Abstrak Fokus utama dalam pembahasan ini adalah mengevaluasi sejauh mana Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban di Indonesia telah memberikan perlindungan hukum yang memadai, khususnya terhadap pelapor (whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator) dalam perkara tindak pidana korupsi. Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif yang dikombinasikan dengan pendekatan praktik hukum. Hasil kajian menunjukkan bahwa hukum positif Indonesia, terutama melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, belum mengatur secara tegas, komprehensif, dan spesifik mengenai perlakuan hukum khusus bagi kedua pihak tersebut. Dalam berbagai kasus korupsi yang terjadi pasca diberlakukannya undang-undang tersebut, para pelapor dan saksi pelaku yang bekerja sama belum memperoleh perlindungan hukum yang optimal. Hal ini berkaitan erat dengan lemahnya pemberdayaan sistem hukum dan penegakan prinsip supremasi hukum di Indonesia. Tujuan dari kajian ini adalah untuk menganalisis pelaksanaan supremasi hukum dan efektivitas sistem hukum yang berlaku, serta hubungan keduanya dalam kerangka reformasi hukum. Metode yang digunakan adalah studi dokumentasi terhadap peraturan perundang-undangan, literatur akademik, jurnal, pemberitaan media massa, dan dokumen terkait lainnya. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa supremasi hukum di Indonesia masih menghadapi tantangan serius, yang salah satunya bersumber dari lemahnya tiga komponen utama sistem hukum: substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Oleh karena itu, pembenahan terhadap ketiga aspek tersebut merupakan prasyarat mutlak (conditio sine qua non) bagi tegaknya prinsip supremasi hukum di Indonesia.Kata kunci: supremasi hukum, perlindungan, pelapor, saksi, korupsi AbstractThe core issue discussed in this study is whether Indonesia's current Witness and Victim Protection Act provides adequate legal protection—particularly special treatment—for whistleblowers and cooperating offenders (justice collaborators) in corruption cases. This research employs a normative approach, supported by an analysis of legal practices. The findings reveal that Indonesian positive law, especially Law No. 13 of 2006 on the Protection of Witnesses and Victims, lacks clear, specific, and comprehensive provisions regarding the legal treatment of whistleblowers and justice collaborators. In corruption cases that have emerged since the enactment of this law, these individuals have yet to receive sufficient legal protection. This situation reflects a deeper issue concerning the underdevelopment of the legal system and the weak enforcement of the rule of law. The study aims to analyze the implementation of legal supremacy and the operational capacity of the Indonesian legal system, including their interrelation. The methodology is based on secondary data analysis, including legislation, scholarly literature, academic journals, media reports, and other relevant documents. The research highlights the ongoing challenges to upholding the rule of law in Indonesia, primarily due to the fragility of the three key elements of the legal system: legal substance, legal structure, and legal culture. Thus, reforming these three components is an essential prerequisite (conditio sine qua non) to strengthening the principle of the rule of law in Indonesia.Keywords: rule of law, protection, whistleblower, witness, corruption