Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Policy Formulation of The Rechterlijk Pardon Concept (Judge's Forgiveness) In Traffic Accident Criminal Cases Nilvany Hardicky; Riadi Asra Rahmad; Heni Susanti
Journal of Law, Politic and Humanities Vol. 4 No. 6 (2024): (JLPH) Journal of Law, Politic and Humanities (September-October 2024)
Publisher : Dinasti Research

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38035/jlph.v4i6.683

Abstract

The concept of Rechterlijk Pardon (Judge's Forgiveness) is a new concept that was born in the RKUHP, where Judges are given the authority to forgive perpetrators of criminal acts even if they are proven guilty. The aim of this research is to find out how the concept of Rechterlijk Pardon (Judge's Forgiveness) is used in criminal traffic accidents. The main problem in this research is how to apply the Rechterlijk Pardon (Judge's Forgiveness) concept in traffic accident criminal cases and what are the weaknesses of the Rechterlijk Pardon (Judge's Forgiveness) concept in the perspective of Indonesian criminal law. The research method used is normative juridical with techniques for searching legal materials by means of library studies, documentation studies and the internet. From the results of this research, it can be concluded that the concept of Rechterlijk Pardon (Judge's Forgiveness) can be applied to traffic accident cases if it meets the requirements based on the provisions of RKUHP Article 54 paragraph (2) "The severity of the act, the personal condition of the perpetrator, or the circumstances at the time the crime was committed and the what happens later can be used as a basis for consideration for not imposing a crime or not imposing humanitarian action." Not opposing the sense of justice for victims and not opposing the norms that exist in society. The concept of Rechterlijk Pardon (Judge's Forgiveness) is in line with the theory of Restorative Justice, which was used in the decision of the M. Rasyid Amrullah Rajasa case. The Rechterlijk Pardon (Judge's Forgiveness) concept has a weakness, namely that it can give rise to new problems, especially if the Rechterlijk Pardon (Judge's Forgiveness) concept is implemented in criminal case decisions, namely that there are no types of decisions that are not in accordance with the substance of this principle. It can be concluded that none of the types of decisions regulated in the Criminal Procedure Code are in accordance with the concept of Rechterlijk Pardon (Judge's Forgiveness).
Analisis Tindak Pidana Pembunuhan Terhadap Pembelaan Diri Nilvany Hardicky; Feni Hardianti
Jurnal Ilmu Hukum, Humaniora dan Politik Vol. 4 No. 6 (2024): (JIHHP) Jurnal Ilmu Hukum, Humaniora dan Politik (September - Oktober 2024)
Publisher : Dinasti Review Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38035/jihhp.v4i6.2640

Abstract

Penulisan Artikel ini akan menganalisa dan menjelaskan Tindak Pidana Pembunuhan Terhadap Pembelaan Diri. Dalam penelitian ini menggunakan metode yuridis notmatif atau hukum normatif. Hasil dari penelitian ini menjelaskan bahwa Pertanggungjawaban terhadap tindak pidana pembunuhan atas pembelaan diri hal ini dapat dibenarkan tindakannya selama memenuhi syarat dan batasan menurut ketentuan hukum. Seseorang yang melakukan pembelaan diri jika terbukti melakukan dan unsur-unsurnya terpenuhi artinya dia tidak dapat di pidana, Adapun unusur-unsur yang mempengaruhi pertanggungjawaban pidana yaitu perbuatan itu adalah perbuatan yang tidak ada jalan keluarnya, harus memenuhi yang namanya sifat melawan hukum, dan harus demi kepentungan diri sendiri, orang lain dan masalah ketertiban serta tidak melawan norma yang hidup di masyarakat. sebagaimana ketentuan Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2). Pembelaan diri pada Pasal 49 KUHP dibagi menjadi dua yaitu pembelaan diri (noodweer), diatur didalam Pasal 49 ayat (1) KUHP dan pembelaan diri luar biasa (noodweer excess) atau pembelaan diluar batas, diatur didalam Pasal 49 ayat (2) KUHP. Para Penegak hukum diharapkan lebih memberikan penjelasan terhadap rumusan Pasal secara rinci agar dapat lebih mudah dipahami oleh penegak hukum dan masyarakat. Sehingga makna dan tujuan dari Pasal 49 KUHP tentang pembelaan diri dalam keadaan terpaksa dan batasan tentang pembelaan diri yang dipengaruhi oleh kegoncangan jiwa yang hebat sebagaimana terdapat di dalam Pasal 49 KUHP tersebut lebih mudah diterapkan dan dipahami dalam kasus pembelaan diri.
Pertanggungjawaban Pemerintah Terhadap Kecelakaan Lalu Lintas yang di Akibatkan Jalan Rusak Nilvany Hardicky; Feni Hardianti; Adella Sahuritna
Jurnal Ilmu Hukum, Humaniora dan Politik Vol. 4 No. 6 (2024): (JIHHP) Jurnal Ilmu Hukum, Humaniora dan Politik (September - Oktober 2024)
Publisher : Dinasti Review Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38035/jihhp.v4i6.2866

Abstract

Penelitian Artikel ini akan menganalisa dan menjelaskan pertanggungjawaban pemerintah terhadap kecelakaan lalu lintas di akibatkan jalan rusak. Dalam penelitian ini menggunakan metode yuridis notmatif atau hukum normatif. Hasil dari penelitian ini menjelaskan bahwa Dalam analisa penulis bahwa pertanggungjawaban pemerintah terhadap kecelakaan lalu lintas yang diakibatkan jalan rusak ini sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, penyelenggara jalan dapat dikenai sanksi pidana karena kerusakan jalan yang mentebabkan kecelakaan lalu lintas yang diatur di dalam Pasal 273 yakni penyelenggara jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki jalan yang rusak yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Ayat (1) sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan kendaraan dan/atau barang dapat dipidana dengan penjara paling lama 6 bulan dan denda paling banyak Rp.12.000.000 (dua belas juta rupiah). Kemudian pada ayat (2) disebutkan dalam hal perbuatan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat, pelaku dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp.24.000.000 (dua puluh empat juta rupiah). Pada ayat (3) menyebutkan bahwa dalam hal perbuatan sebagaiman dimaksud dalam ayat (1) menyebabkan orang lain meninggal dunia, pelaku dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp.120.000.000. Dalam analisa penulis bahwa perlindungan hukum terhadap korban kecelakaan lalu lintas yang di akibatkan jalan rusak, pengguna jalan yang dalam ini merupakan masyarakat mempunyai hak konstitusional untuk mendapatkan fasilitas transportasi yang layak dan memadai salah satunya adalah kondisi infrastruktur jalan yang baik, ketika terjadi kecelakaan lalu lintas yang bukan karena kelalaian sendiri dan di akibatkan oleh jalan yang rusak sudah sepatutnya masyarakat menerima restitusi maupun kompensasi berupa ganti rugi dari kecelakaan lalu lintas yang dialaminya sesuai yang diatur di dalam Peraturan Pemerintahan Nomor 22 Tahun 2008 Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban.