Pertambangan emas ilegal (Pertambangan Tanpa Izin atau PETI) tetap menjadi masalah lingkungan dan hukum yang kompleks di Indonesia, termasuk di Kabupaten Pasaman Barat. Kegiatan ini menimbulkan dampak yang parah, seperti degradasi ekosistem, penurunan kualitas air, sedimentasi sungai, serta risiko sosial-ekonomi yang signifikan bagi masyarakat setempat. Artikel ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan merujuk pada peraturan perundang-undangan nasional seperti UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), serta PP No. 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, disertai temuan dari berbagai studi akademik terbaru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun instrumen hukum tersebut telah tersedia, implementasinya di lapangan masih menghadapi berbagai tantangan, antara lain keterbatasan kapasitas penegakan hukum, kesulitan dalam pengumpulan bukti, dinamika politik–ekonomi lokal, serta ketergantungan masyarakat terhadap PETI sebagai mata pencaharian. Pembahasan dalam artikel ini mengintegrasikan temuan akademik dengan kondisi empiris di Pasaman Barat untuk menyoroti kesenjangan antara regulasi dan praktik. Penelitian ini menyimpulkan bahwa penanganan PETI memerlukan pendekatan yang terintegrasi, mencakup penegakan hukum secara multi-pintu, partisipasi masyarakat yang lebih kuat, formalisasi pertambangan rakyat melalui WPR (Wilayah Pertambangan Rakyat) dan IPR (Izin Pertambangan Rakyat), serta restorasi ekologis daerah aliran sungai sebagai bagian dari solusi yang berkelanjutan.