Sujatmoko, Andrey
Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta

Published : 22 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 22 Documents
Search

Hak atas Pemulihan Korban Pelanggaran Berat HAM di Indonesia dan Kaitannya dengan Prinsip Tanggung Jawab Negara dalam Hukum Internasional Sujatmoko, Andrey
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 2 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (635.338 KB)

Abstract

Salah satu karakteristik negara hukum mensyaratkan adanya perlindungan hak asasi manusia dan UUD 1945 menyatakan hal itu secara eksplisit. Oleh karena itu, pelanggaran berat HAM akan bertentangan dengan UUD 1945. Pelanggaran berat HAM seringkali meninggalkan masalah kemanusiaan, antara lain berupa korban dalam skala besar yang lazimnya baru dapat teridentifikasi setelah pelanggaran berakhir dan hal itu pun terjadi di Indonesia. Hingga saat ini Indonesia masih abai terhadap para korban, meskipun sesungguhnya mereka memiliki hak atas pemulihan yang dijamin hukum internasional. Berdasarkan prinsip tanggung jawab negara, Indonesia secara hukum wajib melakukan pemulihan terhadap para korban. Langkah pemulihan dapat diawali dengan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Melalui kewenangannya, KKR dapat melakukan identifikasi dan investigasi para korban, lalu mempublikasikan hasil serta memberikan rekomendasi kepada pemerintah terkait model pemulihan berupa kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi bagi para korban. Pemberian sejumlah uang, pengembalian hak, kedudukan, pekerjaan dan pelayanan kesehatan gratis adalah beberapa langkah konkretnya. Di samping itu, negara harus melakukan proses hukum terhadap para pelaku utama yang terkait. The Right to Reparation of Gross Violations of Human Rights Victims in Indonesia and Its Relation with the Principle of State Responsibility in International Law AbstractThe existing protection of human rights is one of the characteristic of rule of law and it is explicitly stated in the Indonesian Constitution 1945. Accordingly, gross violations of human rights will be incompatible with the said Constitution. Gross violations of human rights have frequently left humanitarian problems behind such as victims in a large scale which commonly could only be identified when the violation ended, this problem has also occurred in Indonesia. Until today, those victims have been ignored by Indonesia, although they have the right to reparation which is guaranteed by international law. Based on the principle of state responsibility, Indonesia has legal obligation to conduct reparation to the victims concerned. The measure of reparation can be started by establishing the Truth and Reconciliation Commission. Through its competence, TRC will be able to conduct identification and investigation for the victims, to publish the result, and also to address recommendation to the government regarding the reparation models, such as compensation, restitution, and rehabilitation to the victims. Granting sum of money; reestablishing right, status, employment and free health service are some practical measures of reparation. Furthermore, the government should also conduct judicial process to the main perpetrators concerned.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v3n2.a6
PEMULIHAN (REPARATIONS) KORBAN PELANGGARAN BERAT HAK ASASI MANUSIA DI ARGENTINA DAN CILE Andrey Sujatmoko
Asy-Syari'ah Vol 19, No 2 (2017): Asy-Syariah
Publisher : Faculty of Sharia and Law, Sunan Gunung Djati Islamic State University of Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15575/as.v19i2.4368

