shunt kiri-kanan. Anestesi dilakukan dengan menggunakan Sevofluran untuk induksi, Fentanil dan Ketamin untuk analgesi, serta Atrakurium untuk intubasi. Analgesi pascaoperasi dilakukan dengan anestesi caudal menggunakan Bupivakain 0,25%. Hemodinamik pasien terjaga stabil sepanjang prosedur, dengan saturasi oksigen 98-100% dan denyut jantung 124-137 bpm. Prosedur bedah berhasil tanpa komplikasi, dan tidak ada kebocoran pada anastomosis. Pasien dipindahkan ke ruang perawatan intensif untuk pemantauan lebih lanjut. Kesimpulannya, manajemen anestesi yang hati-hati dan individual sangat penting pada bayi dengan PDA yang menjalani pembedahan laparoskopik, dengan pendekatan anestetik multimodal yang mengoptimalkan stabilitas hemodinamik dan kontrol nyeri.
Korelasi Mean Arterial Pressure terhadap Renal Resistive Index, Serum Kreatinin, dan Produksi Urin pada Pasien Operasi Tulang Belakang yang Dilakukan Pembiusan Umum dengan Teknik Hipotensi Terkendali di RSUP Prof. Dr. I.G.N.G Ngoerah I Made Prema Putra; Sidemen, IGP Sukrana; Kurniyanta, I Putu; Tjokorda Gde Bagus Mahadewa; Tjokorda Gde Agung Senapathi
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 43 No 2 (2025): Juni
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v43i2.440

Abstract

Latar Belakang: Teknik hipotensi terkendali dilakukan pada beberapa operasi mayor termasuk pada operasi tulang belakang. Perlu untuk mengetahui rentang mean arterial pressure (MAP) pada hipotensi terkendali yang dapat mempertahankan laju filtrasi glomerulus dengan mengevaluasi renal resistive index (RRI), serum kreatinin, dan produksi urin. Metode : Penelitian analitik korelatif ini dilakukan selama empat bulan. Semua pasien yang memenuhi kriteria eligibilitas dan memberikan persetujuan dimasukkan dalam studi. Data primer dikumpulkan saat pasien berada di ruang rawat inap, meliputi usia, jenis kelamin, indeks massa tubuh (IMT), produksi urin, serum kreatinin, dan nilai RRI. Selama operasi, dicatat nilai rentang dan rerata MAP selama anestesi umum dengan teknik hipotensi terkendali. Pemeriksaan RRI, serum kreatinin, dan produksi urin diulang pascaoperasi. Hasil: Terdapat korelasi negatif kuat antara rerata MAP dan RRI, dengan koefisien korelasi (r) -0,625 (p < 0,001), yang menunjukkan bahwa semakin rendah rerata MAP, semakin tinggi nilai RRI, dan sebaliknya. Korelasi positif sedang ditemukan antara rerata MAP dan produksi urin (r = 0,433; p <0,001), serta korelasi negatif rendah antara MAP terendah dan serum kreatinin (r = -0,243; p = 0,040). Analisis kurva ROC menunjukkan AUC sebesar 0,916. Cut-off MAP optimal untuk mempertahankan nilai RRI normal adalah ≥ 52,5 mmHg (sensitivitas 0,955 dan 1-spesifisitas 0,560). Simpulan : Terdapat korelasi negatif kuat yang signifikan antara rerata MAP dan RRI, korelasi negatif rendah yang signifikan antara rerata MAP dan serum kreatinin, serta korelasi positif sedang yang signifikan antara rerata MAP dan produksi urin pada pasien yang menjalani operasi tulang belakang.
Successful One-Lung Ventilation with Fogarty Balloon for Thoracotomy Lobectomy in A 5-Year-Old Girl Kurniyanta, I Putu; Putra, Kadek Agus Heryana; Burhan; Sidemen, I Gusti Putu Sukrama
Indonesian Journal of Anesthesiology and Reanimation Vol. 7 No. 2 (2025): Indonesian Journal of Anesthesiology and Reanimation (IJAR)
Publisher : Faculty of Medicine-Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20473/ijar.V7I22025.132-139

