Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

Akibat Hukum Terhadap Tindakan Wanprestasi Pada Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah Di Kota Makassar (Studi Kasus: Putusan PN Makassar Nomor 134/PDT.G/2019/PN Mks) Ishak, Ishak; Ariadin
Sawerigading Law Journal Vol. 2 No. 1 (2023): September 2022 - Maret 2023
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Sawerigading Makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62084/slj.v2i1.327

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui untuk mengetahui akibat hukum terhadap tindakan wanprestasi pada perjanjian kredit pemilikan rumah pada Putusan PN Makassar Nomor 134/Pdt.G/2019/PN Mks serta untuk mengetahui Pertimbangan Hakim terhadap Putusan PN Makassar Nomor 134/Pdt.G/2019/PN Mks. Penelitian ini dilaksanakan di Pengadilan Negeri Makassar (PN Makassar). Pengumpulan data dilakukan melalui prosedur inventarisasi dan identifikasi peraturan perundang-undangan, serta klasifikasi dan sistematisasi bahan hukum sesuai permasalahan penelitian melalui studi kepustakaan. Hasil penelitian menemukan bahwa akibat wanprestasi yang dilakukan debitor atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak, dapat menimbulkan kerugian bagi kreditor atau pihak yang mempunyai hak menerima prestasi. Akibat hukum debitor atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak diantaranya pihak debitor harus menerima pemutusan kontrak yang disertai dengan pembayaran ganti kerugian. Pertimbangan Hakim dalam perkara Nomor : Nomor 134/Pdt.G/2019/PN Mks bahwa tergugat telah mengikatkan diri dengan Turut Tergugat Idalam Perjanjian Fasilitas Kredit KPR Perumahan, namun dalam perjalanannya pihak tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sehingga turut tergugat I melakukan Peralihak Hak untuk mencegah terjadinya kredit macet kepada Pihak Penggugat. Pada proses persidangan terbukti secara bersesuai apa yang didalilkan dalam persidangan antara Penggugat dengan Tergugat I sehingga Hakim memutuskan bahwa Penggugat adalah sebagai pemilik satu satunya yang sah atas sebidang tanah dan bangunan rumah tinggal.
Kedudukan Badan Hukum dalam Perkara Kepailitan Kainur, Erwin Al Qadri; Ariadin
Jurnal Global Futuristik Vol. 2 No. 2 (2024): Jurnal Global Futuristik : Kajian Ilmu Sosial Multidisipliner
Publisher : CV Global Research Publication

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59996/globalistik.v2i2.568

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan : (1) syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh badan hukum yang pailit, (2) Kedudukan badan hukum yang pailit sebagai pihak dalam kepailitan. Jenis penelitian ini hukum yuridis normatif dengan pendekatan undang-undang yaitu suatu penelitian yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep azas-azas hukum serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan kajian permasalahannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Debitor harus mempunyai minimal dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya atau utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan baik atas permohonan satu atau lebih kreditomya. Adapun kedudukan badan hukum dalam sebagai pihak dalam perkara pailit sama dengan pihak-pihak lain yang bersengketa di muka pengadilan, namun memiliki keterbatasan melakukan perbuatan hukum dalam bidang harta kekayaan yang telah dimasukkan ke dalam harta pailit.
Perlindungan Hukum terhadap Hak Merek Perusahaan di Kota Makassar Ariadin; Basri; Aries Maulana
Jurnal Pustaka Cendekia Hukum dan Ilmu Sosial Vol. 1 No. 3 (2024): October - January
Publisher : PT PUSTAKA CENDEKIA GROUP

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.70292/pchukumsosial.v1i3.73

Abstract

This study aims to examine the legal protection of corporate trademark rights in Makassar. Several questions that are the focus of this study include: 1) What are the procedures applicable to trademark registration in Makassar? 2) How are sanctions applied to violations of corporate trademark rights there? The approach used is qualitative with a legal method. Data sources include interviews with judges at the Makassar District Court as primary data, and regulations, books, journals, and online articles as secondary data. The data are analyzed qualitatively, with the aim of providing a clear and systematic picture to then be concluded. The results of the study indicate that inaccuracy in trademark examination by the Directorate General of Intellectual Property Rights (Dirjen HKI) causes confusion and losses for trademark owners and registrants. In addition, the application of sanctions is more often focused on criminal and civil aspects, although administrative sanctions, such as termination of trademark use, should be enforced more firmly.
Perbuatan Melawan Hukum dalam Perspektif Hukum Kontrak di Indonesia Ariadin
Jurnal Pelita Nusantara Vol. 1 No. 3 (2023): Jurnal Pelita Nusantara : Kajian Ilmu Sosial Multidisiplin
Publisher : CV Global Research Publication

