Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Urgency of Expanding the Meaning of State Financial Losses Based on Ecological Losses Resulting from Corruption in the Natural Resources Sector Jiwanti, Ainun; Mona Ervita
JUSTISI Vol. 11 No. 3 (2025): JUSTISI
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sorong

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33506/js.v11i3.4334

Abstract

This study aims to analyze the urgency of expanding the meaning of state financial losses by including ecological losses resulting from corruption in the natural resource sector based on an ecocentric approach. This study uses a normative juridical method with a statute approach, a case approach, and a conceptual approach. The novelty of this study lies in the use of an ecocentric approach in the concept of state financial loss, which asserts that natural resources are part of state wealth, so their damage due to corruption in the natural resource sector must be considered as state financial loss. However, this contradicts the current legal approach, which only recognizes “actual loss” based on Constitutional Court Decision No. 25/PUU/XIV/2016, thereby hindering the recognition of ecological losses as part of state financial losses. The results of the study show that corruption in the SDA sector not only has an impact on state financial losses but also causes severe environmental damage. However, current law enforcement still uses an anthropocentric approach that only considers state losses in financial terms without including ecological damage caused by SDA corruption as part of state financial losses, so there is an urgent need to expand the meaning of state financial losses to include ecological losses. The conclusion of the research suggests that incorporating ecological losses into the calculation of state financial losses ensures that criminal law enforcement holds corrupt actors accountable not only for financial aspects but also for environmental restoration, thereby supporting ecological justice and the sustainability of natural resources.
GANTI KERUGIAN KORBAN SERTA MODUS PRAKTIK PERDAGANGAN ORANG Isma Nurillah; Hamonangan Albariansyah; Mona Ervita; Rini Purnamawati
Sriwijaya Journal of Private Law Volume 2, No.1 : April 2025
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.28946/sjpl.v2i1.4806

Abstract

Perdagangan orang atau TPPO telah menjadi masalah global yang signifikan dan memiliki sejarah panjang terkait praktik perbudakan serta eksploitasi manusia. Dalam perkembangannya, perdagangan manusia tidak hanya mencakup perbudakan tradisional, tetapi juga eksploitasi seksual, pekerja paksa, perbudakan modern, dan perdagangan organ. Praktik-praktik ini menimbulkan dampak buruk yang mendalam bagi korban, baik secara fisik, mental, maupun sosial.Secara definisi, perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, atau penerimaan seseorang dengan menggunakan ancaman, kekerasan, atau penyalahgunaan kekuasaan demi tujuan eksploitasi. Tulisan ini memuat permasalahan berupa Modus kejahatan Perdagangan orang serta peran Pemerintah Provinsi sebagai Gugus Tugas dalam upaya penanggulangan Perdagangan orang. Jenis penelitian yang penulis gunakan yakni penelitian Hukum Normatif serta menggunakan data sekunder. Hasil penelitian menunjukan bahwa Di Indonesia, tindak pidana ini diatur melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Undang-undang ini menyediakan kerangka hukum dan sanksi berat bagi pelaku, termasuk hukuman penjara dan denda besar. Di tingkat internasional, TPPO diatur dalam Protokol Palermo yang disusun oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai panduan global dalam menangani kejahatan ini. Modus operandi TPPO bervariasi dan terus berubah. Beberapa modus yang umum termasuk penipuan melalui tawaran pekerjaan fiktif, penculikan, serta manipulasi emosional. Dalam beberapa kasus, pelaku mendekati korban melalui media sosial dengan berbagai janji palsu. Ada juga pelaku yang memalsukan dokumen untuk membawa korban ke luar negeri. Di tingkat global, perdagangan orang melibatkan jaringan rumit yang mencakup negara asal, transit, dan tujuan. Jaringan ini memanfaatkan celah hukum dan perbedaan kebijakan antarnegara. Korban sering kali dieksploitasi di negara tujuan, terutama dalam sektor-sektor seperti hiburan, perkebunan, konstruksi, dan pekerjaan rumah tangga. Organisasi kriminal internasional sering berada di balik praktik ini, memanfaatkan kondisi kemiskinan, konflik sosial, dan kurangnya pendidikan sebagai faktor yang memudahkan perekrutan korban.Pemberantasan TPPO membutuhkan kerja sama internasional yang kuat, termasuk penguatan regulasi, peningkatan kesadaran publik, serta pemberdayaan korban agar mereka dapat terbebas dari siklus eksploitasi.