Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Perdarahan Subdural Pasien Cedera Otak Traumatik dengan Gagal Ginjal Kronis Maharani, Nurmala Dewi; Prihatno, MM Rudi; Fuadi, Iwan; Hamzah, Hamzah
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 11, No 3 (2022)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24244/jni.v11i3.507

Abstract

Pengelolaan anestesi pada kasus subdural hematom disertai penyakit ginjal kronis dengan riwayat hemodialisis memberikan permasalahan bagi ahli anestesi Perubahan hemodinamik perioperatif serta perubahan farmakodinamik dan farmakokinetik obat membuat manajemen perioperatif dan pemilihan regimen anestesi serta cairan harus dipertimbangkan intraoperatif terhadap efek penurunan fungsi ekskresi ginjal pada pasien penyakit gagal ginjal kronik dengan riwayat hemodialisa. Pasien laki-laki, 56 tahun dibawa ke instalasi gawat darurat mengalami penurunan kesadaran setelah kecelakaan lalu lintas sejak 1 hari yang lalu. Pasien dengan riwayat penyakit gagal ginjal kronis serta rutin hemodialisis tiap seminggu sekali. Pada pemeriksaan CT Scan kepala didapatkan hematom subdural di regio temporoparietal sinistra. Pasien preoperatif dilakukan hemodialisa tanpa menggunakan heparin. Diputuskan untuk dilakukan kraniotomi evakuasi dengan induksi anestesi dengan propofol 1 mg/kgbb, fentanyl 2 gr /kgbb, lidokain 1 mg/kgbb dan rocuronium 0.5 mg/kgbb. Pasien diintubasi dengan ETT 7,5 dilanjutkan rumatan anestesi dengan propofol 50 gr /kgbb/menit, fentanyl 2 gr/kg/jam dan rocuronium 5 gr/kg/menit. Monitoring standar elektrokardiografi, SpO2, dan arteri line. Setelah operasi pasien dirawat diruang intensif selama 3 hari. Pasien post operatif diberikan sedasi analgetik dengan dexmedetomidine 0,2- 0,7 gr /kg/jam
Tatalaksana Anestesi Pasien Adenoma Hipofisis dengan Riwayat Hipotiroid Maharani, Nurmala Dewi; Bisri, Dewi Yulianti; Umar, Nazaruddin
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 11, No 2 (2022)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (292.476 KB) | DOI: 10.24244/jni.v11i2.469

