Sengketa pencabutan izin usaha pertambangan PT Tambang Mas Sangihe (PT TMS) menjadi perhatian publik karena menyangkut legalitas tindakan administratif pemerintah, perlindungan lingkungan hidup, serta pemenuhan hak masyarakat di wilayah pulau kecil yang rentan secara ekologis. Penelitian ini bertujuan menganalisis dasar pertimbangan hakim dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 650 K/TUN/2022 dan menelaah akibat hukumnya terhadap kewenangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta status izin usaha PT TMS. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, serta pendekatan konseptual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Mahkamah Agung menguatkan putusan judex facti karena menemukan cacat prosedural yang signifikan dalam proses penerbitan izin. Cacat tersebut meliputi tidak dilibatkannya masyarakat terdampak dalam penyusunan AMDAL, tidak terpenuhinya persyaratan pengelolaan pulau kecil sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta ketiadaan rekomendasi wajib dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Dalam pertimbangannya, hakim menerapkan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dan keadilan ekologis untuk menilai potensi kerusakan lingkungan yang dapat terjadi di Pulau Sangihe. Implikasi hukum dari putusan ini adalah kewajiban bagi Kementerian ESDM untuk melakukan pemulihan administratif, memperbaiki mekanisme evaluasi izin, dan memperketat implementasi asas legalitas dalam seluruh proses perizinan tambang. Sementara itu, izin operasi PT TMS dinyatakan batal baik secara formal maupun substantif sehingga tidak dapat dipulihkan. Apabila PT TMS berniat melanjutkan kegiatan, perusahaan tersebut hanya dapat mengajukan permohonan perizinan baru melalui prosedur yang sepenuhnya sesuai ketentuan perundang-undangan.