Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Penyuluhan Hukum: Hak-Hak Penyandang Disabilitas Terhadap Perbuatan Hukum Yang Berhubungan Dengan Harta Kekayaan di Tangerang Halim, Robbyson; Pangesti, Shinta; Susantijo, Susi; Baharini, Ely
ABDIMASKU : JURNAL PENGABDIAN MASYARAKAT Vol 7, No 2 (2024): MEI 2024
Publisher : LPPM UNIVERSITAS DIAN NUSWANTORO

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62411/ja.v7i2.2125

Abstract

Masih terjadinya stigma dan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas menandakan minimnya kesadaran hukum Masyarakat akan perlindungan yang diberikan pemerintah atas hak-hak yang mereka miliki. Bahkan, para penyandang disabilitas pun jarang memperoleh kesempatan untuk mendapatkan edukasi ataupun penyuluhan atas hak-hak mereka khususnya hak yang menyangkut harta kekayaan mereka. Hal ini yang mendorong Tim PkM untuk melakukan penyuluhan hukum pada hari Sabtu, tanggal 14 Oktober 2023 di Jalan Benteng Betawi 110, Poris Plawad Cipondoh, Kecamatan Tangerang, Kota Tangerang dengan Yayasan Difabel Mandiri Indonesia (YDMI) sebagai mitra dalam kegiatan ini. Metode penyuluhan hukum dilakukan dengan mempresentasikan materi, dilanjutkan sesi tanya jawab dan dibantu seorang juru bahasa isyarat dalam menerjemahkan kepada para peserta. Penyuluhan hukum yang dilakukan diharapkan dapat meningkatkan wawasan hukum dan kesadaran hukum para penyandang disabilitas akan hak-hak yang mereka miliki atas harta kekayaan mereka. Hasil dari kegiatan PkM ini adalah para penyandang disabilitas mampu mengetahui hak mereka atas harta kekayaan mereka. Para penyandang disabilitas juga memahami keterbatasan yang mereka miliki tidak menjadi penghambat atau penghalang dalam pelaksanaan hak mereka sehingga perlu ada bantuan dari para professional misalnya menghadirkan juru bahasa isyarat dalam melakukan suatu perbuatan hukum di hadapan Notaris dan/atau PPAT.
Fungsi Akta Perjanjian Kawin Terhadap Pihak Ketiga dalam Proses Perdata Menurut Hukum Pembuktian Baharini, Ely
Notary Journal Vol. 2 No. 1 (2022): April
Publisher : Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19166/nj.v2i1.5155

Abstract

In the establishment of a marriage or to make the Prenuptial Agreement, the provisions of the legislation governing this matter are required, and to guarantee and provide legal certainty to the parties who will make the Prenuptial Agreement. The Prenuptial Agreement can be made in authentic deed which is made before a Notary and/or made in underhand agreement. There are many problems in society related to wealth in marriage, between husband and wife, even though they have made the Prenuptial Agreement. In connection with this, the formulation of the problem that will be examined is how the functions of the Prenuptial Agreement deed in the civil proceedings according to the procedural law on evidence. The research used in this writing is the qualitative research using normative juridical methods, namely reviewing the extent to which the laws and regulations in Indonesia governing the Prenuptial Agreement are associated with problems in practice. Data is collected through literature studies, namely by finding, collecting and reviewing secondary data. The approach used is a conceptual approach, which is an approach used by reading theories to be used, related journals, legal books and views and doctrines to examine the problem being studied, in addition to the statutory approach which is an approach by analyzing laws and all related rules related to the problem being studied.  Based on the research, it can be concluded that the function of the Prenuptial Agreement deed against the third parties in civil proceedings according to the procedural law on evidence is as an authentic evidence tool. It is said to be an authentic deed interpreted to provide a full evidentiary force, so it does not require any kind of additional evidence. The Prenuptial Agreement Deed which made before the Notary is authentic evidence because it is made by or before the authorized officer for that, by fulfilling the conditions specified in the law. As authentic evidence, the deed is a binding evidence, so every words written in the deed must be trusted by the judge, must be considered that is true as long as the untruth cannot be proven.Bahasa Indonesia Abstrak: Dalam melangsungkan suatu perkawinan maupun untuk membuat Perjanjian Kawin diperlukan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang mengatur hal tersebut dan untuk menjamin serta memberi kepastian hukum kepada pihak-pihak yang akan membuat Perjanjian Kawin. Perjanjian Kawin dapat dibuat dengan akta otentik di hadapan Notaris dan/atau dibuat dengan akta di bawah tangan. Banyaknya persoalan di masyarakat terkait harta kekayaan dalam perkawinan, di antara suami isteri, walaupun mereka telah membuat Perjanjian Kawin. Sehubungan dengan hal tersebut maka rumusan masalah yang akan diteliti adalah bagaimana fungsi akta Perjanjian Kawin dalam proses acara perdata menurut hukum pembuktian. Penelitian yang digunakan di dalam penulisan ini adalah menggunakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode yuridis normatif, yaitu mengkaji sejauh mana peraturan perundang-undangan di Indonesia mengatur Perjanjian Kawin dikaitkan dengan permasalahan yang ada di dalam praktik. Cara perolehan data yang digunakan dengan studi kepustakaan, yaitu dengan mencari, mengumpulkan dan mengkaji data sekunder. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan konseptual (conceptual approach) yaitu pendekatan yang digunakan dengan membaca teori-teori yang akan dipakai, jurnal-jurnal terkait, buku hukum serta pandangan dan doktrin untuk mengkaji permasalahan yang sedang diteliti, selain itu juga dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) yaitu pendekatan dengan menganalisis undang-undang dan segala aturan terkait yang berkaitan dengan masalah yang sedang diteliti. Berdasarkan penelitian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa fungsi akta Perjanjian Kawin terhadap pihak ketiga dalam proses perdata menurut hukum pembuktian adalah sebagai alat bukti otentik. Dikatakan sebagai akta otentik diartikan memberikan suatu bukti yang sempurna sehingga tidak memerlukan suatu penambahan pembuktian lagi. Akta Perjanjian Kawin yang dibuat dihadapan Notaris merupakan alat bukti yang otentik karena dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu dengan memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam undang-undang. Sebagai alat bukti yang otentik maka akta tersebut merupakan alat bukti yang mengikat, apa yang ditulis dalam akta itu harus dipercayai oleh hakim, harus dianggap benar adanya selama ketidakbenarannya tidak dapat dibuktikan.
Kedudukan Akta PPAT Sebagai Alat Bukti Otentik Dalam Rancangan KUHAP Baharini, Ely
Notary Journal Vol. 5 No. 1 (2025): April
Publisher : Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19166/nj.v5i1.9945

