Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Analisis Pemberian Keringanan Hukuman Terhadap Justice Collaborator Perspektif Fiqh Jinayah Ilma, Hutmi Amivia; Nabila Maharani
Taruna Law: Journal of Law and Syariah Vol. 2 No. 01 (2024): January
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Islam Taruna Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54298/tarunalaw.v2i01.176

Abstract

Banyaknya kejahatan yang terjadi yang melibatkan individu atau sekelompok orang yang memiliki kekuasaan atau koneksi yang besar mengakibatkan ciutnya nyali masyarakat untuk melaporkan kejahatan yang terjadi kepada penegak hukum. Hal tersebut disebabkan karena adanya kekhawatiran terhadap keselamatan akan dirinya dan juga orang disekitar. Dengan demikian, aparat penegak hukum harus melibatkan seseorang atau lebih tersangka yang ikut serta dalam kejahatan tersebut sebagai saksi atau yang biasa disebut sebagai justice collaborator dengan memberikan jaminan berupa pengurangan hukuman sebagai bentuk penghargaan. Berdasarkan pada hal tersebut, tumbuh rasa ketertarikan penulis untuk melakukan analisa mengenai bagaimana pandangan hukum Islam atau fiqh jinayah terhadap perlindungan saksi dan korban, khususnya perlindungan bagi seorang saksi pelaku atau justice collaborator yang telah bersedia melakukan kerjasama dengan para penegak hukum guna membongkar kejahatan yang telah dilakukan. Penelitian ini termasuk pada penelitian normatif serta dalam pengumpulan datanya menggunakan teknik studi pustaka. Berdasarkan analisis yang dilakukan, dapat dipahami bahwa pada dasarnya Islam telah mempunyai konsep yang lebih jelas dan sempurna mengenai kewajiban yang sudah seharusnya dijalankan oleh seorang saksi sebagai upaya dalam mengungkap kebenaran dari suatu kasus. Hukum Islam juga telah menjelaskan mengenai akibat apa yang akan ditanggung oleh seorang saksi apabila memberi kesaksian palsu.
Penerapan Sanksi Pidana dan Pemenuhan Hak Restitusi Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Ilma, Hutmi Amivia
Taruna Law: Journal of Law and Syariah Vol. 2 No. 01 (2024): January
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Islam Taruna Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54298/tarunalaw.v2i01.179

Abstract

Abstract This paper discusses the act of trafficking in persons as an extraordinary crime that degrades the lives of others in order to solely benefit themselves. Poverty is one of the biggest causes of trafficking despite other factors, such as legal policies and gender inequality. Children are the most vulnerable victims of trafficking crimes, especially those who are economically and educationally disadvantaged. The writing of this study is intended to determine how the form of implementing criminal sanctions and granting restitution rights to children as victims of trafficking crimes. The writing of this research applies normative legal research methods, namely by using various laws, decisions, and regulations that have been made or based on community norms and rules as well as various academic texts and research results of relevant experts. The result of this study is that the application of criminal sanctions in the form of imprisonment and fines given to traffickers has been formulated in the Criminal Code and outside the Criminal Code by taking into account the classification of perpetrators in committing trafficking crimes. In the event that the fulfillment of the victim's rights is given by providing restitution which is the obligation of the perpetrator to the victim which has been regulated through a separate mechanism.   Abstrak Dalam penulisan ini membahas permasalahan mengenai tindakan perdagangan orang sebagai tindak kejahatan luar biasa yang merendahkan derajat hidup orang lain untuk semata-mata mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Kemiskinan menjadi salah satu faktor terbesar dalam terjadinya tindak pidana perdagangan orang, di samping juga terdapat faktor lainnya, seperti kebijakan hukum dan ketimpangan gender. Anak merupakan korban yang paling rentan untuk menjadi objek dalam tindak pidana perdagangan orang, terutama mereka yang kurang mampu secara ekonomi dan pendidikan. Penulisan penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana bentuk penerapan sanksi pidana dan pemberian hak restitusi terhadap anak sebagai korban dari tindak pidana perdagangan orang. Penulisan penelitian ini mengaplikasikan metode penelitian hukum normatif, yaitu dengan menggunakan berbagai analisis undang-undang, keputusan, dan peraturan yang telah dibuat atau didasarkan pada norma dan aturan masyarakat, serta berbagai naskah akademik dan hasil penelitian para ahli yang relevan. Hasil dari penelitian ini adalah mengetahui bagaimana penerapan sanksi pidana berupa pidana penjara dan pidana denda yang diberikan kepada pelaku perdagangan orang sebagaimana telah dirumuskan dalam KUHP maupun di luar KUHP dengan memperhatikan klasifikasi pelaku dalam melakukan tindakan tersebut. Dalam hal pemenuhan hak korban, dilakukan dengan pemberian hak restitusi yang menjadi kewajiban pelaku terhadap korban yang telah diatur melalui mekanisme tersendiri.
Tantangan Mekanisme Non-Conviction Based Asset Forfeiture dalam RUU Perampasan Aset Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Ilma, Hutmi Amivia
Taruna Law: Journal of Law and Syariah Vol. 3 No. 01 (2025): January
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Islam Taruna Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54298/tarunalaw.v3i01.276

