This study aims to analyze acts of vigilantism from the perspective of Indonesian criminal law, with a focus on normative foundations and legal implications. Vigilantism, where individuals or communities commit violence against alleged offenders without due legal process, constitutes a violation of human rights and remains prevalent in Indonesia. This phenomenon is important to examine as it undermines the legitimacy of the criminal justice system and violates fundamental legal principles, such as the principle of legality and due process of law. The urgency of this study lies in the reality that acts of vigilantism not only contravene the rule of law but also reflect a crisis of public trust in law enforcement institutions. This research employs a normative legal method with a statutory approach. The study finds that although vigilantism is not explicitly addressed in statutory law, the KUHP and KUHAP contain sufficient legal instruments to prosecute such acts, including articles on assault, murder, and conspiracy. The novelty of this research lies in its comprehensive analysis of these criminal provisions and its emphasis on upholding the presumption of innocence and the constitutional rights of citizens. The findings indicate that vigilantism is a criminal act that cannot be justified under any circumstances and perpetuates a cycle of violence and erodes public trust in the formal legal system. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tindakan main hakim sendiri dari perspektif hukum pidana Indonesia, dengan fokus pada dasar normatif dan implikasi yuridisnya. Tindakan main hakim sendiri, yakni ketika masyarakat melakukan kekerasan terhadap pelaku kejahatan tanpa melalui proses hukum yang sah, merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang masih sering terjadi di Indonesia. Fenomena ini penting dikaji karena berdampak pada legitimasi sistem peradilan pidana dan pelanggaran prinsip-prinsip hukum dasar, seperti asas legalitas dan due process of law. Urgensi penelitian ini terletak pada kenyataan bahwa praktik main hakim sendiri tidak hanya mencederai prinsip negara hukum, tetapi juga menunjukkan adanya krisis kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum. Penelitian ini menggunakan metode hukum normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan. Penelitian ini menemukan bahwa meskipun tindakan main hakim sendiri tidak disebut secara eksplisit, KUHP dan KUHAP memiliki cukup instrumen hukum yang dapat digunakan untuk menjerat pelakunya, seperti pasal-pasal tentang penganiayaan, pembunuhan, dan persekongkolan. Kebaruan dari penelitian ini terletak pada analisis komprehensif terhadap pasal-pasal pidana tersebut serta penekanan pada pentingnya menegakkan asas praduga tak bersalah dan perlindungan hak konstitusional warga negara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindakan main hakim sendiri merupakan tindak pidana yang tidak dapat dibenarkan oleh alasan apa pun, dan justru memperkuat siklus kekerasan serta ketidakpercayaan terhadap sistem hukum yang sah.