Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

Hermeneutika Derrida Vis A Vis Formulasi Pemikiran Imam al-Sha'rani dalam Kitab al-Mizan al-Kubra Ahmad Faizal Basri, Fais; Mustaqim
PUTIH: Jurnal Pengetahuan Tentang Ilmu dan Hikmah Vol 5 No 2 (2020): PUTIH: Jurnal Pengetahuan tentang Ilmu dan Hikmah Vol. V No. 2
Publisher : Mahad Aly Al Fithrah Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51498/putih.v5i2.74

Abstract

Al-Sha’ra>ni> was a shufi figure who was able to give innovations in the face khilafiah al-'Ummah. This figure is very meritorious with his opus entitled al-Miza>n al-Kubra>. Because accommodated all of opinions Ulama’ without exception, as long does not contradict with nash of the Qur'an and hadith. The aggregation of all opinions by al-Sha’ra>ni> it is the only 'ala> sabi>l al-Ta'z}i>m; On the basis of respecting the hard work of Ulama’. As for this kind of attitude, it is almost similar with Derrida's thought with his theory of deconstruction. This study aims to compare derrida's hermeneutics vis a vis with the formulation of Al-Sha’ra>ni> thought in his opus. This research uses this type of literature research. Then, the collected data is analyzed by inductive and comparative methods. The result of this study is that the two figures are equally accommodating all opinions, without siding with one opinion alone and marginalizing other opinions. The second equation is derrida’s opinion "Nothing Out The Text" it means there is no text outside or everything is text, although the meaning of the text itself. Al-Sha’ra>ni> threat like that to al-Shari>'ah al-Mut}ahhirah. However, there is a point of difference, that Derrida after the stage accommodates the whole opinion, he postpone the meaning. But al-Sha’ra>ni> lunged until the accommodated opinions were considered in two categories, al-Tashdi>d; heavy and al-Takhfi>f; light.
Al-Qira’at Al-‘Ashrah: Sejarah, Kedudukan dan Karakteristiknya Ahmad Faizal Basri
Ibn Abbas : Jurnal Ilmu Alquran dan Tafsir VOL 5, NO 1 (2022): APRIL-SEPTEMBER
Publisher : Fakultas Ushuluddin dan Studi Islam

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30821/jia.v5i1.12556

Abstract

الملخصالقراءات العشرة هي القراءات المتواترة ولوكانت الثلاثة الأخرى مختلفة على اطلاق صحتها يعني امام يعقوب (130-205) وامام خلف (150-227) وامام ابو جعفر (...-128) بل عند الرأي الصحيح صحتها بالمتواترة. هؤلاء العشرة متفقة بالقراءات المتواترة وإنّ الباقي متفق بالقراءات الشاذات. واذا يطلع التاريخي فيوجد البحث الدقيق بل كانت التعارض بين الناس وانما القراءات السبعة المتعلقة بسبعة احرف هى كلام خطاء لأن السبعة المضاف بالأحرف هي التيسير والتسهيل  لمشقة من قرأ بحرف واحد كالشيخ الكبير والعجوز والغلام. وانما القراءات تنمو بعد وجود المصحف العثماني هي متعلقة بوجه قراءة المصحف المتفق على تواتره ولكن ذالك المصحف عدم النطقة تتميز بين الراء والزاي مثلا وبين الحركات تتميز بين الفتحة والكسرة مثلا حتى توجد القراءات المختلفة ولكنه على كون الشرط الا تخالف خط مصاحف العثماني المتفقة والمروي بالرواية الصحيحة
Al-Qira>’a>t Al-‘Ashrah: Sejarah, Kedudukan dan Karakteristiknya Ahmad Faizal Basri
Ibn Abbas : Jurnal Ilmu Alquran dan Tafsir VOL 5, NO 2 (2022): OKTOBER-MARET
Publisher : Fakultas Ushuluddin dan Studi Islam

