Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Dikabulkannya Permohonan Cerai Talak oleh Hakim Pengadilan Agama (Studi Putusan Nomor 1884/Pdt.G/2022/PA.Sby) Khoirotun Nisa’; Ayu Wulandari; Widia Ari Susanti
Al-Qadlaya : Jurnal Hukum Keluarga Islam Vol. 3 No. 02 (2024): Al-Qadlaya
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Islam Miftahul Ulum Lumajang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55120/qadlaya.v3i02.1891

Abstract

Penelitian ini mengangkat judul tentang Faktor-Faktor Yang Mempengaaruhi Dikabulkannya Permohonan Cerai Talak oleh Hakim Pengadilan Agama (Studi Putusan Nomor 1884/Pdt.G/2022/PA.Sby) Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor yang melatarbelakangi dikabulkannya cerai talak oleh Hakim dan mengetahui lebih jauh pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara pemohonan cerai talak pada Putusan Pengadilan Agama Surabaya Nomor 1884/Pdt.G/2022/PA.Sby). Metode penelitian yang diterapkan dalam studi ini adalah penelitian hukum normatif dengan fokus pada perundang-undangan. Bahan hukum dalam penelitian ini bersumber dari Putusan Pengadilan Agama Surabaya Nomor 1884/Pdt.G/2022/PA.Sby dan buku-buku serta karya tulis lainnya yang terkait dengan penelitian ini. Dalam penelitian ini, data dikumpulkan menggunakan teknik studi dokumen, sementara analisis data dilakukan dengan metode deskriptif. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan cerai talak dalam Putusan Pengadilan Agama Surabaya No. 1884/Pdt.G/2022/PA.Sby adalah sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 39 ayat 2 dari Undang-Undang Perkawinan No.4 Tahun 1974 bersamaan dengan Pasal 19 huruf (f) dari Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, dan Pasal 116 huruf f dari Kompilasi Hukum Islam. yakni adanya faktor-faktor sebagai berikut: (1) Konflik dan pertengkaran yang berlangsung secara berkelanjutan dan sulit didamaikan disebabkan isteri tidak menghormati orangtua suami, berani bahkan membentak orangtua suami, tidak taat dan tidak menghormati suami. (2) Permasalahan ekonomi yakni isteri menuntut nafkah melebihi kemampuan suami (3) isteri tidak melaksanakan kewajibannya sebagai isteri yakni tidak mau melayani suami;
Poligami Dalam Pandangan Syahrur: Polygamy in Syahrur's View Widia Ari Susanti; M. Sifa Fauzi Yulianis
Jurnal Kolaboratif Sains Vol. 8 No. 1: Januari 2025
Publisher : Universitas Muhammadiyah Palu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56338/jks.v8i1.6702

Abstract

Menurut Muhammad Syahrur, seorang tokoh pemikir Islam kontemporer dari Syria, upaya perjuangan pembebasan perempuan tidak boleh berhenti dengan meninggalnya Nabi Muhammad SAW. Poligami yang terjadi di masa lampau tidak boleh dianggap sebagai sebuah ajaran normatif yang harus dilakukan dan diikuti. Namun, jika poligami harus dilakukan, Syahrur memberikan batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar oleh seorang pelaku poligami. Fokus pembahasan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana konsep poligami Muhammad Syahrur, metodelogi istinbath hukum Syahrur, dan latar belakang kehidupan Syahrur sehingga memiliki orientasi pemikiran yang demikian. Penelitian ini masuk kategori penilian kepustakaan (library research), yaitu penelitian dengan mengumpulkan data mengenai konsep poligami Muhammad Syahrur untuk kemudian mendiskripsikan dan menganalisisnya secara bersamaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Muhammad Syahrur meiliki latar belakang pendidikan teknik, khususnya di tehnik pertanahan. Atas dasar itulah metodelogi istinbath hukum yang digunakan oleh Syahrur adalah teori batas (limit theory), sehingga memunculkan konsep poligami bahwa dalam praktek poligami ada batasan-batasan yang harus terpenuhi yakni batasan kuantitas, minimal 1 orang isteri dan maksimal 4 orang isteri, serta batasan kualitas yakni pelaku poligami harus bisa berbuat adil pada isteri-isterinya dan perempuan yang dipoligami harus janda yang ditinggal mati oleh suaminya sekaligus memiliki anak yatim yang belum baligh. Sedangkan ketika diterapkan pada kehidupan masyarakat Indonesia memiliki banyak kelemahan baik dari sisi hukum maupun dari sisi sosio kultural masyarakat Indonesia.
Monogami, Poligami dan Perceraian (Menurut Hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia): Monogamy, Polygamy and Divorce (According to Islamic Law and Legislation in Indonesia) M. Sifa Fauzi Yulianis; Widia Ari Susanti
Jurnal Kolaboratif Sains Vol. 8 No. 1: Januari 2025
Publisher : Universitas Muhammadiyah Palu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56338/jks.v8i1.6802