Abstract

Adenoma hipofisis merupakan tumor otak dengan gejala klinis tergantung hormon yang dihasilkan oleh sel tumor, ukuran, dan invasi lokal. Perempuan 50 tahun dengan adenoma hipofisis dengan riwayat hipotiroid. Pada pemeriksaan prabedah GCS E4M6V5, tekanan darah 114/76 mmHg, denyut nadi 81x/menit, pernafasan 18x/menit, dan saturasi 99%. Pada pemeriksaan fisik berat badan dan visus mata kanan menurun. Pemeriksaan fungsi tiroid kesan hipotiroid, lalu pasien diterapi levotiroksin natrium 100 g perhari tablet selama 14 hari sampai dengan eutiroid. Tatalaksana lanjutan yang dilakukan adalah kraniotomi reseksi adenoma hipofisis. Premedikasi hidrokortison 100 mg dan midazolam 0,1mg/kgbb intravena. Induksi propofol 1 mg/kgbb, fentanyl 2g/kgbb, rocuronium 1 mg/kgbb, lidokain 1 mg/kgbb dan propofol pengulangan dosis 0,5 mg/kgbb. Manitol diberikan 0,5 mg/kgbb dan dexamethason 10 mg. Rumatan anestesi sevoflurane 0,5% dan propofol 50100 g/kgbb/menit. Pasca operasi pasien di ICU diberikan dexmedetomidine 0,2 g/kgbb/jam dan suplemen steroid H-1 diberikan 25 mg hidrokortison setiap 12 jam. Pada H-2 diberikan 20 mg hidrokortison pagi hari dan 10 mg sore hari kemudian dapat dihentikan. Pasien dirawat di ICU 3 hari sebelum pindah ruang rawat biasa. Manajemen perioperatif adenoma hipofisis dengan riwayat hipotiroid adalah mengoptimalkan pra operasi pasien sehingga pasien mencapai eutiroid, menjaga stabilitas hemodinamik, mengoptimalkan oksigenasi serebral, mencegah serta mengatasi komplikasi.Anesthesia Management of Patient with Pituitary Adenoma with Hystory of HypothyroidismAbstractPituitary adenoma is a brain tumor has clinical symptoms depending on hormones produced by tumor cells, size, and local invasion. A 50-year-old woman with pituitary adenoma with history of hypothyroidism. On preoperative, GCS E4M6V5, blood pressure was 114/76 mmHg, pulse was 81x/minute, respiration was 18x/minute, and saturation was 99%. On physical examination, body weight and the visual acuity in the right eye decreased. Examination of thyroid function suggests hypothyroidism before surgery, patient was treated with levothyroxine sodium 100 g per day tablets for 14 days until euthyroid. The next treatment was resection craniotomy of the pituitary adenoma. Premedicated with hydrocortisone 100 mg and midazolam 0.1 mg/kg body weight. Induction propofol 1 mg/kg body weight, fentanyl 2 g/kg body weight, rocuronium 1 mg/kg body weight, lidocaine 1 mg/kg body weight and repeated doses of 0.5 mg/kg body weight propofol. Mannitol was given 0.5 mg/kgbw and dexamethasone 10 mg. Maintenance anesthesia with sevoflurane 0.5% and propofol 50-100 g/kgbw/min. Postoperative the patient in the ICU was given dexmedetomidine 0.2 g/kgbw/hour and steroid supplement day-1 was given 25 mg hydrocortisone every 12 hours. On day-2, 20 mg of hydrocortisone in the morning and 10 mg in the evening, then can be discontinued. The patient was admitted to the ICU for 3 days before moving to the ward. Perioperative management of pituitary adenoma with a history of hypothyroidism is optimizing preoperatively the patient reaches euthyroid, maintaining hemodynamics, optimizing cerebral oxygenation, preventing and treatment if there are complications.
Pengelolaan Anestesi pada Pasien yang dilakukan Eksisi Tumor Medula Spinalis Servikal 2-3 dengan Ventrikel Ekstra Sistole Maharani, Nurmala Dewi; Rachman, Iwan Abdul; Bisri, Dewi Yulianti; Sudadi, Sudadi; Saleh, Siti Chasnak
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 10, No 2 (2021)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3511.729 KB) | DOI: 10.24244/jni.v10i2.354

Abstract

Penyakit yang mengakibatkan kompresi medulla spinalis dapat mengakibatkan iritasi pada sistem saraf otonom. Hiperinervasi saraf simpatis berisiko tinggi pada aritmia ditandai adanya perubahan pada elektrokardiografi, yakni perubahan durasi gelombang P, durasi QRS, depresi segmen ST, interval puncak gelombang T dan ventrikel ekstrasistol. Laki- laki 52 tahun dengan tumor intra-ektramedullar pada area cervikalis 2-3 dengan tetraparesis dan ventrikel ektrasistol dilakukan wide eksisi tumor dan stabilisasi posterior. Pemeriksaan fisik nadi 90 x/menit teraba tidak teratur. Elektrokardiogarfi (EKG) didapatkan hasil irama irreguler 82 x/menit, ventrikel ektrasistol 10 x/menit. Echocardiography menunjukkan disfungsi diastolik grade 3 preserved LV function. Sebelum operasi pasien diberikan terapi ventrikel ektrasistol dengan menggunakan analgetik dan amiodaron 150 mg (10 mL) pada 10 menit pertama, dilanjutkan dengan 360 mg (200 mg) untuk 6 jam selanjutnya, 540 mg untuk 18 jam berikutnya dan analgetik. Induksi anestesi dilakukan dengan midazolam 3 mg, fentanyl 200 mcg, lidokain 60 mg, propofol 100 mg, dan atricurium 30 mg serta intubasi manual in-line. Dilakukan pemasangan arteri line dan kateter vena sentral setelahnya pasien diposisikan prone. Pembedahan berlangsung 6 jam. Pasien dirawat di ICU 2 hari sebelum pindah ruang rawat biasa. Pemberian amiodarone sendiri dapat dipertimbangkan pada ventrikel ekstrasistol maligna yang memerlukan tatalaksana segera dengan pertimbangan hemodinamik pasien dalam keadaan stabil.Anesthesia Management for Cervical 2-3 Spinal Cord Tumor with Ventricles ExtrasystoleAbstractCompression of the spinal cord can cause irritation to the autonomic nervous system. Hyperinervation of sympathetic nerves at high risk for arrhythmias characterized by electrocardiographic results in changes in P-wave duration, QRS duration, ST-segment depression, T-wave peak interval, and ventricular extrasystole. A 52-year-old male with an intra-extramedullar tumor in cervical 2-3, tetraparesis, dysrhythmias, and ventricular extrasystole bigemini. Wide excision of tumor and posterior stabilization would be performed. The pulse was 90x/minute palpable irregularly. Electrocardiography examination revealed irregular rhythm 82 x/minute and ventricular extrasystole 10 x/minute. Echocardiography showed grade 3 diastolic dysfunction with preserved LV function. Before the procedure, the patient was given management for the dysrhythmia and ventricular extrasystole with analgetics and amiodaron 150mg (10ml) in the first 10 minutes followed by 360mg (200mg) for the next 6 hours, 540mg for the next 18 hours and analgetics. General anesthesia carried out with midazolam 3mg, fentanyl 200mcg, lidocaine 60mg, propofol 100mg, and atricurium 30mg, with manual intubation in-line. After arterial line and central venous catheter insertion, the patient was placed in the prone position. Surgery lasted for approximately 6 hours. The patient was treated in the ICU for 2 days before moving to the usual ward. Amiodarone can be considered in ventricular extrasystole requiring immediate treatment with stable hemodynamic.
Disfungsi Kognitif Post Operatif pada Geriatri Maharani, Nurmala Dewi; Halimi, Radian A; Mafiana, Rose; Gaus, Syaruddin
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 10, No 3 (2021)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (459.984 KB) | DOI: 10.24244/jni.v10i3.418