Abstract

The Land Deed Official (PPAT) is a public official authorized to draw up authentic deeds as valid evidence in legal actions concerning land rights and apartment units. The role of the PPAT is highly strategic in supporting the national land registration program to ensure legal certainty and protection for rights holders. From a civil law perspective, PPAT deeds are recognized as authentic evidence with full and binding probative value unless proven otherwise. However, from a criminal law perspective, PPAT deeds are merely considered documentary evidence, which must be freely evaluated by judges and do not possess full probative value. This highlights a significant difference in the evidentiary power of PPAT deeds in civil versus criminal cases. This study adopts a normative juridical approach through literature review to analyze the legal position of PPAT deeds within Indonesia's evidentiary system. The findings indicate that in civil cases, PPAT deeds are authentic deeds with perfect evidentiary strength. In contrast, in criminal cases, PPAT deeds do not have absolute probative power. Although they fall under the category of valid documentary evidence as stipulated in Article 187 of the Indonesian Criminal Procedure Code (KUHAP) and Article 222 of the Draft Criminal Procedure Code (RUU KUHAP), their probative value must still be assessed alongside other types of evidence due to the negatief wettelijk stelsel principle, where criminal proof must be based on at least two valid pieces of evidence and the judge’s conviction. PPAT deeds are thus only part of the evidentiary process, not standalone or absolutely binding evidence. Their function is supportive and must be combined with other evidence to reveal the material truth fully and fairly. Bahasa Indonesia Abstract: Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) merupakan pejabat umum yang berwenang membuat akta autentik sebagai alat bukti sah dalam perbuatan hukum mengenai hak atas tanah dan satuan rumah susun. Peran PPAT sangat strategis dalam mendukung program pendaftaran tanah nasional guna menjamin kepastian dan perlindungan hukum bagi pemegang hak. Dalam perspektif hukum perdata, akta PPAT diakui sebagai alat bukti autentik yang memiliki kekuatan pembuktian sempurna dan mengikat selama tidak dibuktikan sebaliknya. Namun dalam perspektif hukum pidana, akta PPAT hanya dianggap sebagai alat bukti surat yang harus dinilai secara bebas oleh hakim dan tidak memiliki kekuatan pembuktian sempurna. Hal ini menandai perbedaan signifikan antara kekuatan pembuktian akta PPAT dalam perkara perdata dan dalam perkara pidana. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif melalui studi kepustakaan untuk menganalisis posisi hukum akta PPAT dalam sistem pembuktian Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam perkara perdata, akta PPAT merupakan akta autentik yang memiliki kekuatan pembuktian sempurna. Sedangkan dalam perkara pidana, akta PPAT tidak memiliki kekuatan pembuktian yang mutlak, meskipun termasuk dalam kategori alat bukti surat yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 187 KUHAP dan Pasal 222 RUU KUHAP. Kekuatannya tetap harus diuji bersama alat bukti lainnya karena adanya asas negatief wettelijk stelsel, di mana pembuktian pidana harus didasarkan pada minimal dua alat bukti sah serta keyakinan hakim. Akta PPAT hanya menjadi bagian dari proses pembuktian, bukan alat bukti yang berdiri sendiri dan mengikat secara mutlak, tetapi fungsinya bersifat pendukung dan perlu dikombinasikan dengan bukti lain untuk mengungkap kebenaran materiil secara utuh dan adil.
Penentuan Keabsahan Perkawinan Antar Warga Negara Indonesia Berbeda Agama yang Dilangsungkan di Luar Negeri Baharini, Ely
Notary Journal Vol. 5 No. 1 (2025): April
Publisher : Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19166/nj.v5i1.10007