Abstract

Pada hakikatnya, berdasarkan ketentuan Undang-Undang Perkawinan, salah satu asas perkawinan adalah monogami, artinya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, dan begitu pula sebaliknya. Namun, karena Syariat Islam membolehkan, maka negara memberikan ruang untuk dapat menjalankan poligami, tentunya dengan persyaratan yang sangat ketat dan harus mendapatkan izin dari pengadilan serta mendapat persetujuan dari isteri pertama. Selain itu, ada ketentuan bahwa poligami bisa dilakukan manakala isteri sakit parah yang tidak ada harapan sembuh sehingga tidak bisa melayani lahir batin suaminya, atau isteri tidak bisa memberikan keturunan, sedangkan persyaratan dari pihak suami, selain harus memiliki kemampuan financial yang memadai, juga harus bisa berbuat adil. Poligami dalam Islam adalah sebuah solusi bagi kondisi darurat yang membuat harus berbuat demikian. Namun saat ini banyak kelompok maupun individu yang salah kaprah dalam memahami makna dari poligami. Ada beberapa alasan dari pemikiran yang menyimpang terjadi poligami saat ini di antaranya anggapan bahwa melakukan poligami karena mengikuti apa yang dilakukan Nabi Muhammad dan menganggap itu termasuk sunah rasul yang harus diikuti, padahal jelas Beliau melakukan poligami bukan dengan alasan biologis seperti yang kebanyakan terjadi saat ini. Kemudian penafsiran firman Allah yang tidak sepenuhnya, banyak orang yang tidak memahami sebab turunnya firman Allah tersebut. Selain itu, alasan lain juga karena jumlah perempuan yang lebih banyak dari laki-laki, padahal setelah diteliti ternyata jumlah laki-laki dan perempuan di dunia ini beda sedikit sekali. Untuk itu, salah satu upaya untuk menghindari perempuan dari upaya poligami adalah dengan membuat perempuan berdaya disegala bidang khususnya dalam bidang ekonomi. Jika perempuan berdaya secara financial, maka ia akan mampu menolak poligami dan akan lebih memilih bercerai. Berbeda halnya dengan perempuan yang lemah secara ekonomi, maka dia lebih memilih dipoligami dari pada harus diceraikan, mengingat selama ini dia sangat bergantung secara ekonomi terhadap suaminya, sehingga dia tidak tahu harus memenuhi kebutuhan hidupnya dengan apa jika diceraikan suaminya.
Sosialisasi Undang-Undang PKDRT dan Undang-Undang Perlindungan Anak terhadap Warga Binaan Rutan Kelas I Surabaya sebagai Upaya Preventif dan Represif dalam Mencegah Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Widia Ari Susanti; M. Sifa Fauzi Yulianis
Karya Nyata : Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat Vol. 2 No. 2 (2025): Juni : Karya Nyata : Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat
Publisher : Lembaga Pengembangan Kinerja Dosen

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62951/karyanyata.v2i2.1348

Abstract

Socialization of the Law is not only the government's obligation, but the obligation of all of us. Socialization of the Law serves to introduce the public to the applicable Law, because often the public does not know that their actions are against the law and beyond the limits of their authority. The socialization of the Law this time was carried out in the Class I Detention Center in Surabaya, namely the Medaeng Waru Sidoarjo Detention Center. The form of this activity is to provide legal counseling and introduce the PKDRT Law and the Child Protection Law to the inmates of the Class I Surabaya Detention Center, all of whom are men. Because the perpetrators of violence against women and children have been dominated by men, this activity is considered a targeted activity, considering that so far the socialization of the PKDRT and Child Protection Law has been carried out more often against women, so that they are aware of the law and do not become victims of violence. Meanwhile, this activity is expected to be able to be a preventive and repressive action so that not many men become perpetrators of violence. So that this activity becomes a balancing act so that the socialization of the PKDRT Law and the Child Protection Law is not only aimed at women as parties who are vulnerable to experiencing (becoming victims) of violence, but also to men who are also vulnerable to becoming perpetrators of violence. After this activity, it is hoped that the participants of this legal socialization (counseling) will become closer to the PKDRT Law and the Child Protection Law so that they can later become good husbands, good fathers, and good men who can protect their wives' children from violence.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Tinjauan Hukum Positif Dan Hukum Islam: Domestic Violence in the Review of Positive Law and Islamic Law M. Sifa Fauzi Yulianis; Widia Ari Susanti
Jurnal Kolaboratif Sains Vol. 8 No. 6: Juni 2025
Publisher : Universitas Muhammadiyah Palu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56338/jks.v8i6.7787

