Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Pelanggaran Asas Good Faith terhadap Perjanjian Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) Oleh Korea Utara Syarifatul Fadhilah; Amanda Fathona Fadhila; Universitas Bengkulu; Ema Septaria; M. Ilham Adepio
Majelis: Jurnal Hukum Indonesia Vol. 2 No. 2 (2025): Mei : Majelis : Jurnal Hukum Indonesia
Publisher : Asosiasi Peneliti dan Pengajar Ilmu Hukum Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62383/majelis.v2i2.634

Abstract

This research examines North Korea's violation of the principle of good faith under the Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) and its legal consequences. The main issue addressed in this study is North Korea’s breach of the good faith principle within the framework of the NPT, which raises legal implications regarding its status and obligations as a party to the treaty. Although North Korea was formally bound by the NPT, it secretly developed a nuclear weapons program, demonstrating non-compliance with the fundamental principle of international treaty implementation. This issue was further exacerbated by its refusal to allow inspections by the International Atomic Energy Agency (IAEA) and its unilateral withdrawal from the NPT, which has sparked debate over the legitimacy and legality of such action.Using a normative juridical approach, this study analyzes North Korea’s clandestine development of nuclear weapons while still a member of the NPT, as well as the validity of its withdrawal from the treaty. The findings show that North Korea violated the principle of good faith through its secret nuclear program, refusal of IAEA inspections, and withdrawal that did not meet the requirements of Article X of the NPT. The withdrawal may be deemed invalid as it was conducted in bad faith and without fulfilling the treaty's formal provisions. The legal consequences include the continued applicability of obligations under the NPT and state responsibility for breaches of international law. Ideal forms of accountability include the cessation of the nuclear program, payment of reparations, guarantees of non-repetition, and renewed compliance with NPT provisions through verifiable denuclearization.
Privatisasi Keberadaan Vila Di Sempadan Pantai Labuan Bajo Dalam Tinjauan Hukum Penataan Ruang Adela Julianda; Martinus Alexander Simanjuntak; Amanda Fathona Fadhila; Wulandari; Edra Satmaidi
Jurnal Ilmiah Kutei Vol 24 No 1 (2025)
Publisher : UNIB Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33369/jik.v24i1.41719

Abstract

Artikel ini membahas mengenai pembangunan vila di sempadan pantai Labuan Bajo yang menimbulkan tantangan besar dalam hal penataan ruang berkelanjutan dan perlindungan hak masyarakat lokal. Privatisasi ruang pesisir berpotensi mengancam akses masyarakat Manggarai Barat terhadap sumber daya alam pesisir yang menjadi mata pencaharian utama mereka. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang berfokus pada kajian terhadap peraturan perundang-undangan yang relevan, seperti Undang Undang Nomor 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai dan ketentuan dalam RZWP3K, serta peraturan lainnya yang berkaitan dengan penataan ruang . Pendekatan ini digunakan untuk menganalisis kesesuaian pembangunan vila di sempadan pantai Labuan Bajo dengan norma hukum tata ruang serta implikasinya terhadap hak masyarakat dan kelestarian lingkungan. Kebaruan dalam penelitian ini terletak pada analisis yuridis terhadap konflik ruang pesisir antara kepentingan investasi dan hak masyarakat lokal di kawasan pariwisata super prioritas. Privatisasi pembangunan vila di sempadan pantai Labuan Bajo memiliki implikasi hukum yang signifikan terhadap perlindungan hak masyarakat Manggarai Barat dan keberlanjutan lingkungan pesisir. Pembangunan tersebut berpotensi melanggar prinsip-prinsip tata ruang yang adil dan berkelanjutan, termasuk ketentuan sempadan pantai yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2016, serta zonasi wilayah pesisir yang ditetapkan dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K). Pelanggaran terhadap peraturan tata ruang ini dapat mengancam hak masyarakat untuk mengakses sumber daya alam pesisir yang merupakan mata pencaharian mereka, serta merusak ekosistem pesisir yang penting untuk mitigasi bencana dan keberlanjutan kehidupan sosial-ekonomi. Konsekuensi hukum dari pelanggaran tersebut mencakup sanksi administratif dan pidana, gugatan perdata oleh masyarakat terdampak, dan potensi penyalahgunaan wewenang dalam pemberian izin pembangunan.
Membedah Peran Strategis Kementerian Ketenagakerjaan Dalam Mengawal Hak Pekerja Di Era Modern Aurellya Ramadhani Syainda Putri; Tasya Amanda Putri; Amanda Fathona Fadhila; Khansa Athaya Nurul Kamila
Jurnal Kajian Hukum Dan Kebijakan Publik | E-ISSN : 3031-8882 Vol. 3 No. 1 (2025): Juli - Desember
Publisher : CV. ITTC INDONESIA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62379/mpzzwz95

Abstract

Kementerian Ketenagakerjaan memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga dan mengawal hak-hak pekerja, terutama di era modern saat ini yang ditandai dengan perubahan cepat dalam dunia kerja. Perkembangan teknologi dan globalisasi membawa berbagai tantangan baru seperti munculnya jenis pekerjaan fleksibel, penggunaan platform digital, serta perubahan pola kerja yang memerlukan penyesuaian kebijakan ketenagakerjaan. Artikel ini membahas peran strategis Kementerian dalam menyesuaikan berbagai kebijakan dan program agar tetap relevan dengan kebutuhan pekerja dan pengusaha. Lalu arrikel ini juga menyoroti bagaimana Kementerian meningkatkan akses perlindungan hukum dan layanan pengaduan bagi pekerja agar hak mereka tidak terabaikan. Dengan pendekatan yang komprehensif, penelitian ini menggambarkan upaya dan langkah-langkah yang diambil untuk menciptakan kondisi kerja yang adil dan berkelanjutan. Hasil kajian menunjukkan bahwa langkah-langkah adaptif dan inovatif dari Kementerian sangat diperlukan agar perlindungan hak pekerja dapat berjalan efektif, sekaligus meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja di Indonesia di tengah perubahan era digital.