Hukum perjanjian merupakan instrumen fundamental dalam sistem hukum perdata Indonesia yang menjamin kepastian hukum bagi para pihak. Prinsip kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata memberikan ruang luas bagi para pihak untuk menentukan isi perjanjian, namun kebebasan tersebut tidak bersifat mutlak. Dalam praktik, sering terjadi ketidakseimbangan posisi yang menimbulkan penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden), di mana pihak yang lebih kuat memanfaatkan kondisi lemah pihak lain untuk memperoleh keuntungan yang tidak adil. Walaupun KUHPerdata tidak secara eksplisit mengatur doktrin ini, Mahkamah Agung melalui yurisprudensi telah mengadopsinya sebagai dasar penilaian keabsahan perjanjian. Artikel ini mengkaji kewenangan hakim dalam menilai adanya penyalahgunaan keadaan dengan fokus pada Putusan Mahkamah Agung No. 1072 K/Pdt/2002 mengenai sengketa kepemilikan tanah ladang. Penelitian menggunakan metode normatif dengan pendekatan perundang-undangan, konseptual, dan yurisprudensi. Analisis menunjukkan bahwa hakim tidak hanya berpatokan pada teks perjanjian, tetapi juga menilai kondisi faktual yang melatarbelakangi terbentuknya perjanjian, termasuk adanya tekanan, ketidakseimbangan posisi, dan indikasi cacat kehendak. Putusan tersebut menegaskan peran hakim sebagai penegak keadilan substantif yang melindungi pihak lemah dari perjanjian yang tidak wajar. Hasil penelitian ini menegaskan pentingnya kewenangan hakim dalam mengoreksi ketidakseimbangan kontraktual melalui penerapan doktrin misbruik van omstandigheden. Dengan demikian, konsep ini berfungsi sebagai instrumen korektif terhadap asas kebebasan berkontrak, sekaligus memperkuat prinsip keadilan dan itikad baik dalam hukum perjanjian Indonesia. Kata kunci: Kewenangan Hakim, Penyalahgunaan Keadaan, Perjanjian. Abstract Contract law is a fundamental instrument within Indonesia’s civil law system that ensures legal certainty for the parties involved. The principle of freedom of contract, as stipulated in Article 1338 paragraph (1) of the Civil Code, grants broad autonomy for parties to determine the content of their agreements. However, this freedom is not absolute. In practice, imbalances often occur that lead to abuse of circumstances (misbruik van omstandigheden), where the stronger party exploits the weaker party’s condition to gain unfair advantage. Although the Civil Code does not explicitly regulate this doctrine, the Supreme Court through jurisprudence has adopted it as a basis for assessing the validity of contracts. This article examines the authority of judges in evaluating the existence of abuse of circumstances, with a focus on Supreme Court Decision No. 1072 K/Pdt/2002 concerning a dispute over ownership of agricultural land. The study employs a normative legal research method with statutory, conceptual, and jurisprudential approaches. The analysis reveals that judges do not merely rely on the written text of contracts but also consider factual circumstances surrounding their formation, including pressure, imbalance of bargaining positions, and indications of defective consent. The decision underscores the role of judges as enforcers of substantive justice who protect weaker parties from unfair agreements. The findings affirm the importance of judicial authority in correcting contractual imbalances through the application of the misbruik van omstandigheden doctrine. Thus, this concept serves as a corrective instrument to the principle of freedom of contract, while simultaneously reinforcing justice and good faith in Indonesian contract law. Keywords: Judicial Power, Abuse of Circumstances, Agreement.