Gunawan, Henricus Pidyarto
Unknown Affiliation

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Automutilasi dan Percobaan Bunuh Diri sebagai Irregularitas Tahbisan Suci Menurut Kanon 1041, No. 5 Tjatur Raharso, Alphonsus; Gunawan, Henricus Pidyarto
Seri Filsafat Teologi Vol. 34 No. 33 (2024)
Publisher : Sekolah Tinggi Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35312/serifilsafat.v34i33.244

Abstract

Dewasa ini bunuh diri dan percobaan bunuh diri semakin marak terjadi di kalangan orang muda. Mereka yang gagal dalam percobaan bunuh diri dapat saja tertarik untuk menjadi imam di kemudian hari. Hal ini memunculkan pertanyaan, apakah mereka ini boleh mengenyam pendidikan di seminari dan boleh ditahbiskan menjadi imam? Penelitian ini membahas doktrin dan norma kanonik mengenai percobaan bunuh diri dan automutilasi sebagai halangan tetap untuk menerima tahbisan imam. Metode yang digunakan ialah metode penelitian kualitatif bercorak deskriptif dan yuridis dengan menggunakan pendekatan studi literatur. Percobaan bunuh diri dan automutilasi merupakan fakta yang tak dapat dihapuskan atau diabaikan, sekalipun sudah disesali dan diampuni dalam sakramen pengakuan dosa. Kedua tindakan itu tetap diperhitungkan sebagai halangan tetap untuk menerima atau melaksanakan tahbisan. Jika seorang seminaris telah menjalani dengan baik dan serius formasio imamat dan dipandang layak untuk menjadi imam, ia diizinkan untuk ditahbiskan dengan dimintakan dispensasi dari irregularitas tersebut. Penelitian ini memberikan makna dan cakupan norma mengenai irregularitas, agar para formator seminari, Uskup Diosesan dan Superior Mayor tarekat religius dapat mengaplikasikan norma secara tepat, dan menanggapi dengan bijak setiap kasus irregularitas yang menimpa calon imam selama masa formasio imamat.
Spiritualitas Awam dalam Penggunaan Media Sosial: Suatu Refleksi atas Amsal 4:18 dan Yohanes 8:12 dalam Konteks Menjadi Terang di Dunia Digital Fernandes, Stefanus; Gunawan, Henricus Pidyarto
Seri Filsafat Teologi Vol. 35 No. 34 (2025)
Publisher : Sekolah Tinggi Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35312/serifilsafat.v35i34.281

Abstract

Era digital telah menjadi ruang baru bagi umat Kristiani dalam mengekspresikan iman dan identitas moralnya. Namun, dinamika media sosial juga membawa tantangan etis yang perlu ditanggapi secara spiritual. Artikel ini bertujuan untuk membangun pemahaman tentang pentingnya spiritualitas terang dalam kehidupan digital umat Kristiani dengan mendasarkan refleksi pada dua teks Kitab Suci, yaitu Amsal 4:18 dan Yohanes 8:12. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode hermeneutik biblis guna menafsirkan makna teks secara kontekstual dan aplikatif terhadap realitas media sosial. Kedua ayat tersebut dijadikan sebagai fondasi etis dan spiritual dalam membentuk karakter digital umat. Kajian ini mengkaji relasi antara terang dan identitas moral umat, serta implikasinya terhadap komunikasi etis, kesaksian iman, dan penggunaan teknologi secara bertanggung jawab. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terang dalam pemahaman biblis bukan hanya simbol spiritual, tetapi menjadi pedoman konkret dalam membentuk kepribadian digital yang otentik dan bermisi. Kontribusi utama artikel ini adalah menyajikan kerangka spiritualitas terang yang dapat menjadi panduan praktis bagi umat awam untuk hidup setia pada nilai-nilai Injili di tengah kompleksitas dunia digital.
Komitmen Spiritual Gen-Z di Era Virtual Identity Crisis: Perspektif Intertekstual Alkitabiah dari Amsal 3:1–6 dan Yohanes 14:1–6 Jeraman, Gaspar Triono; Gunawan, Henricus Pidyarto
Seri Filsafat Teologi Vol. 35 No. 34 (2025)
Publisher : Sekolah Tinggi Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35312/serifilsafat.v35i34.283

Abstract

Generasi Z (Gen-Z), hidup di tengah dunia digital yang menciptakan krisis identitas virtual yakni suatu ketegangan antara citra diri maya dan eksistensi nyata yang berdampak pada spiritualitas mereka. Artikel ini merespons fenomena tersebut dengan mengangkat dua teks Kitab Suci, Amsal 3:1–6 dan Yohanes 14:1–6, sebagai dasar refleksi teologis. Kajianya terdiri dari: isi dan tafsiran kedua teks, relasi intertekstual di antara keduanya, serta pesan teologisnya bagi Gen-Z yang mengalami krisis identitas spiritual. Metode yang digunakan adalah hermeneutika intertekstual, dengan menelusuri gema makna antara kedua teks berdasarkan pendekatan Richard B. Hays. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Amsal menekankan hidup dalam kasih, setia, dan kepercayaan kepada Tuhan, sedangkan Yohanes menampilkan Yesus sebagai Jalan, Kebenaran, dan Hidup, sebagai jawaban definitif atas pencarian eksistensial manusia. Keduanya memperlihatkan kesinambungan teologis dari hikmat menuju relasi personal dengan Kristus. Dalam kedua perikop ini, iman dipahami bukan sekadar landasan dan imperatif moral, melainkan proses dan pilihan definitif untuk hidup dalam kebenaran Allah, yang menjadi solusi spiritual bagi krisis identitas digital yang dialami Gen-Z.
Theology of Marital Suffering in the Light of Detachment of Saint John of the Cross Sengkey, Eleine Magdalena; Gunawan, Henricus Pidyarto; Venantius, Supriyono; Obeng, Andrews
International Journal of Indonesian Philosophy & Theology Vol. 4 No. 2 (2023): December
Publisher : Asosiasi Ahli Filsafat Keilahian Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47043/ijipth.v4i2.61

Abstract

Marital indissolubility is a contentious issue in contemporary Catholic marriages. This qualitative study interviewed eight wives who have endured suffering in their marriages while remaining faithful to the gospel and Church teachings. They viewed their suffering as an ascetic path that leads to spiritual growth. This research explores Saint John of the Cross’s theology of detachment to understand marital suffering. Asceticism within marriage is seen as a means to achieve deeper self-giving to one’s spouse and God. Detachment, a core element of asceticism, purifies one’s being, fostering spiritual growth. John of the Cross’s detachment theology can help couples see their suffering as an avenue to detachment, facilitating divine purification and the ability to transcend marital difficulties without being bound by anything outside of God. This suggests that detachment is a relevant concept in fostering spiritual growth and enhancing self-giving in marriage.