Pemerintah dan DPR RI mengesahkan perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan dan Pertambangan Batubara (RUU Minerba). Setelah disetujui dalam Rapat Paripurna DPR RI pada 12 Mei 2020, UU Minerba yang baru kemudian ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 10 Juni 2020, menjadi UU No.3 Tahun 2020. Banyak kelompok masyarakat sipil yang dikejutkan dengan perubahan yang begitu cepat dalam perekonomian. Proses pembahasan dan pengesahan hasil revisi UU Minerba. Memang, pembahasan undang-undang terkait aset negara dan kepentingan masyarakat Indonesia secara luas terkesan diam, minim sosialisasi, dan tidak berdasarkan aspirasi masyarakat. Situasi ini menimbulkan beberapa pertanyaan mendasar di kalangan masyarakat sipil: mengapa proses legislasi untuk mengamandemen UU Minerba dilakukan secara tergesa-gesa, tanpa mengikuti proses sosialisasi secara menyeluruh dan tanpa memperhatikan aspirasi masyarakat luas? Mengapa para pihak harus benar-benar memahami isu akuntabilitas dan transparansi di sektor pertambangan tanpa terlibat secara aktif dalam proses amandemen undang-undang Minerba? Adakah kelompok kepentingan yang sengaja memanfaatkan kelalaian masyarakat di tengah pandemi, untuk mencapai tujuan ekonomi politik di balik UU Minerba? Semua pertanyaan tersebut masih memiliki jawaban misterius hingga saat ini. Selain mempertanyakan aspek prosedural, pesatnya pembahasan amandemen UU Minerba juga dinilai masyarakat sipil meninggalkan permasalahan substantif yang sulit diselesaikan. Secara keseluruhan, perubahan UU Minerba mengalami perubahan yang cukup besar, perubahan tersebut terjadi pada 143 pasal dari total 217 pasal atau setara dengan sekitar 80% dari jumlah pasal dalam UU Nomor 4 Tahun 2009. Lebih spesifiknya, sedikitnya ada penambahan 51 artikel baru, 83 artikel diubah, dan 9 artikel dihapus. Setidaknya ada lima faktor mendasar yang dinilai menjadi persoalan utama dibalik revisi UU Minerba