Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search
Journal : Jurnal Mediasas : Media Ilmu Syari'ah dan Ahwal Al-Syakhsiyyah

Restorative Justice in Settlement of Indigenous Based Land Dispute: Study of Mpili Village Donggo District Bima Donggo Regency Darmawansyah, Darmawansyah; Jainuddin, Jainuddin; Hikmah, Hikmah
Jurnal Mediasas: Media Ilmu Syari'ah dan Ahwal Al-Syakhsiyyah Vol. 8 No. 2 (2025): Jurnal Mediasas: Media Ilmu Syariah dan Ahwal Al-Syakhsiyyah
Publisher : Islamic Family Law Department, STAI Syekh Abdur Rauf Aceh Singkil, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58824/mediasas.v8i2.344

Abstract

The study discusses related to Justice Restorative Analysis of the Resolution of Land Disputes through Indigenous. The background of the problem in the study is the resolution of the dispute of land heirs through formal law is considered inadequate in solving the root of the problem thoroughly, because it ignores the social and cultural aspects of the local community. The research method used is an empirical juridical approach with qualitative methods. Data is collected through library studies, in-depth interviews with customary figures, legal experts, and parties involved in heir land disputes. The results of the study showed that the indigenous mechanisms in resolving land disputes generally reflect the restorative principles of justice, namely the restorative principles of social relations, inter-party dialogue, mutual consensus, and resolve oriented towards communal justice and social harmony. Indigenous settlement proved more acceptable by the community of Mpili Village Donggo District Bima because it is participatory, flexible, and rooted in local values. [Penelitian ini membahas terkait dengan Analisis Restoratif Justice terhadap Penyelesaian Sengketa Tanah Waris melalui Adat. Latar belakang permasalahan dalam penelitian ialah penyelesaian sengketa tanah waris melalui hukum formal dianggap tidak memadai dalam menyelesaikan akar permasalahan secara menyeluruh, karena mengabaikan aspek sosial dan budaya masyarakat setempat. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis empiris dengan metode kualitatif. Data dikumpulkan melalui studi kepustakaan, wawancara mendalam dengan tokoh adat, ahli hukum, serta pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa tanah waris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mekanisme adat dalam menyelesaikan sengketa tanah waris secara umum mencerminkan prinsip-prinsip restoratif justice, yaitu pemulihan hubungan sosial, dialog antar pihak, musyawarah mufakat, serta penyelesaian yang berorientasi pada keadilan komunal dan harmoni sosial. Penyelesaian adat terbukti lebih diterima oleh masyarakat Desa Mpili Kecamatan Donggo Kabupaten Bima karena bersifat partisipatif, fleksibel, dan berakar pada nilai-nilai lokal.]
The Urgency of The Selarian Statement In Proof of The Eligibility of Marriage Dispensation Cases In The Bima Class 1A Religious Court Zulkarnain, Feri; Jainuddin, Jainuddin; Putra, Muh. Yunan
Jurnal Mediasas: Media Ilmu Syari'ah dan Ahwal Al-Syakhsiyyah Vol. 8 No. 2 (2025): Jurnal Mediasas: Media Ilmu Syariah dan Ahwal Al-Syakhsiyyah
Publisher : Islamic Family Law Department, STAI Syekh Abdur Rauf Aceh Singkil, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58824/mediasas.v8i2.373

Abstract

This research explores the urgency and legal relevance of the Surat Pernyataan Selarian (Elopement Statement Letter) in proving the feasibility of marriage dispensation applications at the Bima Class 1A Religious Court. Marriage dispensation, which allows underage couples to legally marry under special conditions, often involves cultural elements such as elopement, especially in traditional communities like Bima. The study aims to assess how this letter functions as supporting evidence, its legal standing, and the extent to which it influences judicial decisions. Using an empirical qualitative method, the research was conducted through field observations, in-depth interviews with judges and court staff, and document analysis of dispensation case files. The findings reveal that although the elopement statement letter is not legally mandated, it is commonly submitted to demonstrate the seriousness of the couple’s relationship and to gain social legitimacy. Judges often take the letter into consideration as it reflects cultural values and community support, even though it lacks formal legal weight. The study also identifies challenges in the use of such letters, including lack of standardization, risk of fabrication, and inconsistency in judicial interpretations. The practice reveals a tension between formal legal standards and traditional customs, raising concerns about the protection of minors and the uniformity of legal application. In conclusion, while the elopement statement letter holds cultural significance and practical influence in local court procedures, its legal implications require careful regulation. The research recommends establishing clearer guidelines and integrating formal support mechanisms to ensure that cultural practices do not undermine the legal protections intended for children.   [Penelitian ini mengeksplorasi urgensi dan relevansi yuridis dari Surat Pernyataan Selarian dalam pembuktian kelayakan permohonan dispensasi nikah di Pengadilan Agama Bima Kelas 1A. Dispensasi nikah, yang memungkinkan pasangan di bawah umur untuk menikah secara sah dalam kondisi tertentu, sering kali melibatkan unsur budaya seperti praktik selarian, khususnya di masyarakat tradisional seperti Bima. Penelitian ini bertujuan untuk menilai bagaimana surat tersebut berfungsi sebagai alat bukti pendukung, kedudukan hukumnya, serta sejauh mana pengaruhnya terhadap pertimbangan hakim dalam pengambilan putusan. Dengan menggunakan metode kualitatif empiris, penelitian ini dilakukan melalui observasi lapangan, wawancara mendalam dengan hakim dan staf pengadilan, serta analisis dokumen berkas perkara dispensasi nikah. Temuan penelitian menunjukkan bahwa meskipun Surat Pernyataan Selarian tidak diwajibkan secara hukum, surat ini umumnya dilampirkan untuk menunjukkan keseriusan hubungan pasangan serta memperoleh legitimasi sosial. Hakim sering mempertimbangkan surat tersebut karena mencerminkan nilai-nilai budaya dan dukungan masyarakat, meskipun surat itu tidak memiliki kekuatan hukum formal. Penelitian ini juga mengidentifikasi berbagai tantangan dalam penggunaan surat tersebut, termasuk tidak adanya standar baku, potensi pemalsuan, dan ketidakkonsistenan dalam interpretasi yudisial. Praktik ini memperlihatkan adanya ketegangan antara standar hukum formal dengan adat istiadat lokal, yang menimbulkan kekhawatiran terhadap perlindungan anak dan keseragaman penerapan hukum. Sebagai kesimpulan, meskipun Surat Pernyataan Selarian memiliki makna kultural dan pengaruh praktis dalam prosedur peradilan lokal, implikasi hukumnya memerlukan pengaturan yang cermat. Penelitian ini merekomendasikan perlunya pedoman yang lebih jelas serta integrasi mekanisme pendukung formal guna memastikan bahwa praktik budaya tidak melemahkan perlindungan hukum yang ditujukan bagi anak-anak.]