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59996/jurnalpelitanusantara.v1i3.505

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk perbuatan melawan hukum dalam perspektif Hukum Kontrak dan mengetahui bentuk kerugian akibat perbuatan melawan hukum dalam perspektif Hukum Kontrak. Jenis penelitian adalah jenis penelitian hukum normatif, penelitian hukum normatif atau penelitian perpustakaan. ini merupakan penelitian yang mengkaji studi dokumen, yakni menggunakan berbagai data sekunder seperti peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum, dan dapat berupa pendapat para sarjana. Penelitian jenis normatif ini menggunakan analisis kualitatif yakni dengan menjelaskan data-data yang diuraikan secara jelas terkait persoalan yang diteliti. Sehingga disimpulkan bahwa hubungan kontraktual yang dilanggar oleh seseorang disebut dengan wanprestasi, sehingga yang menjadi alasan dapat dilakukannya gugatan perbuatan melawan hukum tersebut karena hubungan kontraktual yang mengikat para pihak yang melakukan perjanjian sudah diatur dalam KUHPerdata apabila dalam hal perjanjiannya salah satu pihak melanggar dari adanya kontrak tersebut maka sama saja dengan melanggar kewajiban Undang-Undang yang sudah ditentukan.
ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN CAMPURAN DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERKAWINAN DAN HAK ASASI MANUSIA A. Melantik Rompegading; Ariadin; Mahfud As’ad
Iqtishaduna: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah Vol 6 No 3 (2025): April
Publisher : Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum Uin Alauddin Makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24252/iqtishaduna.v6i3.61804

Abstract

Abstrak Pada  praktiknya,  dalam  perkawinan  tidak  hanya  melibatkan manusia  seagama dan  satu  kewarganegaraan. Terdapat kasus-kasus dimana suami istri berasal dari latar belakang agama atau kewarganegaraan yang berbeda. Mereka berdalih atas nama demokrasi dan  Hak  Asasi Manusia  yang  dijadikan  dasar  dalam  membenarkan tindakan  mereka  melakukan  perkawinan campuran. Artkel ini bertujuan untuk menganalisis ketentuan hukum perkawinan campuran di Indoneisa mengekomodasi prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia dan mengetahui hambatan yuridis dan administrtatif yang dihadapi warga negara Indonesia dalam melangsungkan perkawinan campuran. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa:1. Ketentuan perkawinan campuran di Indonesia berdasarkan perpektif Hak Asasi Manusia termuat dalam Pasal 28B ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang berbunyi Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah dan diatur lebih jelas dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan. Selain itu, Indonesia juga mengakui hak untuk menikah sebagai hak dasar yang sejalan dengan perlindungan HAM; 2. Perkawinan campuran di Indonesia terkadang menghadapi hambatan, selain masalah administratif pasangan yang terlibat dalam perkawinan campuran sering kali menghadapi tantangan dalam hal akses terhadap hak sipil dan sosial. Misalnya, pasangan WNA mungkin tidak memiliki akses yang sama dengan pasangan WNI dalam hal hak waris, asuransi, atau hak-hak lainnya yang berhubungan dengan status perkawinan. anak dari pasangan yang terlibat dalam perkawinan campuran mungkin menghadapi status kewarganegaraan yang ambigu atau terbatas, tergantung pada kebijakan negara masing-masing. Meskipun Indonesia mengatur kewarganegaraan anak dalam UU Kewarganegaraan, masih ada tantangan terkait kewarganegaraan ganda, yang sering kali tidak diakui oleh hukum Indonesia. Kata Kunci : Perkawinan Campuran; Hak Asasi Manusi; WNA   Abstract In practice, marriage does not always involve individuals of the same religion or nationality. There are cases where husband and wife come from different religious or national backgrounds. They argue on the basis of democracy and human rights, using these principles to justify their decision to enter into a mixed marriage. This article aims to analyze whether the legal provisions on mixed marriages in Indonesia accommodate the principles of human rights and to identify the legal and administrative obstacles faced by Indonesian citizens in entering into mixed marriages. The results of this study show that; 1. The legal provisions on mixed marriage in Indonesia from a human rights perspective are reflected in Article 28B paragraph (1) of the 1945 Constitution, which states: "Everyone has the right to form a family and to procreate through a legal marriage." This is further regulated in Law Number 1 of 1974, as amended by Law Number 16 of 2019 concerning Marriage. In addition, Indonesia also recognizes the right to marry as a fundamental right consistent with the protection of human rights; 2Mixed marriages in Indonesia sometimes face obstacles. Aside from administrative issues, couples in mixed marriages often encounter challenges in accessing civil and social rights. For example, a foreign spouse (WNA) may not have the same access as an Indonesian citizen (WNI) spouse in matters such as inheritance rights, insurance, or other rights related to marital status. Children born to mixed-marriage couples may face ambiguous or limited citizenship status, depending on the policies of the respective countries. Although Indonesia regulates the citizenship of children in the Citizenship Law, challenges remain regarding dual citizenship, which is often not recognized under Indonesian law. Keywords: Mixed Marriage; Human Rights; Foreign Citizen
EFEKTIVITAS LANDASAN HUKUM EKONOMI DIGITAL INDONESIA: ANALISIS DISHARMONI REGULASI DALAM EKOSISTEM MARKETPLACE Ariadin; Mirwan
Iqtishaduna: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah Vol 6 No 3 (2025): April
Publisher : Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum Uin Alauddin Makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24252/iqtishaduna.v6i3.62483

