Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis representasi hate speech dalam film Budi Pekerti karya Wregas Bhanuteja dengan pendekatan semiotika Roland Barthes. Film ini menggambarkan dinamika ujaran kebencian di ruang digital melalui tokoh Bu Prani, seorang guru yang menjadi korban perundungan daring akibat penyebaran video potongan tanpa konteks yang memicu opini publik negatif. Dalam konteks masyarakat digital Indonesia, ujaran kebencian tidak hanya hadir dalam bentuk kata-kata kasar, tetapi juga termanifestasi melalui framing media, labeling sosial, dan narasi viral yang berdampak pada martabat dan kehidupan pribadi korban. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik observasi dan dokumentasi terhadap adegan-adegan film yang mengandung tanda-tanda verbal dan visual yang berkonotasi ujaran kebencian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hate speech dalam film Budi Pekerti direpresentasikan melalui empat skenario utama, yakni konflik verbal di ruang publik, komentar netizen pascavideo viral, konten youtuber yang memicu cancel culture, dan penolakan terhadap metode pendidikan reflektif. Penelusuran makna denotatif, konotatif, hingga mitos pada tiap adegan mengungkap bagaimana masyarakat digital mengonstruksi realitas sosial berdasarkan persepsi visual yang dimediasi teknologi. Film ini mengkritisi bagaimana viralitas telah menggeser posisi kebenaran faktual dan menegaskan bahwa ruang digital telah menjadi arena penghakiman massal yang minim empati dan etika. Dengan demikian, penelitian ini memberikan kontribusi dalam wacana komunikasi digital, literasi media, dan urgensi penguatan etika publik dalam menghadapi budaya ujaran kebencian di era digital.