Rahayu, Eka Putri
Departemen Kebijakan Dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat Dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada

Published : 8 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

Sosial determinan kesehatan kasus HIV/AIDS pada pegawai negeri sipil di kabupaten Nunukan tahun 2017 Eka Putri Rahayu
Berita Kedokteran Masyarakat (BKM) Vol 34, No 5 (2018): Proceedings the 3rd UGM Public Health Symposium
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (565.876 KB) | DOI: 10.22146/bkm.37596

Abstract

Berdasarkan laporan kasus HIV/AIDS Dinas Kesehatan Kab. Nunukan di Provinsi Kalimantan Utara mencatat bahwa ada penemuan kasus baru sebanyak 12 kasus di sepanjang tahun 2016. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya yang berjumlah 10 kasus pada tahun 2015. Dari seluruh penderita yang dimaksud, teridentifikasi ada yang berprofesi sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil), 12 persennya PNS. Mereka yang tertular penyakit tersebut rata-rata ibu rumah tangga dan kepala rumah tangga, yang berusia produktif. Peningkatan kasus HIV/AIDS justru dari kalangan masyarakat umum sedangkan dari tempat lokalisasi, Dinas Kesehatan Kab. Nunukan tak menjumpai adanya peningkatan. Bahkan kasusnya ditemukan di pedesaan jauh seperti di Krayan, Kab.Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi sosial determinan kesehatan kasus HIV/AIDS pada pegawai negeri sipil di kabupaten Nunukan tahun 2017. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan melakukan wawancara mendalam. Informan yang diwawancarai diantaranya adalah peneliti HIV/AIDS, penanggung jawab program KPAI serta dosen bidang promosi kesehatan. Instrumen yang digunakan diantaranya panduan wawancara mendalam dan dilengkapi dengan alat perekam suara. Hasil yang didapat adalah adanya pengetahuan masyarakat yang minim akan HIV/AIDS memunculkan stigma yang terbentuk di masyarakat, adanya akses ke pelayanan “plus-plus” meskipun berada di daerah terisolir, adanya dominan penyebab kasus HIV/AIDS pada PNS adalah akibat gonta ganti pasangan. Hal ini tidak terlepas dari perilaku seksual. Rata-rata penderita HIV/AIDS berada di usia produktif. Dibutuhkan kerjasama dengan stakeholder terkait untuk melaksanakan program penanggulangan kasus HIV/AIDS. Fungsi pengawasan dan penindakan juga harus ditingkatkan dalam hal pelaksanaan kebijakan program HIV/AIDS.
Kenapa putus berobat? Bagaimana efektifitas monitoring dalam upaya meningkatkan kepatuhan pengobatan pasien TB : studi kasus di Provinsi Jawa Tengah Riana Dian Anggraini; Wa Ode Siti Orianti; Eka Putri Rahayu
Berita Kedokteran Masyarakat (BKM) Vol 34, No 5 (2018): Proceedings the 3rd UGM Public Health Symposium
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (548.949 KB) | DOI: 10.22146/bkm.37688

