Tulisan ini menganalisis secara yuridis keabsahan perjanjian kerja sama pelayanan medis antara pemilik klinik dan tenaga medis, dengan studi kasus Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 262/PDT/2018/PT.DKI. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan memanfaatkan studi literatur terhadap peraturan perundang-undangan, doktrin hukum, dan putusan pengadilan, termasuk Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kasus yang diangkat berdasarkan sengketa wanprestasi yang diajukan oleh klinik terhadap dokter yang mengakhiri kerja sama secara sepihak, dengan isu krusial terkait keabsahan perjanjian mengingat dokter belum memiliki Surat Izin Praktik (SIP) saat perjanjian ditandatangani. Hasil analisis menunjukkan bahwa ketiadaan SIP pada saat perjanjian kerjasama berpotensi menjadikannya batal demi hukum berdasarkan Pasal 1320 dan 1337 KUH Perdata serta implikasi larangan mempekerjakan tenaga medis tanpa izin praktik dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023. Putusan pengadilan menguatkan pentingnya pemenuhan syarat sah perjanjian, termasuk legalitas subjek berupa kepemilikan SIP, sebagai prasyarat fundamental dalam kerja sama di sektor pelayanan kesehatan. Integritas administratif tenaga medis merupakan aspek krusial dalam membangun hubungan kontraktual yang sah dan berkekuatan hukum, serta menekankan perlunya due diligence dalam verifikasi kredensial tenaga kesehatan untuk memitigasi risiko hukum.