Abstract

Interfaith marriage remains a complex legal issue in Indonesia due to the absence of clear and comprehensive regulations within the national legal system. The lack of explicit legal norms has created a legal vacuum, administrative confusion, and uncertainty regarding the legal status of couples intending to enter into interfaith marriages. This study aims to explore possible legal solutions to this regulatory gap, specifically by analyzing the legal framework governing interfaith marriage in Indonesia and examining the principles of Private International Law (PIL) as a potential means to determine the validity of such marriages under Indonesian law. The research adopts a normative-juridical method using statutory and conceptual approaches. Findings show that Indonesia lacks clear regulation on interfaith marriage, necessitating legal reform to ensure legal certainty for all citizens. One viable solution is conducting the marriage abroad, in accordance with Article 56 of Law No. 1 of 1974 on Marriage. However, this provision poses an issue of injustice for economically disadvantaged citizens, as it requires financial resources to marry abroad. Thus, Article 56 is seen as discriminatory and fails to ensure equal access to marriage for all Indonesians. In this context, the principle of lex loci celebrationis from Private International Law can be applied to validate marriages conducted abroad, provided the marriage certificate is registered within one year upon the couple’s return to Indonesia. Hence, PIL principles may serve as an alternative legal basis to address interfaith marriage issues in Indonesia. Bahasa Indonesia Abstract: Perkawinan beda agama hingga saat ini masih menjadi isu yang kompleks dalam sistem hukum Indonesia karena tidak adanya pengaturan yang eksplisit dan komprehensif dalam peraturan perundang-undangan. Ketidakhadiran norma yang jelas menciptakan kekosongan hukum, kebingungan administratif, serta ketidakpastian status hukum bagi pasangan yang ingin melangsungkan perkawinan beda agama. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji solusi hukum terhadap kekosongan tersebut, khususnya melalui analisis terhadap peraturan hukum nasional dan penerapan asas-asas Hukum Perdata Internasional (HPI) sebagai alternatif solusi. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis-normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Indonesia belum memiliki regulasi yang tegas mengenai perkawinan beda agama, sehingga negara perlu mengambil langkah untuk mengisi kekosongan hukum tersebut demi menjamin kepastian hukum bagi seluruh warga negara. Salah satu solusi yang dapat digunakan adalah melangsungkan perkawinan beda agama di luar negeri berdasarkan Pasal 56 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun demikian, ketentuan ini menimbulkan ketidakadilan bagi warga yang tidak mampu secara ekonomi, karena mengharuskan pelaksanaan perkawinan di luar negeri. Dalam hal ini, asas lex loci celebrationis dalam HPI dapat digunakan untuk menentukan keabsahan perkawinan yang dilakukan di luar negeri, dengan syarat pendaftaran dilakukan di Indonesia dalam waktu satu tahun sejak kembali. Dengan demikian, HPI dapat menjadi pijakan alternatif dalam menyelesaikan problematika perkawinan beda agama.
Same-Sex Marriage from the Perspective of Theology and Marriage Law Baharini, Ely
Notary Journal Vol. 5 No. 2 (2025): October
Publisher : Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19166/nj.v5i2.9944

Abstract

Same-sex marriage in Indonesia is still considered unacceptable by the wider community because it is considered contrary to national law, norms of decency, values of decency in social life, and religious teachings adopted by the majority of Indonesian people. In the view of Christian theology, the nature of marriage is not only a social institution, but also a picture of the sacred relationship between Christ and His church. God created human beings according to divine design as male and female, with the intention of forming a holy communion of life in the bond of marriage, as stated in Genesis 2:18 and 2:24. However, globalization and cultural change have sparked controversy over LGBT issues, including the legality and ethics of same-sex marriage, both in society and in the church. This study aims to examine the validity of same-sex marriage from the perspective of Indonesian positive law and provide a theological response based on the Christian faith. The research method used is a descriptive study with a literature approach, which examines legal sources and theological literature, including the Bible and recent academic references.  The results show that same-sex marriage is declared invalid according to Article 1 of the Marriage Law and Article 1320 of the Civil Code. Theologically, the practice is viewed as a sin and an abomination before God as written in Leviticus 18:22 and 20:13. Therefore, same-sex marriage has no basis of legitimacy legally or from the perspective of Christian ethics.