Abstract

Succes Rate Provinsi Jawa Tengah empat tahun terakhir ini mengalami trend penurunan dari tahun 2013 sebesar 89,04% dan ditahun 2016 menjadi 68,69%. Intervensi perlu dilakukan untuk mencegah meningkatnya kegagalan pengobatan, epidemi penularan TB dan TB Resisten Obat. Penyebab terbesar dari kegagalan pengobatan adalah putus berobat (DO). Faktor utama penyebab DO yaitu komunikasi antara petugas dengan pasien. System monitoring berfungsi memastikan layanan kesehatan berjalan sesuai prosedur termasuk pengawasan terhadap kepatuhan pengobatan pasien TB. Tujuan penulisan ini untuk mengetahui faktor penyebab putus berobat pasien TB dari segi petugas kesehatan serta mengetahui efektifitas fungsi monitoring dalam meningkatkan kepatuhan pengobatan TB.  Kepuasaan pasien terhadap layanan TB yang diterima adalah kunci keberhasilan pengobatan. Kekurangan tenaga dan peningkatan beban kerja dilayanan TB menyebabkan standart kualitas pelayanan belum optimal. Komunikasi antara dokter dan pasien gagal tercipta sehingga tidak ada motivasi penting bagi pasien dalam mematuhi pengobatan. Manager kasus dalam unit klinis berperan penting dalam mengatasi kesenjangan komunikasi dan persepsi antara pasien dengan pemberi layanan. Sepertiga dari pasien DO memutuskan memilih melanjutkan pengobatan non DOTS berisiko berkembang menjadi TB MDR. Buruknya sistem transfer pasien antar faskes menyebabkan pasien TB sulit terlacak pengobatannya. Monitoring dari rekaman medis dan formulir TB untuk memastikan terisi dengan benar dan tepat waktu tidak dilakukan rutin dan berkala. Tidak dilakukan evaluasi monitoring dari pelaksanaan tindak lanjut hasil temuan. Teknologi informasi terbatas pada pelaporan TB ke tingkat pusat sedangkan teknologi reminder belum menjadi pilihan inovasi.  Pemberi layanan TB belum meberikan pelayanan yang bermutu. Monitoring belum berjalan dengan baik karena terbatas sumberdaya. Penggunaan teknologi tinggi untuk monitoring belum menjadi inovasi Pemerintah Jateng dalam mengatasi kepatuhan pengobatan TB. Intervensi yang dilakukan harus komprehensif dan multitarget, antara lain peningkatan konseling dan komunikasi antara dokter dengan pasien, pendidikan dan pelatihan manager kasus, desentralisasi pengobatan, dan monitoring rutin dan berkala terstandart.
Policy brief: penelusuran ancaman kasus TB pada petugas kesehatan di Indonesia Riana Dian Anggraini; Eka Putri Rahayu; Arqu Aminuzzab
Berita Kedokteran Masyarakat (BKM) Vol 34, No 5 (2018): Proceedings the 3rd UGM Public Health Symposium
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (701.643 KB) | DOI: 10.22146/bkm.37712

Abstract

Pendahuluan: Jarak kontak yang cukup dekat petugas kesehatan dengan pasien memudahkan terjadi penularan penyakit TB. Resiko terkena TB pada petugas kesehatan tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum dan meningkat menjadi enam kali dengan bertambahnya akses pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan, kasus HIV AIDS dan TB MDR.  Selama ini, penerapan budaya keselamatan manajemen fasilitas pelayanan kesehatan dan perilaku petugas kesehatan dalam mempersepsikan infeksi penularan TB menyebabkan keterlambatan diagnosa dan pengobatan TB. Tidak terdapat data laporan jelas tentang prevalensi kasus TB aktif dan laten pada petugas kesehatan menunjukan kecenderungan menyembunyikan tingginya insiden TB pada petugas kesehatan. Jika pemerintah gagal melindungi petugas kesehatan dari penularan penyakit TB, maka bisa dipastikan semakin berkurangnya SDM yang melayani kesehatan dan mengakibatkan meningkatnya kasus TB di Indonesia. Isi: Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) TB di fasilitas pelayanan kesehatan telah diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan pada tahun 2012. Metode pengawasan sistematis yang memastikan dipatuhinya pedoman tersebut belum tersedia. Penelitian yang dilakukan di RSUP Adam Malik, Medan menunjukan bahwa prevalensi TB Laten pada petugas kesehatan sebesar 53%. Faktor yang mempengaruhinya yaitu usia, lama bekerja dan kontak dengan penderita TB. Tingginya prevalensi TB laten petugas kesehatan dipengaruhi oleh besarnya beban infeksi TB pada masyarakat dan difasilitas kesehatan karena banyak kasus TB yang datang berkunjung dan dirawat.Rekomendasi: Kementerian kesehatan dan Dinkes perlu memperkuat kebijakan dan pengembangan strategi komprehensif berbasis bukti untuk menjamin kesehatan petugas dalam bekerja. Kebijakan tersebut terkait laporan data prevalensi dan insiden kasus TB diantara petugas kesehatan, pengawasan pelaksanaan PPI di faskes, sangsi dalam pelanggaran serta mengatur kompensasi untuk petugas kesehatan yang terkena TB akibat kerja. Manajemen faskes dan petugas kesehatan wajib melaksanakan PPI sesuai standar pedoman, melakukan pemeriksaan skrining TB dan HIV tahunan, melaporkan hasilnya kepada instuti terkait serta mengutamakan keselamatan dalam bekerja.
Tantangan Membangun Kemitraan dengan Penyedia Layanan Kesehatan Sektor Swasta dalam Program Pengendalian TB Riana Dian Anggraini; Eka Putri Rahayu; Wa Ode Siti Orianti
Berita Kedokteran Masyarakat (BKM) Vol 34, No 11 (2018): Proceedings of the 4th UGM Public Health Symposium
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (868.384 KB) | DOI: 10.22146/bkm.40360

