Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

Analisis Yuridis Perlindungan Hukum terhadap Pasien dalam Kasus Tindak Pidana Malpraktek Menurut Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Siregar, Gomgom T.P.
ARBITER: Jurnal Ilmiah Magister Hukum Vol 5, No 2 (2023): ARBITER: Jurnal Ilmiah Magister Hukum November
Publisher : Universitas Medan Area

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31289/arbiter.v5i2.2834

Abstract

The high level of crime, including medical malpractice, demands legal protection for patients. The diversity of crimes involving professional classes makes detection and handling increasingly complex. Medical malpractice is often difficult for law enforcement to detect due to challenges in proving negligence or intent. In a legal context, a crime occurs when someone's actions harm or victimize others. Medical malpractice involves a doctor's actions that deviate from operational standards. Consequences include civil and criminal legal sanctions. Responsibilities, including ethical, public, and civil aspects, are associated with medical malpractice. Differences in sanctions and medical risks are emphasized in both medical laws and ethics. Sanctions for medical malpractice are regulated by the Medical Practice Act and the Code of Medical Ethics. Malpractice involves elements of intentional wrongdoing or negligence, while medical risks are not criminal offenses. Medical accidents occur unpredictably and cannot be blamed. Legal protection for patients is crucial in responding to various challenges in the healthcare field.
TANGGUNG JAWAB MASKAPAI TERHADAP PEMBATALAN KEBERANGKATAN PENUMPANG KARENA TIDAK MELENGKAPI PERSYARATAN KESEHATAN (RAPID TEST) (Studi Penelitian di Bandara Udara Kuala Namu) Muhasyibi, Fandi; Siregar, Gomgom T.P.; Devi, Ria Sintha
JURNAL RETENTUM Vol 2 No 2 (2020): SEPTEMBER
Publisher : Pascasarjana UDA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46930/retentum.v6i2.5180

Abstract

Faktor-faktor yang menyebabkan maskapai membatalkan penerbangan adalah faktor komersial, teknis, operasional, cuaca dan bandara. Maskapai penerbangan bertanggung jawab untuk membatalkan keberangkatan karena tidak melebihi persyaratan perawatan kesehatan (pengujian dipercepat): jika penumpang tes positif untuk antigen, ia harus menjalani tes PCR, jika negatif, mereka dapat melanjutkan, dan harga kembali dari tiket untuk terbang kembali minimal 3 hari ke depan dan jika penumpang mendapatkan PCR maka harus dikarantina selama 14 hari, menjadwal ulang tiket sesuai dengan status penumpang setelah karantina. Atau seluruh tiket akan dikembalikan. Tidak ada ketentuan khusus untuk perlindungan hukum konsumen untuk pembatalan keberangkatan karena kegagalan untuk menyelesaikan perawatan kesehatan (pengujian dipercepat), tetapi kepatuhan tidak terbatas pada UndangUndang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan tidak tercapai. Namun, penumpang sebagai konsumen memiliki perlindungan hukum berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang berkaitan dengan hak-hak penumpang sebagai konsumen jasa angkutan udara, dan KUH Perdata yang berkaitan dengan status penumpang sebagai pihak dalam kontrak pengangkutan dengan seperti maskapai penerbangan.
PENEGAKAN HUKUM DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA UJARAN KEBENCIAN DI MEDIA SOSIAL Saragih, Hasiholan Rodearman; Siregar, Gomgom T.P.; Siregar, Syawal Amry
JURNAL RETENTUM Vol 2 No 1 (2020): MARET
Publisher : Pascasarjana UDA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46930/retentum.v4i1.1322

