WHO mencatat secara global prevalensi anak dan remaja usia 5–19 tahun dengan status kurus sebesar 10,5%, kelebihan berat badan 18%, dan obesitas 6,8%. Data Riskesdas 2018 menunjukkan peningkatan proporsi gizi lebih pada remaja usia 16–18 tahun dari 11,5% menjadi 13,6%. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan pola makan dan aktivitas fisik dengan kejadian gizi lebih pada siswa MAN 2 Palu. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain cross sectional. Populasi sebanyak 310 siswa, dan sampel sebanyak 175 responden yang dipilih secara simple random sampling. Data dikumpulkan menggunakan kuesioner SQ-FFQ, kuesioner aktivitas fisik, serta pengukuran berat dan tinggi badan. Analisis data menggunakan uji Somers’d. Hasil penelitian menunjukkan 95 responden (54,3%) mengalami gizi lebih. Terdapat hubungan signifikan antara asupan karbohidrat (p=0,000), protein (p=0,000), dan lemak (p=0,000) dengan kejadian gizi lebih. Namun, asupan serat (p=0,046) dan aktivitas fisik (p=0,820) tidak memiliki hubungan yang signifikan. Asupan lemak merupakan faktor yang paling dominan terkait kejadian gizi lebih (OR=2,158 95%CI :1.016-4.229). Temuan ini menunjukkan perlunya intervensi gizi yang menekankan pengendalian asupan lemak melalui edukasi gizi di sekolah, pengaturan kantin sehat, dan keterlibatan orang tua dalam membentuk pola makan sehat di rumah. Upaya ini penting untuk menekan prevalensi gizi lebih dan mencegah risiko penyakit tidak menular sejak usia remaja.