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30821/jia.v5i2.11623

Abstract

الملخصالقراءات العشرة هي القراءات المتواترة ولوكانت الثلاثة الأخرى مختلفة على اطلاق صحتها يعني امام يعقوب (130-205) وامام خلف (150-227) وامام ابو جعفر (...-128) بل عند الرأي الصحيح صحتها بالمتواترة. هؤلاء العشرة متفقة بالقراءات المتواترة وإنّ الباقي متفق بالقراءات الشاذات. واذا يطلع التاريخي فيوجد البحث الدقيق بل كانت التعارض بين الناس وانما القراءات السبعة المتعلقة بسبعة احرف هى كلام خطاء لأن السبعة المضاف بالأحرف هي التيسير والتسهيل  لمشقة من قرأ بحرف واحد كالشيخ الكبير والعجوز والغلام. وانما القراءات تنمو بعد وجود المصحف العثماني هي متعلقة بوجه قراءة المصحف المتفق على تواتره ولكن ذالك المصحف عدم النطقة تتميز بين الراء والزاي مثلا وبين الحركات تتميز بين الفتحة والكسرة مثلا حتى توجد القراءات المختلفة ولكنه على كون الشرط الا تخالف خط مصاحف العثماني المتفقة والمروي بالرواية الصحيحةالنقاط الحاكمة: القراءات العشرة, التاريخي, المقام, والإختصاصABSTRAKQira>’a>t al-‘Ashrah adalah qira>’ah mutawa>tir, meskipun tiga terakhir yakni Ya’qu>b (130-205 H), Khlaf (150-227 H) dan Abu> Ja’far (...-128 H) ada yang mempermasalahkannya, tetapi menurut pendapat yang sah adalah mutawa>tir. Kesepuluh imam qira>’a>t termasuk yang tiga terakhir telah dinyatakan kemutawatirannya. Sedangkan selebihnya telah dinyatakan kesha>dznya. Jika ditarik ke sejarah qira>’ah, tentu sangat  diperdebatan. Adapun qira>’ah sab’ah yang dikaitkan dengan sab’ah ah{ruf  adalah pernyataan yang keliru. Sebab sab’ah pada kata ah{ruf itu merupakan peluang kemudahan bagi yang sulit membaca al-Qur’an, karena faktor usia, orang yang tidak mampu, atau anak kecil. Sedangkan qira>’ah yang berkembang setelah adanya mus}h}f Uthma>ni> itu terkait bacaan terhadap mus{h{af yang telah disepakati bersama akan kemutawa>tirannya, hanya saja mus{h{af tersebut tidak ada titik untuk membedakan ra>’ dengan za>y dan harakat untuk membedakan fath{ah dengan kas{rah dan lain sebagainya, sehingga timbul perbedaan bacaan dengan catatan tidak menyalahi dari antara mus}h}af-mus}h}af yang telah disepakati dan diriwayatkan dengan riwayat yang s{ah{i>h{..
The Leadership Values Bureaucracy in the Battle of Uhud: the Analysis of Verse Ali Imran (3): 121 and 144 in Fazlur Rahman's Perspective Majid, Abdul; Basri, Ahmad Faizal
HERMENEUTIK Vol 17, No 1 (2023): Hermeneutik: Jurnal Ilmu al-Qur'an dan Tafsir
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin, IAIN Kudus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21043/hermeneutik.v17i1.15374

