Subrata, Tedy
Unknown Affiliation

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Special Education is Required for Individuals Pursuing A Career as An Advocate, As Stated In Article 3, Paragraph (1), Letter F of The Republic of Indonesia Law Number 18 of 2003, Which Pertains to Advocates. Subrata, Tedy
Jurnal Legisci Vol 2 No 1 (2024): Vol 2 No 1 August 2024
Publisher : Ann Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62885/legisci.v2i1.397

Abstract

Special Education for the Advocate Profession (PKPA) is a requirement stipulated by the State Law of the Republic of Indonesia Number 18 of 2003 regarding Advocates. Special Education for the Advocate Profession is a mandatory program designed for those with a bachelor's degree and a foundation in law education. The socializing event had 30 prospective advocates and occurred on October 14, 2023, at the University of Tangerang Raya Tiga Raksa in Tangerang Regency. The Service Learning (SL) method aims to incorporate learning into the Special Education of the Advocate Profession (PKPA) or the collaboration between the National Leadership Council of the Indonesian Advocates Association (DPN PERSADIN) and the Faculty of Law, University of Tangerang Raya (UNTARA). Furthermore, the Participatory Action Research (PAR) methodology emphasizes explicitly the empowerment of individuals involved in the Special Education for the Advocate Profession (PKPA). This arises from the necessity to address legal issues inside the community. Volunteers from higher education institutions should prioritize the community as the primary agent of development and transformation. This activity aims to establish and promote advocacy, emphasizing that advocates are esteemed professionals who possess freedom, independence, and responsibility in upholding the law. The activities of this profession are legally safeguarded and protected to ensure the implementation of the Rule of Law.
TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP TRANSPORTASI LAUT Subrata, Tedy
Jurnal Ilmiah Hukum dan Keadilan Vol. 9 No. 1 (2022): Hukum Dan Keadilan
Publisher : STIH Painan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (469.062 KB) | DOI: 10.59635/jihk.v9i1.188

Abstract

Transportasi Laut menjadi salah satu pilihan transportasi masyarakat Indonesia, khususnya pada kebutuhan transportasi antar pulau, sebab angkutan laut banyak tersedia di pelabuhan-pelabuhan Indonesia, harga ekonomis, serta fasilitas yang cukup memadai. Namun, kondisi ini oleh oknum pengusaha angkutan laut tertentu justru dijadikan sebagai salah satu cara mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya tanpa mempertimbangkan keamanan dan keselamatan kapal dan penumpang. Pada beberapa kasus kecelakaan kapal, investigasi KNKT menemukan pelanggaran yang disebabkan oleh human error, seperti perawatan kapal yang buruk, fasilitas keselamatan yang kurang memadai, dan kapal beroperasi tanpa adanya Surat Perijinan Berlayar. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan oleh pejabat Negara dalam sektor Perhubungan Laut dengan meloloskan pelayaran kapal tanpa perijinan dan tanpa pengecekan ketat pada kondisi kapal, mesin, muatan, dan manifes penumpang, sehingga banyak pelanggaran angkutan kapal lolos dari pengawasan sehingga menyebabkan kecelakaan kapal. Hasil penelitian menunjukkan bahwasannya terdapat tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat Perhubungan Laut dengan melanggar Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 dan Pasal 3 tentang Merugikan Keuangan Negara dan Penyalahgunaan Kewenangan serta Pasal 5 tentang Suap Menyuap. Dalam perkara terpisah, syahbandar atau pengusaha angkutan laut juga dapat dikenakan pemidanaan apabila terbukti melakukan kelalaian atau kesalahan berupa kurangnya tindakan pada perawatan kapal, penyediaan fasilitas keselamatan kapal, dan kondisi kelaikan kapal sebelum berlayar menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Namun sayangnya, angkutan laut di Indonesia sangat kurang mendapatkan perhatian dan pengawasan sehingga banyak terjadi pelanggaran yang lepas dari kendali pemerintah pusat menyebabkan pelanggaran oleh syahbandar atau nahkoda atau pengusaha angkutan laut lepas dari bentuk tindakan pemidanaan.
ANCAMAN PIDANA BAGI MONEY POLITIC DALAM PEMILIHAN ANGGOTA LEGISLATIF TERHADAP KEBERLANGSUNGAN DEMOKRASI INDONESIA Subrata, Tedy
Jurnal Ilmiah Hukum dan Keadilan Vol. 9 No. 2 (2022): Hukum Dan Keadilan
Publisher : STIH Painan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (404.971 KB) | DOI: 10.59635/jihk.v9i2.247