Abstract

AbstractReparation is an integral part of state responsibility for the past of gross human rights violations committed in any country and it is also legal obligation under international law. Those violations have ever committed in Argentina (1976-1983) and Chile (1973-1990) during the military dictatorship regime. The applied method in this study is descriptive-analytic with historical approach to the reparation efforts for the victims of the past gross human rights violations in those countries. The author concludes that the characteristic of the gross human rights violations committed in Argentina and Chile can be categorized as crime against humanity based on the Rome Statute 1998. Reparations programs by fullfiling economic and social rights of the victims of gross human rights violations have been done by both countries as well.  Keywords: Reparation, Victim, Violation AbstrakPemulihan adalah bagian integral dari tanggung jawab negara atas pelanggaran berat HAM masa lalu yang terjadi di dalam suatu negara dan hal itu juga merupakan kewajiban hukum menurut hukum internasional. Pelanggaran-pelanggaran tersebut pernah terjadi di Argentina (1976-1983) dan Chile (1973-1990) selama rezim diktator militer berkuasa. Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah deskriptif analitis dengan pendekatan historis terhadap upaya upaya-upaya pemulihan terhadap para korban pelanggaran berat HAM masa lalu di kedua negara tersebut. Penulis menyimpulkan bahwa karakteristik pelanggaran berat HAM yang terjadi di Argentina dan Cile dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan berdasarkan Statuta Roma 1998. Program-program pemulihan dengan memenuhi hak-hak ekonomi dan sosial dari para korban pelanggaran juga telah dilakukan oleh kedua negara itu. Kata Kunci: Pemulihan, Korban, Pelanggaran
Hak atas Pemulihan Korban Pelanggaran Berat HAM di Indonesia dan Kaitannya dengan Prinsip Tanggung Jawab Negara dalam Hukum Internasional Andrey Sujatmoko
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 2 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (635.338 KB)

Abstract

Salah satu karakteristik negara hukum mensyaratkan adanya perlindungan hak asasi manusia dan UUD 1945 menyatakan hal itu secara eksplisit. Oleh karena itu, pelanggaran berat HAM akan bertentangan dengan UUD 1945. Pelanggaran berat HAM seringkali meninggalkan masalah kemanusiaan, antara lain berupa korban dalam skala besar yang lazimnya baru dapat teridentifikasi setelah pelanggaran berakhir dan hal itu pun terjadi di Indonesia. Hingga saat ini Indonesia masih abai terhadap para korban, meskipun sesungguhnya mereka memiliki hak atas pemulihan yang dijamin hukum internasional. Berdasarkan prinsip tanggung jawab negara, Indonesia secara hukum wajib melakukan pemulihan terhadap para korban. Langkah pemulihan dapat diawali dengan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Melalui kewenangannya, KKR dapat melakukan identifikasi dan investigasi para korban, lalu mempublikasikan hasil serta memberikan rekomendasi kepada pemerintah terkait model pemulihan berupa kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi bagi para korban. Pemberian sejumlah uang, pengembalian hak, kedudukan, pekerjaan dan pelayanan kesehatan gratis adalah beberapa langkah konkretnya. Di samping itu, negara harus melakukan proses hukum terhadap para pelaku utama yang terkait. The Right to Reparation of Gross Violations of Human Rights Victims in Indonesia and Its Relation with the Principle of State Responsibility in International Law AbstractThe existing protection of human rights is one of the characteristic of rule of law and it is explicitly stated in the Indonesian Constitution 1945. Accordingly, gross violations of human rights will be incompatible with the said Constitution. Gross violations of human rights have frequently left humanitarian problems behind such as victims in a large scale which commonly could only be identified when the violation ended, this problem has also occurred in Indonesia. Until today, those victims have been ignored by Indonesia, although they have the right to reparation which is guaranteed by international law. Based on the principle of state responsibility, Indonesia has legal obligation to conduct reparation to the victims concerned. The measure of reparation can be started by establishing the Truth and Reconciliation Commission. Through its competence, TRC will be able to conduct identification and investigation for the victims, to publish the result, and also to address recommendation to the government regarding the reparation models, such as compensation, restitution, and rehabilitation to the victims. Granting sum of money; reestablishing right, status, employment and free health service are some practical measures of reparation. Furthermore, the government should also conduct judicial process to the main perpetrators concerned.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v3n2.a6
VICTIM’S REPARATIONS OF THE 1965-1966 GROSS HUMAN RIGHTS VIOLATIONS IN PALU CITY Andrey Sujatmoko
Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Vol 32, No 1 (2020)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jmh.39649