Abstract

Introduction: Pediatric thoracic surgery, particularly lung resection, has special difficulties due to anatomical and physiological differences compared to adults. One-lung ventilation (OLV) is often necessary to optimize surgical exposure while minimizing lung injury. Traditional methods, like double-lumen endotracheal tubes, can be difficult to use in children due to their smaller airways and the risk of trauma. Thus, alternative approaches, such as bronchial blockers like Fogarty occlusion catheters, have gained prominence. Objective: This case report aims to highlight the use of the Fogarty balloon in a pediatric patient undergoing lobectomy for organized pleural effusion linked to pneumonia. Case Report: A 5-year-old girl with recurrent pneumonia presented with persistent cough, intermittent fever, and respiratory distress. Physical examination revealed decreased breath sounds and mild cyanosis. Imaging confirmed a large organized pleural effusion, suspected to be empyema. The surgical team chose a right thoracotomy lobectomy to remove the affected lung tissue. Preoperative consultations included pediatric surgery, anesthesiology, and respiratory therapy to ensure comprehensive care. A multi-modal pain management strategy, emphasizing regional anesthesia through epidural blocks, was implemented. For OLV, the anesthetic team selected a Fogarty balloon catheter to minimize airway trauma. After intubating with a single-lumen endotracheal tube, the balloon was inserted into the right main bronchus and inflated to occlude it, allowing ventilation of the left lung. Discussion: The Fogarty balloon effectively provided lung isolation while preserving airway integrity, facilitating optimal surgical exposure and stable oxygenation. Continuous monitoring of oxygenation during OLV was crucial for patient safety. Conclusion: The use of a Fogarty balloon for bronchial blockade and epidural anesthesia was successful in this pediatric lobectomy case. These techniques enhanced surgical safety, efficacy, and postoperative recovery, suggesting that there must be ongoing research to establish standardized protocols for pediatric thoracic procedures.
COMPARISON OF SEVOFLURANE WITH PROPOFOL ON THE INCIDENCE OF EMERGENCE AGITATION AFTER GENERAL ANAESTHESIA IN PAEDIATRIC PATIENTS UNDERGOING LAPARATOMY SURGERY AT RSUP PROF. DR. I. G. N. G. NGOERAH Giovanni, Malvin; Suarjaya, I Putu Pramana; Kurniyanta, I Putu; Wiryana, Made; Senapathi, Tjokorda Gde Agung; Suranadi , I Wayan; Widyana, I Made Gede; Putra, Kadek Agus Heryana
PREPOTIF : JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT Vol. 8 No. 1 (2024): APRIL 2024
Publisher : Universitas Pahlawan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/prepotif.v8i1.27269

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa perbandingan antara penggunaan sevofluran dan propofol sebagai obat pemeliharaan anestesi dapat mengurangi insiden AK pada pasien pediatrik yang menjalani operasi laparotomi di RS PROF. Dr. I.G.N.G. Ngoerah. Penelitian ini adalah studi kohort prospektif yang dilakukan pada 84 pasien berusia 3-12 tahun dengan ASA I-II yang menjalani operasi laparotomi. Semua pasien dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang menerima pemeliharaan anestesi dengan sevofluran dan kelompok yang menerima pemeliharaan anestesi dengan propofol. Setelah anestesi dari awal ekstubasi hingga 1 jam di ruang pemulihan, pasien diperiksa dan dicatat apakah terjadi AK menggunakan Pediatric Anesthesia Emergence Delirium (PAED) dan tingkat keparahannya. Jika skornya > 12, pasien diindikasikan mengalami AK. Hasil penelitian menunjukan bahwa perbandingan penggunaan obat pemeliharaan anestesi menggunakan propofol dan sevofluran terhadap insiden AK dan ditemukan bahwa 21,4% dari kelompok yang menggunakan propofol mengalami AK, dan 59,5% dari kelompok yang menggunakan sevofluran mengalami AK, nilai p <0,001 dengan OR 5,392; 95% CI [2.06 - 14.09]. Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa semakin muda usia meningkatkan risiko insiden AK dibandingkan dengan anak-anak yang lebih tua. Propofol secara signifikan mengurangi insiden Agitasi Kebangkitan (AK) dibandingkan dengan sevofluran pada pasien pediatrik yang menjalani operasi laparotomi di RS PROF. Dr. I. G. N. G. Ngoerah.
Anesthesia Management of Space-Occupying Lesion in the Pontine Region due to Brainstem Glioma in a Pediatric Patient: a Case Report Yustisia, Putu Ngurah Krisna Denta; Sutawan, Ida Bagus Krisna Jaya; Senapathi, Tjokorda Gde Agung; Kurniyanta, I Putu
Syntax Literate Jurnal Ilmiah Indonesia
Publisher : Syntax Corporation