Abstract

ngan dan kesejahteraan. Secara aturan pemilu adalah sarana perwujudan kedaulatan rakyat. Dengan jalan pemilu, legitimasi kekuasaan rakyat diwujudkan melalui penyerahan sebagian kekuasaan dan hak rakyat kepada wakilnya yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat baik tingkat Kota, Kabupaten, Provinsi, Pusat, Pemilu adalah suatu proses untuk melahirkan pemimpin yang adil, berintegritas, mengedepankan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Secara konseptual, pemilu adalah sarana perwujudan kedaulatan rakyat. Dengan jalan pemilu, legitimasi kekuasaan rakyat diwujudkan melalui penyerahan sebagian kekuasaan dan hak rakyat kepada wakilnya yang duduk di pemerintahan maupun parlemen.Tetapi, dalam faktanya, proses dalam pemilu banyak terjadi pelanggaran utamanya pada saat dilaksanakanya kampanye, Jenis pelanggaran kampanye yang sering terjadi dalam pemilihan umum adalah money politic. money politic termasuk tindakan penyimpangan dari kampanye yang bentuknya dengan cara memberikan uang kepada simpatisan ataupun masyarakat agar mereka agar mereka memilih kandidat tersebut pada saat diselenggarakanya pemilu, di Negara yang mengaut sistem demokrasi ini, maraknya money politik perlahan akan menggerus prinsip demokrasi itu sendiri, karena suara rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dapat ditebus dengan rupiah.
ANALISIS YURIDIS TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA DI TINJAU DARI KETENTUAN PASAL 340 KUHP: Pidana Pembunuhan Berencana Subrata, Tedy; Marwan, Caca; Djunaedi
Jurnal Pilar Keadilan Vol. 4 No. 2 (2025): Pilar Keadilan
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum, STIH Painan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK Indonesia menganut supremasi hukum sebagai garda terdepan untuk menuju welfare state (negara kesejahteraan) sebagaimana telah tertuang dalam Pembukaan Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea ke-4 (empat) yang mengamanatkan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia, dimana melindungi pula dari segi penegakan hukumnya. Dalam hal mewujudkan cita-cita tersebut, dalam bernegara perlulah di atur norma - norma atau kaidah-kaidah yang bersifat publik dan berlaku secara nasional sebagai mekanisme kontrol terhadap warga negaranya. Salah satu aturan yang bersifat publik tadi adalah aturan yang memuat tentang hukum pidana. Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah maka dapat dirumuskan masalah dengan pertanyaan penelitian sebagai berikut : Apakah Pelaku akan jera dalam kasus tindak pidana pembunuhan berencana? Apa pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara tindak pidana pembunuhan berencana ?. Metode penelitian yang dipergunakan mahasiswa fakultas hukum disesuaikan dengan rumusan dan sifat masalah penelitian masing-masing. Masalah penelitian yang bersifat normatif dapat diteliti dengan metode penelitian yuridis-normatif (yuridis-dogmatis). Metode penelitian merupakan cara untuk mencapai suatu tujuan. Dalam doktrin hukum pidana bentuk-bentuk keikutsertaan tersebut memiliki kedudukan peran yang berbeda-beda dalam melakukan tindak pidana. Akan tetapi meskipun saling berbeda perbuatan para pelaku tersebut saling melengkapi satu sama lain, yang tanpa perbuatan pelaku-pelaku tersebut tindak pidana tidak akan dapat diselesaikan. Dalam putusan nomor 1231/Pid.Sus/2019/Pn Tangerang Majelis hakim hanya menunut 1 terdakwa saja, di mana dituntut hukuman pidana penjara 20 tahun. Sedangkan untuk rekannya yaitu Rahmad Anggi Pangestu Alias Anggi Bin Adi Abdullah yang dalam fakta hukummya jelas-jelas ikut membantu terdakwa Edi Jajang Suryanto Als Edi Als Dados Bin Udin untuk melakukan tindak pidana pembunuhan tidak di tuntut dengan dakwaan yang sama yaitu tindak pidana pembunuhan berencana dengan tuntutan hukuman pidana penjara 20 tahun. Justru dalam persidangan berkas untuk Rahmad Anggi Pangestu dipisah dengan berkas penuntutan yang didakwakan oleh terdakwa Edi Jajang Suryanto. Bahwa di ketahui untuk Rahmad Anggi Pangestu di jadikan keterangan saksi dalam proses persidangan terdakwa Edi Jajang Suryanto. Berdasarkan uraian tentang ketentuan pasal 55 yang pada intinya adalah orang yang turut serta melakukan perbuatan pidana dapat dipidana sebagai pelaku tindak pidana, dengan adanya hukuman yg tidak adil dari keduanya, yaitu Rahmad hanya dijadikan saksi saja dan itu membuat pelaku pembantu tindak pidana tidak akan jera dalam hukuman tersebut. Majelis hakim dalam menjatuhkan putusan, agar lebih memperhatikan hal-hal apa yang menjadi pertimbangan dalam putusan terutama mengenai alat bukti dan ketentuan peraturan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga putusan yang dijatuhkan memberikan rasa keadilan bagi si korban.
RETURN OF STATE FINANCIAL LOSSES IN THE FORM OF COMPENSATION PAYMENTS BY CONVICTED CORRUPTION OFFENDERS Subrata, Tedy; Markuat, Markuat
Hukum Responsif Vol 16 No 1 (2025): Vol 16 No 1 February 2025
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Swadaya Gunung Jati

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33603/responsif.v16i1.9853

Abstract

This research aims to understand the legal policies regarding the restitution of state financial losses in the form of monetary compensation by convicted corruption offenders and to identify the efforts made by police investigators in addressing the challenges of recovering state financial losses in the form of monetary compensation by convicted corruption offenders. The method used in this research is qualitative, with a primary approach of normative juridical and supporting approaches of empirical juridical. The data sources used in this research were obtained from secondary data as the primary data and from primary data as the supporting data. Furthermore, the data were subsequently processed using qualitative methods. The research findings reveal that the classification of corruption crime penalties and fines has been regulated by Law No. 31 of 1999 concerning the Eradication of Corruption Crimes, which has since been amended by Law No. 20 of 2001. The amount of restitution and compensation is at most equal to the value of the assets obtained from the act of corruption. If the substitute money is not paid, the offender will be punished with additional fines that do not exceed the maximum limit of the principal penalty. Therefore, the compensation for the loss of the national currency is not optimal. The amount of compensation for state losses needs to be linked with the implementation of restitution and compensation for the assets/wealth of the perpetrators. The Asset Recovery Law needs to be established as a legal framework for the recovery of assets from corruption proceeds.