Abstract

After losing the Battle of Badr, the Quraysh polytheists returned to Medina with a mission of revenge. Abu Sufyan bin Harb's troops won over the Muslims of Medina in the battle of Uhud. Among the triggers for the defeat of the Muslim community in the Uhud War were the indiscipline and disobedience of some Muslim troops to the Prophet Muhammad. This study tries to interpret QS. Ali Imran (3): 121 and 144 through Fazlur Rahman's double movement approach. The moral values drawn from the story of the Uhud war in verse are leadership with the character of a good listener, tactical-critical and patient while being supported by followers' loyalty. Lastly, resignation can be used as a reference in carrying out the wheels of a good, compact government bureaucracy. A common goal and no party is harmed because of selfish personal interests. This character was practised by the Prophet Muhammad. in managing the people of Medina. Unfortunately, during the Uhud War, some Muslim troops were disobedient or loyal to the instructions of the Prophet Muhammad. This is the urgency of a relationship between leaders and the people they lead. Leaders with the character of good listeners, critical-tactical and patient but not followed by the loyalty of their people will not be able to produce a good government order to achieve common goals. Birokrasi Nilai Kepemimpinan dalam Perang Uhud: Analisis Ayat Ali Imran (3): 121 dan 144 dalam Perspektif Fazlur Rahman.Kaum musyrik Quraish setelah kalah pada perang Badar, mereka kembali ke Madinah dengan misi balas demdam. Pasukan Abu Sufyan bin Harb berhasil menang atas kaum Muslimin Madinah di perang Uhud. Di antara pemicu kekalahan umat Islam dalam perang Uhud adalah ketidakdisiplinan dan ketidaktaatan sebagian pasukan Muslim pada Nabi Muhamamd Saw. Penelitian ini mencoba manafsirkan QS. Ali Imran (3): 121 dan 144 melalui pendekatan double movement Fazlur Rahman. Adapun nilai moral yang bisa diambil dari kisah perang Uhud dalam ayat tersebut adalah kepemimpinan dengan karakter pendengar yang baik, taktis-kritis dan sabar seraya didukung oleh loyalitas pengikut, dan yang terakhir tawakkal bisa dijadikan acuan dalam menjalani roda birokrasi pemerintah yang baik, kompak, tercapainya suatu tujuan bersama, serta tidak ada pihak yang dirugikan karena hanya sebab kepentingan pribadi yang egois. Karakter tersebut telah dipraktikan oleh Nabi Muhamamd Saw. dalam mengelola masyarakat Madinah. Sayangnya pada perang Uhud ada sebagian pasukan Muslim yang tidak taat atau loyal dengan instruksi Nabi Muhammad. Inilah urgensi ada keterkaitan antara pemimpin dan masyarakat yang dipimpinnya. Pemimpin berkarakter pendengar yang baik, kritis-taktis dan sabar namun tidak diikuti dengan loyalitas masyarakatnya tidak akan mampu menghasilkan tatanan pemerintah baik untuk mencapai tujuan bersama.
Dilemmatics of Contemporary Maudhu’i Commentaries in The Middle East Basri, Ahmad Faizal; Hermansah
MAGHZA Vol 9 No 2 (2024): Juli-Desember 2024
Publisher : Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora (FUAH), Universitas Islam Negeri Profesor Kiai Haji Saifuddin Zuhri Purwokerto

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24090/maghza.v9i2.11096

Abstract

Dilematika al-Tafsir al-Mawdu’i dari berbagai pendapat menyebabkan diskursus tersebut menjadi enggan untuk diterima atau sebaliknya. Tentu tidak terlepas dari subjektif masing-masing tokoh yang notabenenya kontemporer. Pada kesempatan ini, peneliti berupaya flashback terhadap pemahaman al-Tafsir al-Mawdu’i, agar jelas batasan-batasan istilah dan aplikasinya dari masing-masing tokoh. Jadi tidak menyisahkan masalah pada skop istilah umumnya. Pendekatan library research dengan analisis induktif-komparatif adalah metode yang dipakai oleh peneliti pada paper ini. Adapun hasil penelitian ini mengungkapkan, ada empat macam yang ditawarkan mereka, yaitu al-Mawdu’i fi al-Qur’an, al-Mawdu’i fi al-Surah al-Qur’aniyyah, al-Mustalah al-Qur’ani dan tatabu’ al-‘Alaqat. Adapun macam pertama para tokoh kontemporer saling bersepakat menerimanya, sedangkan yang kedua dan ketiga ditolak dan ditentang oleh ‘Abd al-Sattar dan al-Farmawi, kecuali Baqir al-Sadar memilih setuju asalkan dengan istilah al-Wahdah al-Mawdu’iyyah li al-Surah al-Qur’aniyyah. Adapun tokoh yang mendukung penuh terhadap kedua macam tersebut adalah Mustafa Muslim. Kemudian macam ketiga adalah al-Mustalah al-Qur’ani yang dipelopori oleh al-Khalidi dan keempat adalah tatabu’ al-‘Alaqat, atau disebut al-Munasabat yang dipelopori oleh Abd al-Hamid Ghanim. Kedua macam yang terakhir ini sangatlah tidak pas apabila disandingkan dengan al-Mawdu’i al-Qur’ani.  
Psychopsychic Practice of Shalawat Al-Husainiyah at Jama'ah Al-Khidmah Basri, Ahmad Faizal
PUTIH: Jurnal Pengetahuan Tentang Ilmu dan Hikmah Vol. 10 No. 2 (2025): PUTIH: Jurnal Pengetahuan tentang Ilmu dan Hikmah Vol. X No. II
Publisher : Mahad Aly Al Fithrah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51498/putih.2025.10(2).20-44