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36418/syntax-literate.v9i11.16937

Abstract

A space-occupying lesion (SOL) in the pontine region of the medulla oblongata, often suspected as a brainstem glioma, poses a complex diagnostic challenge. Brainstem gliomas, primarily diffuse intrinsic, afflict all age groups with a median survival of about 12 months, influenced by tumor characteristics. Comprehensive preoperative evaluation is essential to assess the patient's health status and identify potential complications, guiding optimal anesthesia management. This case report aimed to describe the author's anesthesia technique for managing patients with SOL in the pontine region of the medulla oblongata, focusing on those with suspected brainstem gliomas. A four-year-old girl weighing 20 kilograms presented with sudden left-sided weakness, difficulty swallowing, headaches, and speech difficulties. Examination revealed right cranial nerve paresis and decreased left extremity strength. MRI showed a pontine glioma. Surgery preparation included fasting, fluid calculation, and medication readiness. Anesthesia induction involved midazolam premedication, propofol induction, and remifentanil for intubation. Monitoring included EtCO2 and oxygen saturation maintenance. Intraoperatively, target-controlled infusion (TCI) propofol and compressed air sustained oxygenation. Paracetamol and tranexamic acid were administered. The surgery lasted five hours in the left lateral decubitus position. Postoperative analgesia included fentanyl and oral paracetamol. The patient spent seven days in the PICU on a ventilator before discharge on the eighth day. In summary, the case of the four-year-old girl with left-sided weakness and difficulty swallowing, diagnosed with pontine glioma, showcases the intricate multidisciplinary approach essential in pediatric neurosurgery.
Manajemen Anestesi Intraoperatif pada Pasien Pediatri dengan Eventrasio Diafragmatica Kurniyanta, I Putu; Suranadi, I Wayan; Paskalis, Timothy
Syntax Literate Jurnal Ilmiah Indonesia
Publisher : Syntax Corporation

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36418/syntax-literate.v10i2.57735

Abstract

Eventrasi diafragma merupakan kondisi akibat muskularisasi diafragma yang tidak sempurna, menghasilkan jaringan membran tipis yang dapat mengganggu fungsi pernapasan. Kejadian kondisi ini sulit diperkirakan karena sering muncul bersamaan atau salah didiagnosis sebagai hernia Bochdalek. Pada kasus berat, eventrasi diafragma dapat menyebabkan hipoplasia paru dan gangguan pernapasan yang signifikan pada bayi. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas prosedur plikasi diafragma dalam meningkatkan fungsi paru pada pasien dengan eventrasi diafragma berat. Metode yang digunakan adalah tinjauan literatur terhadap berbagai teknik pembedahan, termasuk torakotomi terbuka, bedah torakoskopi dengan bantuan video (VATS), laparoskopi, serta bedah dengan bantuan robot. Hasil penelitian menunjukkan bahwa plikasi diafragma efektif dalam meratakan dan menurunkan posisi hemidiafragma, meningkatkan volume intratoraks, serta memperbaiki ekspansi paru. Selain itu, pendekatan minimal invasif seperti VATS dan bedah robotik memberikan keuntungan berupa pemulihan lebih cepat dan morbiditas lebih rendah dibandingkan torakotomi terbuka. Kesimpulannya, plikasi diafragma merupakan prosedur yang direkomendasikan untuk pasien dengan eventrasi diafragma berat, terutama pada mereka yang tidak responsif terhadap terapi medis. Pemilihan teknik pembedahan yang optimal serta pertimbangan anestesi yang tepat diperlukan untuk meningkatkan outcome pasien.