Penelitian ini menganalisis strategi komunikasi krisis yang dilakukan oleh Pertamina Patra Niaga dalam menghadapi dugaan kasus korupsi minyak mentah tahun 2025. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi karakteristik krisis, menganalisis strategi komunikasi yang diterapkan, serta menilai kesesuaiannya dengan tipe krisis yang dihadapi. Penelitian menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan pendekatan studi kasus. Data diperoleh melalui dokumentasi berita daring dari Kompas, CNN Indonesia, Tempo, dan BBC Indonesia, pernyataan resmi perusahaan, serta tanggapan publik di media sosial. Analisis dilakukan dengan memadukan lima elemen krisis dari Coleman dan kerangka Situational Crisis Communication Theory (SCCT) dari Coombs. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pertamina Patra Niaga mengalami krisis dengan tingkat risiko tinggi yang ditandai oleh ketidakpastian informasi, tekanan publik, dan ancaman terhadap kepercayaan masyarakat. Pada tahap awal, perusahaan menggunakan strategi defensif dengan menonjolkan sikap kehati-hatian dan penundaan klarifikasi. Pendekatan ini justru memperburuk persepsi publik karena dianggap tidak transparan. Setelah tekanan publik meningkat, perusahaan beralih ke strategi rebuild dengan melakukan audit independen dan menyampaikan komitmen perbaikan tata kelola. Meskipun langkah tersebut menunjukkan arah yang lebih terbuka, perubahan strategi bersifat reaktif dan baru dilakukan setelah citra organisasi terlanjur menurun. Temuan penelitian ini memperkuat pentingnya penerapan komunikasi krisis yang cepat, terbuka, dan empatik dalam konteks organisasi publik strategis; yang menjadi aspek kebaruan penelitian ini adalah integrasi mendalam antara kerangka SCCT dengan elemen krisis Coleman dalam konteks korupsi sumber daya energi di sektor BUMN, sekaligus mengungkap celah kritis antara kesiapan komunikasi institusi dan dinamika respons publik digital di Indonesia.