Abstract

Abstrak Pertumbuhan pesat ekonomi digital Indonesia telah menciptakan lanskap bisnis yang dinamis, namun sekaligus menyoroti adanya disharmoni dalam kerangka regulasi yang ada. Artikel ini menganalisis inefektivitas payung hukum ekonomi digital Indonesia dengan membedah tumpang tindih dan kekosongan hukum antara Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), dan Undang-Undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Persaingan Usaha). Dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan kerangka teori sistem hukum Lawrence M. Friedman, penelitian ini mengidentifikasi disharmoni pada tiga level: struktur (tumpang tindih kewenangan lembaga), substansi (pasal-pasal yang tidak sinkron), dan kultur (kesenjangan literasi hukum). Dampak dari disharmoni ini, terutama bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dalam ekosistem marketplace, dianalisis secara mendalam, menyoroti praktik persaingan tidak sehat seperti self-preferencing dan penyalahgunaan data. Sebagai kebaruan (novelty), artikel ini mengusulkan sebuah kerangka harmonisasi regulasi yang komprehensif, mencakup pembentukan lex specialis ekonomi digital, gagasan lembaga pengawas tunggal (single digital regulator agency), dan pengenalan mekanisme transparansi algoritma sebagai instrumen hukum baru. Penelitian ini menyimpulkan bahwa harmonisasi regulasi adalah prasyarat mutlak untuk menciptakan ekosistem digital yang adil, inovatif, dan berdaya saing, seraya memberikan rekomendasi kebijakan yang terstruktur untuk jangka pendek, menengah, dan panjang. Kata Kunci : Ekonomi Digital, Harmonisasi Hukum, Persaingan Usaha, Perlindungan Data, UMKM, Marketplace   Abstract Indonesia's rapid growth of digital economy has created a dynamic business landscape, but at the same time highlights the disharmony in the existing regulatory framework. This article analyzes the ineffectiveness of Indonesia's digital economy legal umbrella by dissecting the overlap and legal vacuum between the Electronic Information and Transaction Law (UU ITE), the Personal Data Protection Law (UU PDP), and the Law on the Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition (UU Competencia Usaha (UU Competencia Usaha (UU Competencia Usaha (UU Competencia Usaha Nya). Using the normative juridical approach and the legal system theory framework of Lawrence M. Friedman, this study identifies disharmony at three levels: structure (overlapping authority of institutions), substance (articles that are out of sync), and culture (gap in legal literacy). The impact of this disharmony, especially for Micro, Small, and Medium Enterprises (MSMEs) in the marketplace ecosystem, is analyzed in depth, highlighting unfair competition practices such as self-preferencing and data misuse. As a novelty, this article proposes a comprehensive regulatory harmonization framework, including the establishment of a lex specialis digital economy, the idea of a single digital regulator agency, and the introduction of algorithmic transparency mechanisms as a new legal instrument. This study concludes that regulatory harmonization is an absolute prerequisite for creating a fair, innovative, and competitive digital ecosystem, while providing structured policy recommendations for the short, medium, and long term. Keywords: Digital Economy, Legal Harmonization, Business Competition, Data Protection, MSMEs, Marketplace