Abstract

PendahuluanDokter praktek mandiri, apotek dan laboratorium swasta maupun pekerja informal kesehatan dikenal sebagai penyedia layanan sektor swasta, selama ini diyakini memiliki dimensi kualitas layanan kesehatan yang lebih baik. Hal itu menjadi alasan utama untuk memasukkan keterlibatan mereka dalam pemberian layanan DOTS. Penerapan PPM (Public Private Mix) yang dilaksanakan lebih dari 15 tahun masih menghadapi tantangan bersifat persisten, dimana sebagian besar sektor swasta tidak terlibat dalam kolaborasi kemitraan ini.IsiImplementasi PPM belum berjalan menyeluruh secara nasional dan fragmentasi disektor swasta menyulitkan untuk membentuk komitmen secara merata. Program TB bersifat vertikal dan public sedangkan sektor swasta berorientasikan bisnis jasa menuntut keuntungan dari  layanan yang diberikan. Terjadi perbedaan ideologi serta visi yang belum jelas dalam kolaborasi ini.Sektor swasta memiliki kapasitas lemah dalam melakukan tugas “case holding” yang mampu menjangkau kepatuhan pengobatan. Dilain sisi staf layanan public seringkali merasa terbebani dengan tanggungjawab memenuhi target program. Kapasitas merancang dan mengelola kontrak kemitraan dengan organisasi swasta juga belum dimiliki. Kolaborasi lemah sebab peningkatan kapasitas hanya terpaku disektor public. Penegakan aturan dalam notifikasi kasus TB, penggunaan rasional OAT serta pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI) juga belum optimal.Pembiayaan yang memadai dan berkelanjutan dibutuhkan untuk ekspansi PPM. Investasi ini tidak hanya untuk layanan publik tetapi juga untuk sektor swasta tetapi alokasi dana yang tersedia tidak mencukupi untuk upaya peningkatan PPM.Lesson learnTantangan dalam pelaksanaan PPM karena ada perbedaan ideologi, komitmen yang tidak merata, kelemahan kapasitas dalam berkolaborasi serta ketidakpastian pendanaan. Strategi dengan melakukan investasi untuk meningkatkan kapasitas memperkuat layanan TB disektor swasta. Peningkatan kapasitas pada semua penyedia layanan menjamin pemerataan kualitas layanan TB sehingga mampu meningkatkan deteksi kasus, mempercepat diagnosis dan pengobatan serta meminimalkan biaya perawatan akibat TB. Hubungan kemitraan perlu disertai kesepakatan kerjasama,  penegakan peraturan dan pedoman operasional PPM TB.Kata Kunci PPM TB, Sektor Swasta, Kemitraan, Kolaborasi
Modernisasi Implementasi Public Private Mix pada Populasi Berisiko di Daerah Kumuh Perkotaan Wilayah Kerja Puskesmas Riana Dian Anggraini; Eka Putri Rahayu; Wa Ode Siti Orianti
Berita Kedokteran Masyarakat (BKM) Vol 34, No 11 (2018): Proceedings of the 4th UGM Public Health Symposium
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (23.622 KB)

