Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

The Reversed Implementation of the ICC’s Principle of Complementarity: Case Study of Argentina Investigation for Rohingyas Christyanti, B. Lora; Diajeng Wulan Christianti; Chloryne Trie Isana Dewi
Padjadjaran Journal of International Law Vol. 7 No. 1 (2023): Padjadjaran Journal of International Law, Volume 7, Number 1, January 2023
Publisher : International Law Department, Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23920/pjil.v7i1.965

Abstract

Complementarity is the basic principle of the ICC’s jurisdiction. As a fundamental principle, it harmonizes the relationship between ICC and National Courts. The Rome Statute clearly states that the ICC is complementary to national courts. However, in the case of Rohingya, the Argentine Lower Court applied this principle in reverse by rejecting the investigation, requested by the Burmese Rohingya Organization UK under universal jurisdiction, for the case of Rohingya since the ICC had already investigated a similar case. This paper seeks to answer whether the ICC’s complementarity principle can be applied in reverse, as decided by the Argentine Lower Court, according to international law. A juridical normative research method will be used to address these issues. In addition, the recognized principles of interpretation in international law will be used to enrich the meaning of the ICC’s complementarity. Based on the analysis, it is obvious that, according to international law, the complementarity cannot be applied in reverse, even by states parties to the Rome Statute. According to the Rome Statute's provisions, every State is required to exercise criminal jurisdiction over persons responsible for international crimes. For this reason, this paper strengthens the arguments for the Argentine Appeal Court to overturn the Lower Court’s decision and reopen the investigation into the case.
PERUBAHAN REZIM HUKUM DAN RISIKO IMPUNITAS KORUPSI DI BADAN USAHA MILIK NEGARA Christyanti, B. Lora
Jurnal Suara Keadilan Vol 26, No 1 (2025): Jurnal Suara Keadilan Vol. 26 Nomor 1 (2025)
Publisher : LPPM Universitas Muria Kudus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24176/sk.v26i1.14760

Abstract

Pengesahan Perubahan Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara membawa perubahan rezim hukum dengan mengeluarkan keuangan Badan Usaha Milik Negara dari rezim keuangan negara. Reformasi ini berdampak pada yurisdiksi penegakan tindak pidana korupsi di Badan Usaha Milik Negara, terutama terkait unsur kerugian negara dalam Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Pembentukan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) sebagai Sovereign Wealth Fund semakin memperumit pengawasan terhadap aset yang sebelumnya termasuk dalam keuangan negara. Artikel ini menganalisis dampak perubahan rezim hukum ini terhadap Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Keuangan Negara, dan putusan Mahkamah Konstitusi. Dengan metode yuridis normatif melalui pendekatan perundang-undangan dan studi kasus, penelitian ini menemukan bahwa perubahan ini berpotensi mempersempit cakupan kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan dan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam mengaudit serta menyelidiki dugaan korupsi di Badan Usaha Milik Negara. Selain itu, analisis terhadap kasus korupsi yang melibatkan direksi Badan Usaha Milik Negara menunjukkan bahwa pemisahan keuangan ini dapat mempersulit pembuktian unsur kerugian negara dalam peradilan Tindak Pidana Korupsi, yang berisiko melemahkan efektivitas pemberantasan korupsi di sektor Badan Usaha Milik Negara. Lebih lanjut, perubahan rezim hukum ini menimbulkan pertanyaan mengenai akuntabilitas pengelolaan keuangan Badan Usaha Milik Negara, terutama setelah aset negara dialihkan ke Danantara. Oleh karena itu, diperlukan kajian lebih lanjut terhadap dampak jangka panjang reformasi ini terhadap transparansi dan pengawasan, guna memastikan bahwa fleksibilitas keuangan Badan Usaha Milik Negara tidak membuka celah impunitas dalam tindak pidana korupsi.
Tantangan Tata Kelola dan Pencegahan Korupsi dalam Implementasi Perubahan Ketiga UU BUMN Christyanti, B. Lora
Jurnal Inspektorat Vol. 1 No. 1 (2025): Jurnal Inspektorat
Publisher : Inspektorat Kabupaten Majalengka

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.64527/inspektorat.v1i1.17

Abstract

Transformasi hukum terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Perubahan Ketiga UU BUMN) telah menciptakan fleksibilitas kelembagaan yang signifikan, namun sekaligus menimbulkan risiko moral hazard akibat lemahnya sistem pengawasan dan akuntabilitas publik. Studi-studi sebelumnya lebih banyak menyoroti inefisiensi birokrasi dan praktik korupsi dalam BUMN, namun belum secara sistematis mengevaluasi konsekuensi hukum dan tata kelola pasca pergeseran dari kerangka hukum keuangan negara ke kerangka hukum korporasi. Artikel ini bertujuan untuk menjawab bagaimana desain regulasi dalam Perubahan Ketiga UU BUMN membuka ruang penyimpangan tata kelola dan apa implikasinya terhadap efektivitas sistem antikorupsi. Dengan pendekatan normatif-doktrinal, tulisan ini menganalisis ketentuan hukum nasional, membandingkannya dengan praktik tata kelola Temasek (Singapura) dan Statens Pensjonsfond Utland (Norwegia), serta menilai kecukupan norma berdasarkan teori agency, regulatory capture, dan prinsip good governance. Hasilnya menunjukkan bahwa absennya kontrol publik yang kuat membuka celah sistemik bagi penyalahgunaan kewenangan. Studi ini merekomendasikan tata kelola hibrida yang mengintegrasikan efisiensi korporasi dan akuntabilitas publik melalui penguatan peraturan turunan, pengawasan multi-lapis, dan partisipasi masyarakat sipil. Tulisan ini berkontribusi secara konseptual terhadap reformulasi sistem pengawasan BUMN di tengah konteks deregulasi.