Abstract

Rumusan masalah yang digunakan pada penelitian ini adalah bagaimana faktor-faktor yang mendorong terjadinya tindak pidana ujaran kebencian melalui media sosial, bagaimana penegakan hukum dalam menanggulangi tindak pidana ujaran kebencian di media sosial di Wilayah Hukum Polrestabes Medan, bagaimana kendala yang dihadapi kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana ujaran kebencian di media sosial di Wilayah Hukum Polrestabes Medan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mendorong terjadinya tindak pidana ujaran kebencian adalah: adanya perkembangan teknologi informasi, adanya even nasional seperti pemilihan umum yang meningkatkan suhu politik di masyarakat, adanya kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan masyarakat umum, adanya permusuhan dalam bentuk SARA, kurangnya kesadaran hukum masyarakat atas dampak negative yang ditimbulkan dari penyebaran ujaran kebencian. Penanggulangan terhadap tindak pidana ujaran kebencian pada Polrestabes Medan diawali dengan menerima laporan dari masyarakat, kemudian dilanjutkan dengan analisis bukti fisik serta meminta keterangan saksi-saksi, termasuk juga saksi ahli. Faktor kendala yang dihadapi Polrestabes Medan dalam penegakan hukum terhadap penyebaran ujaran kebencian melalui media sosial adalah: Tokoh masyarakat dianggap sebagai panutan di tengah masyarakat dan memiliki basis massa, sehingga dapat menimbulkan gejolak sosial jika ditindak sesuai dengan proses hukum. Sebagian kalangan menganggap bahwa pemidanaan terhadap penyebar kebencian merupakan pengekangan terhadap kebebasan berpendapat. SIM card telah dapat digunakan tanpa proses registrasi sehingga kepolisian kesulitan melakukan penelusuran untuk mencari tersangkanya karena akun yang digunakan tidak dapat diidentifikasi kepada identitas penggunanya. Masih banyak anggota masyarakat yang tidak mengetahui adanya larangan penyebaran ujaran kebencian sehingga tidak hati-hati untuk memposting kata-kata yang menghujat bagi pihak lain atau bahkan menghujat pejabat pemerintah. Akun palsu tidak mudah dilacak kepolisian karena hampir semua identitas pemiliknya adalah palsu, padahal sering digunakan untuk menyebarkan informasi kebencian.
ASPEK YURIDIS FEDERATION OF ADVOCATES OF THE REPUBLIC OF INDONESIA (LBH FERARI) TERHADAP PROSES PENYIDIKAN TINDAKAN PIDANA UNTUK KOMUNITAS TIDAK MAMPU Lumbanraja, Julius; Siregar, Gomgom T.P.; Siregar, Syawal Amry
JURNAL RETENTUM Vol 3 No 2 (2021): SEPTEMBER
Publisher : Pascasarjana UDA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46930/retentum.v5i2.1365

Abstract

Bantuan hukum, yaitu masyarakat kurang mampu. Pemberi bantuan hukum merupakan profesi advokat. Pada saat penyidikan memberikan rasa tenang. Masalah yang dikaji adalah bagaimana syarat dan ketentuan serta pemberian bantuan hukum kasus pidana pada tahap penyidikan kasus pidana. Tujuan dapat mengetahui serta memberikan bantuan pada tahap penyidikan kasus pidana bagi orang miskin. Yuridis sosiologis. Metode penentuan purposive sampling. Sebagai penyidik, korban sebagai hukum. Data utama yang digunakan adalah data primer yang didukung oleh data sekunder. Metode adalah analisis kualitatif. Berdasarkan telah sesuai dengan Ketentuan. Tata Gratis,
KAJIAN KRIMINOLOGI TENTANG KEJAHATAN NARKOTIKA DALAM KAITANNYA DENGAN PIDANA MATI TERHADAP PENURUNAN JUMLAH KASUS NARKOTIKA DI KOTA MEDAN Siallagan, Mangatur Erginda; Siregar, Gomgom T.P.; Siregar, Syawal Amry
JURNAL RETENTUM Vol 2 No 1 (2020): MARET
Publisher : Pascasarjana UDA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46930/retentum.v4i1.1320