Abstract

Abstrak PendahuluanInfrastruktur kesehatan yang tidak berkembang didaerah kumuh dan buruknya akses kelayanan kesehatan primer mendorong pemanfaatan penyedia layanan sektor swasta oleh masyarakat miskin. Keberadaaan praktisi swasta melebihi jumlah penyedia layanan publik dan mampu menawarkan kemudahan akses serta lebih menjadi pilihan dibandingkan fasilitas layanan publik.Strategi DOTS mendeteksi kurang dari 30% dari perkiraan kasus TB baru yang ada di masyarakat. Missing case yang mencapai 70% tidak mungkin dapat ditemukan kecuali dengan pendekatan strategi inovasi. Keterlibatan praktisi swasta dilibatkan dalam penerapan DOTS diharapkan dapat meningkatkan jangkauan layanan TB berkualitas pada masyarakat miskin.IsiPelibatan praktisi swasta merupakan strategi  dalam pengendalian TB. Manfaat yang diharapkan dalam kemitraan ini dapat meningkatkan manajemen kasus dan akses layanan TB yang bermutu bagi masyarakat  yang tinggal didaerah kumuh perkotaan. Keberhasilan strategi ini ditandai dengan makin meningkatnya partisipasi praktisi swasta dalam penemuan, pengobatan dan pelaporan kasus TB.Reformasi kesehatan dalam implementasi PPM dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan agar semua praktisi swasta yang terletak pada garis depan bersedia terlibat dalam kolaborasi. Penekanan dilakukan terhadap perubahan bentuk dari PPM generik menjadi PPM modern agar kemitraan berjalan efektif. Hubungan kontak kerja harus mengakomodir kebutuhan dari sektor swasta dan harapan Program TB dalam mencapai target. Modernisasi PPM dikemas dengan pendekatan model bisnis sosial dengan paket intervensi yang disesuaikan dengan layanan sektor swasta. Kontrak kerja dilakukan dengan organisasi perantara dalam melaksanakan fungsi manajemen. Peningkatan dan pemanfaatan kapasitas dengan pendekatan ganda baik dilayanan publik maupun sektor swasta dengan alternative pendanaan dapat bersumber dari swasta.Lesson LearnPublic Privat Mix dalam pengendalian TB dengan melibatkan sektor swasta merupakan perubahan struktur yang terjadi dalam bidang kesehatan. Efektifitas PPM membutuhkan modernisasi dalam implementasinya. Pilihan strategi dengan mengemas program  yang ramah bisnis dan mengontrak organisasi perantara yang tepat untuk melakukan fungsi manajerial baru yang proaktif.Kata Kunci PPM TB, Modernisasi, Kumuh Perkotaan.
Tantangan Dalam Pengelolaan Regulasi Penjaja Makanan di Wilayah Sekitar Lingkungan Sekolah di Kota Samarinda Eka Putri Rahayu; Riana Dian Anggraini
Berita Kedokteran Masyarakat (BKM) Vol 34, No 11 (2018): Proceedings of the 4th UGM Public Health Symposium
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1152.009 KB) | DOI: 10.22146/bkm.40457