Abstract

AbstractThe Vienna Declaration and Program of Actions (VDPA)1993 recommends that each state consider the desirability of drawing up a national action plan of human rights. In Indonesia, it is reflected in “Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia/RANHAM” and “Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Daerah/RANHAMDA” or the Indonesia National and Local Plan of Action on Human Rights. The best practice of the Local Plan of Action on Human Rights has conducted by the Local Government of Palu City-Central Sulawesi concerning the victim reparations of the 1965-1966 case as the past gross human rights violations that occurred in Palu City. The said reparations have implemented through economic and social programs as non-judicial reparations. This article will analyze the victim reparations of the past gross human rights violations of the 1965-1966 case in Palu City conducted by the Local Government of Palu City-Central Sulawesi.IntisariDeklarasi Wina dan Program Aksi tahun 1993 merekomendasikan bahwa tiap-tiap negara mempertimbangkan keinginannya untuk menyusun suatu rencana aksi nasional hak asasi manusia. Di Indonesia, hal itu direfleksikan di dalam Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) dan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Daerah (RANHAMDA). Praktik terbaik RANHAMDA telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kota Palu-Sulawesi Tengah mengenai pemulihan korban kasus 1965-1966 sebagai pelanggaran berat Hak Asasi Manusia masa lalu yang terjadi di Kota Palu. Pemulihan tersebut telah diimplementasikan melalui program-program ekonomi dan sosial sebagai pemulihan yang bersifat non-yudisial. Artikel ini akan menganalisis pemulihan korban pelanggaran berat HAM masa lalu pada kasus 1965-1966 di Kota Palu yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kota Palu-Sulawesi Tengah.
KONVENSI DEN HAAG 1907 MENGENAI ALAT DAN CARA BERPERANG Andrey Sujatmoko
terAs Law Review : Jurnal Hukum Humaniter dan HAM Vol. 1 No. 1 (2005): Jurnal Hukum Humaniter
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1536.013 KB) | DOI: 10.25105/teras-lrev.v1i1.5393

Abstract

Konferensi Perdamaian dan Konvensi Den Haag 1907 Salah satu ketentuan hukum yang sangat penting dalam hukum humaniter adalah hukum yang mengatur tentang alat (means) dan cara (methods) berperang sebagaimana yang diatur di dalam Konvensi Den Haag tahun 1899 dan 1907. Konvensi terse but merupakan hasil dari Konferensi Perdamaian I (First Peace Conference) yang diselenggarakan selama dua bulan (dibuka tanggal 20 Mei 1899) dan Konferensi Perdamaian II (Second Peace Conference) yang diselenggarakan pada tanggal 15 Juni18 Oktober 1907. Kedua konferensi tersebut diadakan di Den Haag, Beland a.
PENGADILAN CAMPURAN ("HYBRID TRIBUNAL") SEBAGAI FORUM PENYELESAIAN ATAS KEJAHATAN INTERNASIONA Andrey Sujatmoko
terAs Law Review : Jurnal Hukum Humaniter dan HAM Vol. 3 No. 5 (2007): Jurnal Hukum Humaniter
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1953.338 KB) | DOI: 10.25105/teras-lrev.v3i5.5418

Abstract

Pada saat ini telah dikenal berbagai bentuk penyelesaian melalui forum pengadilan internasional terhadap sejumlah kejahatankejahatan yang tunduk di bawah yurisdiksi hukum internasional (crimes under international law). Kejahatan-kejahatan tersebut antara lain: kejahatan terhadap kemanusiaan, genocide dan kejahatan perang. Pengadilan internasional tersebut dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB maupun berdasarkan perjanjian internasional, misalnya: International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia, International Criminal Tribunal for Rwanda, serta International Criminal Court. Namun, dewasa ini dikenal pula pengadilan campuran (hybrid tribunaf) yang sebenarnya merupakan pengadilan nasional yang diinternasionalisasi (internationalized domestic tribunal). Pengadilan ini merupakan perkembangan baru untuk menyelesaikan kasus-kasus yang terkait dengan kejahatan-kejahatan di atas. Artikel ini akan membahas masalah pengadilan campuran tersebut
STATE RESPONSIBILITY AND VICTIM’S REPARATIONS IN INDONESIA: THEORY OF LAW PERSPECTIVE Andrey Sujatmoko
terAs Law Review : Jurnal Hukum Humaniter dan HAM Vol. 1 No. 1 (2019): terAs Law Review
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (343.452 KB) | DOI: 10.25105/teras-lrev.v1i1.5993

