Penelitian ini menganalisis secara mendalam konflik norma yang timbul dari diskursus pernikahan bagi kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) di Indonesia, yang diposisikan pada persimpangan antara doktrin hukum Islam, hukum positif nasional, dan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM) universal. Isu ini terus menjadi salah satu perdebatan sosio-legal paling kontroversial di Indonesia, seringkali disimplifikasi menjadi narasi biner yang saling bertentangan. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis-normatif melalui pendekatan studi literatur yang komprehensif, penelitian ini bertujuan untuk membedah secara kritis dan objektif posisi masing-masing kerangka normatif tersebut. Hasil analisis menunjukkan bahwa: (1) Perspektif hukum Islam, yang didasarkan pada interpretasi sumber-sumber tekstual primer (Al-Qur'an dan Sunnah) serta konsensus ulama (ijma'), secara tegas dan konsisten menolak keabsahan pernikahan sesama jenis karena dianggap bertentangan dengan tujuan fundamental pernikahan (maqashid al-zawaj), terutama pelestarian keturunan (hifdz al-nasl). (2) Sebaliknya, kerangka HAM universal, yang berlandaskan pada prinsip non-diskriminasi, kesetaraan di hadapan hukum, dan hak atas privasi, memberikan landasan untuk perlindungan hak-hak individu LGBT, yang menimbulkan ketegangan langsung dengan norma hukum yang berlaku di Indonesia. (3) Hukum positif Indonesia, khususnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, secara eksplisit mendefinisikan pernikahan sebagai ikatan antara seorang pria dan seorang wanita, sehingga secara efektif menutup ruang bagi pengakuan hukum pernikahan LGBT. Disimpulkan bahwa ketiadaan perlindungan hukum bagi pernikahan LGBT di Indonesia merupakan manifestasi dari dominasi norma agama dan sosial dalam struktur hukum nasional, yang menciptakan diskrepansi signifikan dengan komitmen Indonesia terhadap instrumen-instrumen HAM internasional.