Abstract

Latar belakang: Makanan dan jajanan sekolah merupakan masalah yang perlu menjadi perhatian masyarakat, khususnya orang tua, pendidik dan pengelola sekolah. Pangan jajanan merupakan jenis makanan yang sangat dikenal terutama di kalangan anak sekolah. Dengan banyaknya makanan dan jajanan sekolah yang mengandung bahan kimia berbahaya di kantin sekolah, wilayah sekitar lingkungan sekolah dan penjaja makanan di sekitar sekolah merupakan agen penting yang bisa mengkonsumsi makanan tidak sehat. Komitmen orang tua dan pendidik diperlukan untuk mengawasi makanan dan jajanan sekolah yang dikonsumsi. Tantangan sesungguhnya terletak pada pengelola sekolah diharapkan dapat membuat kebijakan tertentu terhadap pedagang miskin penjual makanan di wilayah lingkungan sekitar sekolah. Metode: Metode yang digunakan dalam penulisan studi kasus ini adalah metode penelusuran pustaka. Bahan pustaka yang terkumpul selanjutnya dianalisis dan disintesis untuk membangun suatu alternatif solusi dalam  meningkatkan keamanan pangan jajanan anak sekolah. Hasil: Di beberapa sekolah swasta yang ada di kota Samarinda, memberlakukan kebijakan larangan menjajakan makanan di area sekolah. Namun, untuk di sekolah negeri, kebijakan yang diberlakukan tidak terlalu berdampak. Hal ini dikarenakan penjaja makanan hanya beberapa hari saja meniadakan kegiatan berjualan, kemudian muncul lagi di hari selanjutnya. Peran pemerintah untuk mengawasi penjualan makanan jajanan belum maksimal, yaitu belum memberikan penyuluhan kepada PJAS secara berkala dan rutin, belum juga dilakukan pelatihan penjaja membuat pangan jajanan yang aman, larangan kepada penjaja untuk tidak menjual pangan jajanan yang mengandung bahan tambahan pangan yang berbahaya juga belum secara ketat dilakukan. Simpulan: Perilaku jajan anak sekolah perlu mendapat perhatian khusus karena anak sekolah merupakan kelompok yang rentan terhadap penularan bakteri dan virus yang disebarkan melalui makanan atau biasa disebut dengan food borne disease. Pengelola sekolah belum memberlakukan regulasi ketat terkait aturan yang mengatur apa yang boleh dijual dan komposisi bahannya pada penjual makanan di sekitar wilayah lingkungan sekolah.
Perlukah Sekolah Memiliki lulusan SKM Sebagai Manajer Kesehatan Di Sekolah? Eka Putri Rahayu; Riana Dian Anggraini
Berita Kedokteran Masyarakat (BKM) Vol 34, No 11 (2018): Proceedings of the 4th UGM Public Health Symposium
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (792.502 KB) | DOI: 10.22146/bkm.40489

Abstract

Latar belakang: Mempromosikan kesehatan anak-anak dan remaja melalui kebijakan di lingkungan sekolah adalah tanggung jawab yang sering dibagi oleh sektor kesehatan dan pendidikan. Sekolah adalah institusi fundamental dalam membangun kesejahteraan dan kesehatan negara, dan pendidikan telah terbukti menjadi faktor kunci dalam mempersempit perbedaan antara kaya dan miskin. Proses pengembangan karakteristik siswa sekolah adalah kursus instruksional manajemen oleh sekolah. Platform dari kata "kesehatan di sekolah", yaitu 1) siswa sehat, 2) sekolah sehat, 3) lingkungan sehat, dan 4) Komunitas sosial yang sehat. Selain mendapatkan tentang ajaran pendidikan, sekolah dapat dijadikan sebagai basis promosi kesehatan pada usia dini. Dimanakah peran kesehatan dapat berperan? Apakah perlu memasukkan kurikulum kesehatan sekolah sebagai basis pengajaran?. Metode: Metode yang digunakan dalam penulisan studi kasus ini adalah metode penelusuran pustaka (literature review). Bahan pustaka yang terkumpul selanjutnya dianalisis dan disintesis untuk membangun suatu alternatif solusi dalam  meningkatkan keamanan pangan jajanan anak sekolah. Hasil: Seorang koordinator kesehatan sekolah, dalam hal ini manajer kesehatan, juga bisa  menjadi sumber yang berharga karena dia dapat memikul tanggung jawab dalam hal promosi kesehatan sekolah. Sarjana SKM diperlukan untuk menjadi manajer kesehatan di sekolah yang akan mengemban tanggung jawab di bidang promosi kesehatan sekolah. Simpulan: Upaya kolaborasi antara Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan untuk mendukung promosi kesehatan sekolah dapat ditingkatkan melalui peningkatan pemangku kepentingan. Keterlibatan pemangku kepentingan tampaknya menjadi penting di seluruh proses kebijakan, mulai dari identifikasi kebutuhan akan kebijakan, hingga menganalisis opsi dan mengembangkan kebijakan, hingga adopsi kebijakan, implementasi dan evaluasi dan dukungan. Disinilah pentingnya ada sarjana lulusan Kesehatan, khususnya sarjana SKM sebagai manajer kesehatan. Sehingga, status kesehatan siswa terpantau dan promosi kesehatan sekolah dapat berjalan dengan baik. Pendidikan dan kesehatan dapat berkolaborasi untuk mencapai hasil kesehatan masyarakat dan tingkat keterampilan dan pengetahuan yang tinggi pada siswa.
Strategi fanstastik pesan kesehatan mental pada follower selebritis Riana Dian Anggraini; Eka Putri Rahayu
Berita Kedokteran Masyarakat (BKM) Vol 35, No 4 (2019): Proceedings the 5th UGM Public Health Symposium
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (909.153 KB) | DOI: 10.22146/bkm.45147