Abstract

Postoperative Cognitive Dysfunction (POCD) adalah gangguan neurokognitif yang ditandai dengan penurunan kinerja kognitif setelah operasi dan anestesi. POCD ditandai dengan gangguan memori, penurunan proses informasi, berkurangnya perhatian, serta perubahan suasana hati dan kepribadian. Insidensi POCD pada pasien lanjut usia ( 60 tahun) sekitar 25,8% dalam tujuh hari setelah operasi dan 10% dalam tiga bulan setelah operasi. Faktor risiko dan etiologi yang menyebabkan POCD dapat dikurangi dengan edukasi pasien yang baik, perawatan pasien, dan sanitasi yang tepat sehingga dapat mencegah kecenderungan gejala POCD pada pasien tersebut. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan tes pembelajaran kata, tes pembuatan Jejak, tes ketangkasan manual, dan tes kemampuan untuk mengingat urutan angka. Mini Mental State Examination (MMSE) sebagai tes untuk melakukan skrining demensia. MMSE terkadang digunakan untuk mengukur POCD. MMSE dapat digunakan dalam praktik klinis rutin untuk mengidentifikasi demensia subklinis pra operasi yang akan menempatkan pasien pada risiko yang lebih tinggi untuk berkembang menjadi POCD. Penatalaksanaan pada POCD meliputi dua pendekatan yaitu penegakkan diagnosis secara cepat dan pencegahan gejala POCD. Pencegahan dapat dilakukan dengan mengetahui faktor risiko preoperatif, intraoperatif, dan postoperatif. Pasien dengan POCD persisten mengalami dampak negatif pada kualitas hidup, kinerja memori subjektif, emosional, dan mungkin didapatkan konsekuensi kesehatan seperti demensia dan kematian dini.Post Operative Cognitive Dysfunction among Elderly PatientsAbstractPostoperative Cognitive Dysfunction (POCD) is a neurocognitive disorder characterized by decreased cognitive performance after surgery and anesthesia. POCD is a complication characterized by memory impairment, decreased information processing and reduced attention, accompanied by changes in mood and personality. The incidence of POCD in elderly patients ( 60 years) was approximately 25.8% within seven days after surgery and 10% within three months after surgery. The risk factors and etiology that lead to POCD can be reduced by good patient education, patient care and proper sanitation can prevent the tendency of POCD symptoms in these patients. Examination can be done with the learning test, the word learning test, the tracing test, the manual dexterity test, the ability test to remember a sequence of numbers. Mini Mental Status Examination (MMSE) as a screening test for dementia. MMSE is sometimes used to measure POCD. MMSE can be used in routine clinical practice to identify preoperative subclinical dementia that would put patients at a higher risk of developing POCD. Management in POCD includes two approaches, namely rapid diagnosis and prevention of POCD symptoms. Prevention by knowing the risk factors preoperative, intraoperative and postoperative. In patients with persistent POCD, it has a negative impact on quality of life, subjective memory performance, emotional symptoms, and possible health consequences such as dementia and premature death.