Abstract

Gross human rights violations are an internationally wrongful act which entails responsibility to the wrongdoer state to conduct reparations. Based on the principle of state responsibility, the said obligation appears because thr wrongdoer state has already breached an international obligation under international law. Indonesia still has the past gross human rights violations cases that were not settled yet, including the reparations issue of its victims. This article will analyse state responsibility theory, lawstate theory, and development law theory as the theory of law to explain legal obligation of state to conduct reparations toward the victims of the said violations.
HUBUNGAN TALIBAN DAN CINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL (The Taliban and China Relations in International Law Perspective) M. Reza Syariffudin Zaki; Andrey Sujatmoko
terAs Law Review : Jurnal Hukum Humaniter dan HAM Vol. 3 No. 1 (2021): Mei 2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (285.629 KB) | DOI: 10.25105/teras-lrev.v3i1.10745

Abstract

Sejak Taliban pimpinan Haibatullah Akhundzada menguasai Afghanistan pada pada 15 Agustus yang lalu, Cina tampaknya menjadi negara yang paling intens bekerjasama  dengan rezim yang berkuasa secara de facto itu. Berbeda dari negara-negara Barat yang cenderung mengambil jarak, tampaknya Cina mengambil sikap sebaliknya yang lebih akomodatif terhadap Taliban. Di sisi lain, pemerintahan Taliban sebagai rezim de facto yang sekarang berkuasa juga ingin menunjukkan citra baru dan berbeda dengan Taliban sebelumnya yang secara notorious berkuasa dengan brutal dalam kurun waktu 1996-2001 di bawah pimpinan Mohammad Omar. Tulisan ini akan membahas mengenai hubungan antara Cina dan Taliban menurut hukum internasional, kemudian soal pengakuan internasional terhadap pemerintahan Taliban di Afghanistan.              
HAK ATAS KESEHATAN MASYARAKAT ADAT DI MASA PANDEMI COVID-19 (The Right to Health of Indigenous People during the Covid-19 Pandemic) Andrey Sujatmoko
terAs Law Review : Jurnal Hukum Humaniter dan HAM Vol. 2 No. 2: November 2020
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (375.815 KB) | DOI: 10.25105/teras-lrev.v2i2.10767

Abstract

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan keadaan darurat kesehatan pandemi Covid-19 pada Februari 2020. Menyusul sebulan kemudian Indonesia juga mengumumkan hal yang sama pasca merebaknya pandemi Covid-19 di tanah air. Seluruh kelompok masyarakat tanpa terkecuali telah terdampak pandemi itu, termasuk masyarakat adat sebagai bagian integral bangsa Indonesia. Terkait dengan hal itu, hak atas kesehatan (right to health) adalah salah satu hak asasi manusia (HAM) yang paling terdampak selama pandemi Covid-19. Terlebih lagi, masyarakat adat selama ini masih termarginalisasi dalam berbagai hal, salah satunya adalah tekait dengan kesehatan. Tulisan ini akan membahas tentang pemenuhan hak atas kesehatan masyarakat adat pada masa pandemi Covid-19 oleh pemerintah Indonesia.
PRAKTIK PENJUALAN PENGANTIN ANAK DI AFGANISTAN MENURUT PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK Elya Almadinatulmunawaroh; Andrey Sujatmoko
Reformasi Hukum Trisakti Vol. 5 No. 1 (2023): Reformasi Hukum Trisakti
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25105/refor.v5i1.15218

Abstract

Children as a vulnerable group have the right to receive protection by the state, one of which is Afghanistan. In Afghanistan there have been several cases of selling exploitative children. The formulation of the problem in this research is how the efforts have been made by the Afghan government in dealing with the practice of selling child brides in Afghanistan according to the Convention on the Rights of the Child. The research method used in this study is normative juridical and descriptive-analytical in nature, the source of which is secondary data which is analyzed qualitatively, and conclusions are drawn using deductive methods. The conclusion in this study is that the act of selling child brides in Afghanistan is a practice of selling children which is prohibited according to the Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child regarding the Sale of Children, Child Prostitution, and Child Pornography. The efforts that have been made by the Afghan government have ratified the relevant legal provisions, but law enforcement against a number of cases of selling child brides is still not firm and has not been carried out in accordance with applicable law.