Abstract

 Pendahuluan: Liputan media tentang pesona selebritis menghadapi masalah kesehatan mampu menarik perhatian public. Pada hari Robin Wiliam meninggal dunia, dilaporkan Google lebih dari 10 juta mencari informasi dan menjadi trending topik pengguna media social. Ruang interaktif media sosial mendorong publik untuk mencari dan menanggapi informasi topik yang beredar dimedia masa. Prevalensi gangguan mental berdasarkan Riskesdas 2013 dengan gejala depresi dan kecemasan diatas usia 15 tahun mencapai 6% penduduk Indonesia dan gangguan jiwa berat sebanyak 1,7 per 1000 penduduk. Pemanfaatan kekuatan dari pengungkapan masalah kesehatan selebritis dimedia social sebagai potensi peluang edukasi dan mengurangi stigma gangguan mental.Tujuan: Penelitian ini bertujuan menempatkan pesan kesehatan masyarakat terbaik dan efektif dengan memanfaatkan kekuatan selebritis dalam menghadapi masalah kesehatan, mengeksplorasi persepsi pengguna informasi tentang kesehatan mental dan nada pesan kesehatan yang harus disampaikan.  Metode: Penelitian merupakan studi literatur dengan menelaah 7 jurnal terkait dengan worship celebrity berhubungan dengan kesehatan mental. Hasil dari telaah ini digunakan untuk mengidentifikasi strategi penempatan dan pesan edukasi efektif kesehatan mental.Hasil: Pesan kesehatan mental efektif pada komunitas penggemar selebritis melalui media social facebook dan twiter. Penempatan terbaik bersamaan dengan liputan berita selebriti secara online. Ketergantungan konsumsi informasi dipermudah akses dan penyebaran melalui media internet. Populasi usia dewasa muda sebagai sasaran utama penyampaian pesan ini merupakan mayoritas komunitas penggemar dan pengguna internet. Konten penyampaian pesan harus mampu menarik sasaran dan mengalihkan dari situs yang berorientasikan berita dan acara selebritis ke situs pendidikan kesehatan.  Kesimpulan: Perubahan persepsi tentang kesehatan mental dapat lebih membuka informasi tentang tanda, gejala, penyebab dan pencarian solusi serta menawarkan dukungan bantuan antar pengguna informasi. Pemangku kebijakan kesehatan harus memantau berita pengumuman masalah kesehatan selebritis dengan cara mendidik dan bertanggung jawab. Selebritis dapat menjadi role model dalam menghadapi dan menyikapi masalah kesehatan mental serta sebagai duta pemerintah dalam menyebarkan pesan kesehatan.