Abstract

This study aims to explore the practice of jama'ah al-Khidmah towards shalawat al-Husainiyyah. There is ana interesting phenomenon, starting pocketing, reading and understanding the content of shalawat al-Husainiyyah. The shalawat contains 30 different themes along with verses from Alqur’an, whether the verses are whole or truncated and such verses are legal because as an interpretation of verses with verses of the mawdu'i al-Wajiz type or reading the Qur'an as practiced by Bilal ra. But still follow the rool of waqaf- ibtida'. The discussion is the basis of the text for placing these verses, the impact of practice and the practices of jama'ah al-Khidmah as representative of the values in shalawat al-Husainiyyah. The method used is the living Qur'an with a psychospiritual approach. The results of this study: impact of practice on the basis of exchatological and practical performative suggestions is facilitating sustenance, calming the heart, finding solutions, beautifying morals and behavior, the requested and expected wishes can be fulfilled, protected from shame and shortcomings, and elevated in rank, and recognized as a student of Syaikh Achmad Asrori al-Ishaqi. There are also those who practice and understand the content of shalawat al-Husainiyyah which has a bigger and better impact, because the Qur'an is a guide to life based on the stages of cognition, internalization and affirmation through the interpretation of shalawat al-Husainiyyah and an informative representative of shalawat al-Husainiyyah on the practices of the al-Khidmah congregation, including lots of dhikr and praying after fardhu prayers according to al-Ishaqi's demands, increasing blessings on the Prophet Muhammad, especially in the month of Ramadan, following the Dzikr Assembly organized by the Jama'ah al-Khidmah Management so that we can dzikr and pray together.
Kaidah Wadih Al-Dilalah: Hierarki dan Urgensinya dalam Penafsiran Al-Qur’an Hermansah, Hermansah; Basri, Ahmad Faizal
KACA (Karunia Cahaya Allah): Jurnal Dialogis Ilmu Ushuluddin Vol. 13 No. 1 (2023): Februari
Publisher : Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Institut Al Fithrah Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36781/kaca.v13i1.638

Abstract

Subjektifitas mufasir sangat berpengaruh terhadap hasil penafsiran. Subjektifitas ini bisa berasal dari horizon-horizon yang dimiliki oleh mufasir, baik latar belakang keilmuan, konteks sosial, politik, ekonomi, maupun budaya. Ironisnya, ada sebagian mufasir yang meligitimasi tindakannya dengan pemahamannya terhadap Al-Qur’an, seraya mengabaikan kaidah tafsir yang telah berlaku, serta mengabaikan aspek sosial-historis ayat-ayat al-Qur’an ketika diturunkan. Oleh karenanya, memahami kaidah Wadih al-Dilalah menjadi sangat urgen dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Penelitian ini berusaha menguraikan kaidah Wadih Al-Dilalah, sekaligus menjelaskan hierarki dan urgensinya dalam penafsiran. Penelitian ini menemukan bahwa hierarki Wadih Al-Dilalah teks al-Qur’an ada empat, yaitu: 1) al-Dilalah al-Dhahir, 2) al-Nash, 3) al-Mufassar, dan 4) al-Muhkam. Memberlakukan teks-teks al-Qur’an, sekalipun sudah jelas, tetapi belum sampai pada tingkatan mutlak atau final turth, maka harus terus dilakukan analisis dan mencari teks-teks yang berkaitan, sehingga mendapatkan pemahaman yan0g komprehensif. Begitu juga, apabila ada pertentangan antar al-Dilalah, tentu harus ditarjih dengan mendahulukan dan mengutamakan yang paling jelas di antara al-Dilalah yang ada.