Abstract

Betapa banyak isteri yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga oleh suaminya sendiri, wajahnya disiram air keras oleh suaminya. Fenomena kekerasan yang dialami perempuan dalam rumah tangga ini, tentunya bagaikan fenomena gunung es, oleh karena sangat sedikit masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) mampu dikuak oleh perempuan. Perempuan lebih suka menyimpan kekerasan yang dialaminya, dari pada menceritakan atau melaporkan tindak pidana yang dialaminya ke kantor polisi, karena perempuan menganggap itu adalah aib keluarga yang tak boleh seorangpun mengetahuinya, terkecuali dia dan suaminya, anak-anaknyapun ia posisikan untuk tidak mengetahui kekerasan yang telah dialaminya. Peraturan perundang-undangan di Indonesia, telah mencatat kekerasan dalam rumah tangga sebagai sebuah tindakan kriminal yang layak untuk dipertanggung jawabkan dan dipidana, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2004. Pasal 1 Udang-Undang tersebut menyatakan bahwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan (penderitaan) secara fisik, psikis, seksual dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Dengan demikian, kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya berupa kekerasan fisik, namun juga psikis, ekonomi dan seksual. Pasal 6 UU PKDRT menyebutkan bahwa kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Terhadap kekerasan dimaksud UU menjerat pelaku dengan pidana penjara 5 tahun atau denda 15 juta rupiah, namun apabila luka yang ditimbulkan berat maka dijerat dengan pidana penjara 10 tahun atau denda 30 juta rupiah (pasal 44 UU-PKDRT). Sedangkan yang dimaksud dengan kekerasan psikis menurut pasal 7 UU tersebut adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, ketidakberdayaan dan atau penderitaan psikis berat. Terhadap pelaku kekerasan psikis dijerat dengan pidana penjara 3 tahun atau denda 9 juta rupiah (pasal 45 UU-PKDRT). Adapun kekerasan seksual menurut pasal 8 UU PKDRT adalah pemaksaan hubungan seksual terhadap orang yang tinggal serumah baik untuk diri sendiri maupun untuk tujuan komersil. Pelakunya dijerat dengan pidana penjara 20 tahun atau denda 500 juta rupiah (pasal 48 UU-PKDRT). Sedangkan yang dimaksud dengan kekerasan ekonomi menurut pasal 9 UU tersebut adalah menelantarkan orang dalam ruang lingkup rumah tangganya, padahal ia berkewajiban atas kehidupan, perawatan dan pemeliharaan orang tersebut. Pelaku kekerasan ekonomi ini dijerat dengan pidana penjara selama 3 tahun atau denda 15 Juta rupiah (pasal 49 UU-PKDRT). Sedangkan dari sisi hukum Islam, Islam melarang suami melakukan kekerasan fisik kepada isterinya, sebagaimana sebuah hadist riwayat Abu Dawud dari Iyas bin Abdillah bin Abi Dzubab, Nabi melarang para suami memukul isterinya. Islam juga melarang umatnya melkaukan kekerasan psikis sebagaimana Quran Surat al-Thalaq ayat 6 : ”Tempatkanlah isterimu dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk kemudian menyempitkan hati mereka”. Dalam hal kekerasan ekonomi, Quran Surat Al-Baqarah ayat 233 mewajibkan suami untuk menafkahi isteri dan anaknya Dan kewajiban ayah adalah memberikan makan dan pakaian kepada ibu anaknya dengan cara yang baik. Sedangkan dalam hal kekerasan seksual, Islam mewajibkan umatnya menggauli isteri dengan cara yang maruf, sebagaimana Dalam hadist Nabi riwayat Abu Dawud dan Imam Turmudzi disebutkan :adalah terlaknat, suami yang mendatangi isterinya lewat anus.Janganlah kalian mendatangi isteri kalian lewat anus.
Pendampingan Magang dalam Rangka Meningkatkan Kompetensi Mahasiswa pada Pengadilan Agama Surabaya Widia Ari Susanti; M. Sifa Fauzi Yulianis
Jurnal Pengabdian Masyarakat Indonesia Sejahtera Vol. 3 No. 4 (2024): Desember: Jurnal Pengabdian Masyarakat Indonesia Sejahtera
Publisher : STAI YPIQ BAUBAU, SULAWESI TENGGARA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59059/jpmis.v3i4.2249

Abstract

Internship is a learning process and or work practice for students to develop themselves and increase their knowledge about the world of work. This program functions to introduce the world of work to students, as well as improve their competence in the theories that students have learned in lectures to then be applied in the world of work. This internship is carried out by students at the Surabaya Religious Court. The activities carried out include providing consultations and making lawsuits/applications at the posbakum, providing information about court procedures in the information section, further processing lawsuits/applications registered in the registration section, mediating the parties in the case in the mediation room, and finally observing the course of the trial in the courtroom including conducting trial simulations.