Abstract

Kejahatan narkotika sangat bertentangan dengan Sila I dan Sila II dari Pancasila, bahwa akibat yang ditimbulkan dari narkotika dan zat adiktif yang dipergunakan oleh pelakunya dapat membawa akibat buruk yang dapat merusak tatanan kehidupan pribadi, keluarga, bangsa dan negara. Dalam ajaran agama dan aliran kepercayaan yang diakui di negara Indonesia melarang segala sesuatu yang dapat menimbulkan akibat buruk pada kehidupan umat-Nya. Hukum dari aspek agama penggunaan narkotika adalah haram hukumnya. Pemerintah telah melakukan berbagai perlawanan terhadap pelaku kejahatan narkotika di Indonesia, salah satu bentuknya adalah dengan memberlakukan Undang-Undang 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Kota Medan merupakan jalan masuk yang strategis untuk mengedarkan narkotikabaik melalui darat, laut bahkan melalui udara. Polisi, dalam hal ini Kepolisian Resor Kota Besar Medan hadir sebagai instansi dengan visi mewujudkan pelayanan keamanan dan ketertiban masyarakat yang prima, tegaknya hukum dan keamanan di dalam negeri yang mantapserta terjalinnya sinergi polisional yang proaktif. Presiden Joko Widodo sudah menyampaikan bahwa Indonesia darurat narkotika. Peredaran narkotika sangat mengkhawatirkan, karena semakin banyak pelaku kejahatan narkotika yang ada di Indonesia. Menghancurkan negara dan generasi bangsa. Mengancam eksistensi akal sehat umat manusia. Mereka melakukan berbagai cara untuk memasok, mendistribusikan dan memasarkan narkotika. Menyusup dalam berbagai elemen, menjadi oknum bahkan membentuk jaringan dan sindikat. Meskipun pidana mati banyak dibahas para pakar ahli hukum pidana, masalah tersebut tetap menjadi masalah yang cukup penting untuk dibahas, yang mana terdapat beberapa pendapat mengenai mekanisme penerapan sanksi pidana mati di Indonesia. Ada pendapat yang mengatakan bahwa sanksi pidana mati kepada pelaku kejahatan narkotika dapat memberi efek penurunan kejahatan dimaksud, namun ada pula pendapat sebaliknya. Hal ini disebabkan bahwa Pancasila serta UUD 1945 dalam pasal-pasalnya menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, terutama hak untuk hidup dalam Pasal 28A. Namun penetapan dalam Undang-Undang Narkotika mengenai pidana mati adalah dimaksud sebagai esensi efek jera bagi pelaku dan sebagai contoh kepada yang lain agar tidak melakukan perbuatan yang dilarang. Akan tetapi fakta yang terjadi, ditemukan adanya peningkatan kualitas dan kuantitas kejahatan narkotika dari waktu ke waktu. Para pelaku kejahatan yang terus meningkat jumlahnya harus diberikan pemberitahuan yang mengejutkan yaitu berupa pidana mati yang memang tidak mungkin lagi diharapkan bisa berubah.
ASPEK KRIMINOLOGIS DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN TERORISME DI INDONESIA Pramana, Jaka; Siregar, Gomgom T.P.; Siregar, Syawal Amry
JURNAL RETENTUM Vol 2 No 1 (2020): MARET
Publisher : Pascasarjana UDA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46930/retentum.v4i1.1321

Abstract

Putusan pengadilan atas pidana terorisme yang dijatuhkan majelis hakim tergolong berat. Tetapi fakta di lapangan menunjukkan bahwa aksi terorisme tidak menyurut dan tetap tidak terkendali. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apa faktor penyebab yang mendorong seseorang melakukan tindak pidana terorisme di Wilayah Hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara, apa akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana terorisme dan bagaimana upaya Kepolisian Daerah Sumatera Utara dalam penanggulangan kejahatan tindak pidana terorisme. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif, sedangkan teknik analisis data menggunakan deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor penyebab tindak pidana terorisme adalah: adanya pemahaman yang keliru terhadap ajaran ideologi agama, adanya gejolak politik nasional, adanya kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan kelompok tertentu, adanya provokasi atau pengaruh dari tokoh agama serta kurangnya kesadaran hukum kelompok tertentu atas pentingnya situasi yang kondusif bagi masyarakat. Adapun akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana terorisme adalah: menimbulkan keresahan di tengah masyarakat, penderitaan fisik bagi korban serangan terorisme, menimbulkan trauma psikis bagi korban dan pihak lain, serta mengganggu aktivitas perekonomian masyarakat. Penanggulangan terorisme dilakukan dengan pendekatan persuatif dan represif. Pendekatan persuasif merupakan tindakan pencegahan dengan melakukan sosialisasi UU Anti Terorisme yang telah direvisi, pelarangan terhadap kegiatan yang dapat mengarah timbulnya radikalisme dan pemasangan atribut-atribut tertentu yang merupakan lambang radikal, serta pengawasan terhadap objek vital dan fasilitas umum yang sering dikunjungi oleh masyarakat. Pendekatan represif dilakukan untuk menangani aksi terorisme yang telah terjadi, dimana kepolisian melakukan tindakan tegas untuk melumpuhkan pelaku serta mengamankan lokasi terjadinya serangan teroris. Pendekatan represif juga diikuti dengan pengembangan kasus dengan menangkap semua orang yang diduga kuat terkait dengan serangan teroris yang telah terjadi berdasarkan penelusuran petugas kepolisian atau berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap tersangka yang telah ditangkap.