Abstract

Pemulihan aset hasil kejahatan telah menjadi isu global yang mendesak. Komitmen internasional, seperti yang tertuang dalam Konvensi PBB Anti Korupsi (UNCAC), mendorong negara-negara untuk secara aktif mengejar aset-aset yang diperoleh secara ilegal. Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset yang tengah digodok diharapkan dapat memperkuat upaya Indonesia dalam memenuhi kewajiban internasional ini. Pergeseran paradigma dalam perampasan aset dari pendekatan in personam ke in rem telah memunculkan pertanyaan mengenai perlindungan terhadap hak-hak individu, terutama hak milik. Pemerintah perlu memastikan bahwa dalam menerapkan Rancangan Undang-UndangPerampasan Aset, prinsip-prinsip hukum yang adil tetap dihormati. Mekanisme in rem semata-mata bertujuan untuk merampas aset hasil kejahatan, bukan untuk menghukum individu yang belum tentu terbukti bersalah secara pidana.Analisis terhadap RUU Perampasan Aset mengungkap sejumlah kendala, termasuk potensi pelanggaran hak asasi manusia, pergeseran paradigma penegakan hukum, dan kurangnya koordinasi antar lembaga. Meskipun demikian, mengingat keterbatasan efektivitas pidana penjara dan denda dalam memberantas kejahatan, pengesahan RUU ini menjadi semakin mendesak untuk memperkuat penegakan hukum dan memulihkan kerugian negara.
Tantangan Mekanisme Non-Conviction Based Asset Forfeiture dalam Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset di Indonesia Ilma, Hutmi Amivia
Ma’mal: Jurnal Laboratorium Syariah dan Hukum Vol. 5 No. 4 (2024): Agustus
Publisher : Laboratorium Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya (https://uinsa.ac.id/fsh/facility)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/mal.v5i4.373

Abstract

Abstract: The recovery of assets and proceeds of crime has become an urgent global issue. International commitments, such as those enshrined in the United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), encourage countries to actively pursue illegally acquired assets. The Asset Forfeiture Draft Bill is currently being drafted and is expected to strengthen Indonesia's efforts to fulfill this international obligation. This article discusses the challenges of the Non-Conviction Based Asset Forfeiture mechanism in the Asset Forfeiture Draft Bill in Indonesia. This research is normative research that analyzes the Asset Forfeiture Draft Bill and various relevant legal literature. Data collection is carried out through literature studies and analyzed qualitatively to describe the research object. The result of this study is that the Asset Forfeiture Draft Bill reveals a number of obstacles, including potential human rights violations, a shift in the paradigm of law enforcement, and a lack of coordination between institutions. However, given the limited effectiveness of imprisonment and fines in eradicating crime, the passage of this draft bill has become increasingly urgent to strengthen law enforcement and recover state losses. Keywords: Asset Forfeiture, Non-Conviction Based Asset Forfeiture, Corruption Crime,  Draft Bill. Abstrak: Pemulihan aset hasil kejahatan telah menjadi isu global yang mendesak. Komitmen internasional, seperti yang tertuang dalam Konvensi PBB Anti Korupsi (UNCAC), mendorong negara-negara untuk secara aktif mengejar aset-aset yang diperoleh secara ilegal. Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset yang tengah digodok diharapkan dapat memperkuat upaya Indonesia dalam memenuhi kewajiban internasional ini. Artikel ini membahas tentang tantangan mekanisme Non-Conviction Based Asset Forfeiture dalam Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset di Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian normatif dengan menganalisis RUU Perampasan Aset serta berbagai literatur hukum yang relevan. Pengumpulan data dilakukan dengan melalui studi pustaka dan dianalisa secara kualitatif untuk mendeskripsikan objek penelitian. Hasil penelitian ini adalah RUU Perampasan Aset mengungkap sejumlah kendala di antaranya adanya potensi pelanggaran hak asasi manusia, pergeseran paradigma penegakan hukum, dan kurangnya koordinasi antar lembaga. Meskipun demikian, mengingat keterbatasan efektivitas pidana penjara dan denda dalam memberantas kejahatan, pengesahan RUU ini menjadi semakin mendesak untuk memperkuat penegakan hukum dan memulihkan kerugian negara.