Risky, Saiful
Unknown Affiliation

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Repositioning Delegated Authority and Binding Power of Ministerial Regulations in Indonesia Risky, Saiful; Al-Fatih, Sholahuddin; Esfandiari, Fitria; Anoraga, Surya
Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM Vol. 32 No. 2: MEI 2025
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20885/iustum.vol32.iss2.art2

Abstract

This research examines the position and binding power of Ministerial Regulation (Permen) and Coordinating Ministerial Regulation (Permenko) in Indonesia, after the Job Creation Law (Law No. 6/2023). The formulation of the problem includes (1) how the legal construction of Permen as a form of delegated legislation is, and (2) how is the coordinative nature and normative position of Permenko in the hierarchy of national regulations. The method used doctrinal analysis of positive legal norms combined with legislative delegation theory and public administration theory on coordination. The main findings reveal that the effectiveness of Permen depends on the clarity of delegation clauses and enforcement mechanisms, while the effectiveness of Permenko is determined by (a) clarity of delegation, (b) inclusion of sanction provisions, (c) layering regulation through supporting government regulation/presidential regulation, (d) participatory drafting mechanisms, and (e) accountability mechanisms such as reporting clauses and judicial review. This research contributes by formulating an integrated normative blueprint for the design of Permenko that integrates legal and administrative elements, as well as recommendations for amending Law No. 12/2011 and issuing supporting regulations. The implications of the study include strengthening legal legitimacy, increasing bureaucratic compliance, and improving checks and balances mechanisms in the delegation of executive authority. With the implementation of this blueprint, Permenko are expected to become a strategic instrument to ensure the consistency of national public policies, strengthen the principle of constitutionalism, and realize good governance in Indonesia.Keywords: Binding Power, Delegated Authority, Ministerial Regulations, Normative Hierarchy AbstrakPenelitian ini mengkaji kedudukan dan daya ikat Peraturan Menteri (Permen) dan Peraturan Menteri Koordinator (Permenko) di Indonesia pasca UU Cipta Kerja (UU No. 6/2023). Rumusan masalah meliputi (1) bagaimana konstruksi hukum atas Permen sebagai salah satu bentuk delegasi peraturan perundang-undangan, dan (2) bagaimana sifat koordinatif dan kedudukan normatif Permenko dalam hierarki peraturan perundang-undangan nasional. Metode yang digunakan adalah analisis doktrinal norma hukum positif yang dipadukan dengan teori delegasi peraturan perundang-undangan dan teori administrasi publik tentang koordinasi. Temuan utama penelitian ini adalah, bahwa efektivitas Permen tergantung pada kejelasan klausul delegasi dan mekanisme penegakannya, sedangkan efektivitas Permenko ditentukan oleh (a) kejelasan delegasi, (b) pencantuman ketentuan sanksi, (c) pelapisan peraturan melalui peraturan pemerintah/peraturan presiden pendukung, (d) mekanisme penyusunan partisipatif, dan (e) mekanisme akuntabilitas seperti klausul pelaporan dan uji materiil. Penelitian ini memberikan kontribusi berupa penyusunan cetak biru normatif terpadu untuk perancangan Permenko yang mengintegrasikan unsur hukum dan unsur administratif, serta rekomendasi untuk melakukan amandemen terhadap UU No. 12/2011 dan penerbitan peraturan pendukung. Implikasi dari penelitian ini antara lain penguatan legitimasi hukum, peningkatan kepatuhan birokrasi, dan perbaikan mekanisme checks and balances dalam pendelegasian kewenangan eksekutif. Dengan diimplementasikannya cetak biru ini, Permenko diharapkan dapat menjadi instrumen strategis untuk menjamin konsistensi kebijakan publik nasional, memperkuat asas konstitusionalisme, dan mewujudkan tata pemerintahan yang baik di Indonesia.Kata kunci: Kekuasaan Mengikat, Kewenangan yang Didelegasikan, Peraturan Menteri, Hirarki Normatif
Supremasi Sipil Vs. Supremasi Militer: Pejabat Pembantu Presiden Non-Kementerian dalam Bingkai Reformasi Konstitusi Risky, Saiful; Kartikasaari, Dina
Simbur Cahaya Volume 32 Nomor 1, Juni 2025
Publisher : Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.28946/sc.v32i1.4900

Abstract

Penelitian ini mengkaji secara kritis Peraturan Presiden No. 137 Tahun 2024 yang memberikan ruang bagi prajurit aktif Tentara Nasional Indonesia untuk menduduki jabatan pembantu Presiden non-kementerian. Analisis dilakukan dengan pendekatan interdisipliner, guna mengidentifikasi ambiguitas hukum yang timbul apabila produk hukum eksekutif tersebut bertentangan dengan Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI dalam ranah normatif dan politik. Penelitian ini menyoroti konflik normatif—ketimpangan hukum—yang muncul berdasarkan prinsip hierarki norma, di mana peraturan presiden seharusnya tunduk pada undang-undang yang lebih tinggi, serta mengungkap potensi reaktivasi peran politik militer yang berpotensi menggoyahkan supremasi sipil dan reformasi militer pasca reformasi. Studi ini juga membandingkan mekanisme judicial review dan praktik pengawasan yudisial di beberapa negara demokratis, termasuk Amerika Serikat, Jerman, Korea Selatan, dan Taiwan. Dalam perbandingan ini, studi kasus seperti putusan Youngstown Sheet & Tube Co. v. Sawyer (1952) digunakan sebagai landasan dalam menegaskan pentingnya peran pengadilan sebagai alat kontrol atas perluasan kekuasaan militer. Perspektif perbandingan ini memperkuat argumentasi bahwa judicial review merupakan instrumen vital untuk menjaga keseimbangan antara kekuasaan sipil dan militer serta menegakkan supremasi konstitusional. Akhirnya, penelitian ini menyimpulkan bahwa keberadaan Perpres No. 137 Tahun 2024 tidak hanya menimbulkan persoalan hukum, melainkan juga mengindikasikan pergeseran paradigma politik hukum yang berisiko mengembalikan elemen-elemen otoritarianisme melalui legalisasi supremasi eksekutif. Oleh karena itu, penegakan hierarki peraturan perundang-undangan melalui intervensi yudisial dinilai krusial untuk memastikan bahwa setiap inovasi hukum terkait hubungan sipil-militer tetap sejalan dengan prinsip negara hukum demokratis dan semangat reformasi.
Legalisasi Supremasi Eksekutif? Studi Sosio-Legal terhadap Reformasi Kementerian di Indonesia Risky, Saiful; Ramadhan, Febriansyah; Esfandiari, Fitria
Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) Vol 14 No 2 (2025)
Publisher : University of Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/JMHU.2025.v14.i02.p03

Abstract

This article will explore how the amendment to Law No. 39/2008 on State Ministries that removed the maximum limit on the number of ministries, has significant constitutional and political implications for Indonesia’s presidential system. This study employs a socio-legal or interdisciplinary approach by analyzing the normative aspects of legislation alongside the political dynamics behind the policy revision. The findings indicate that the removal of ministerial limits is primarily driven by political accommodation rather than administrative efficiency. This increasingly expansive governance model risks creating a bloated bureaucracy that lacks effectiveness in executing governmental functions. The findings indicate that without a limit on the number of ministries, the institutional precedent is difficult to reverse due to mechanisms of path dependency, which reinforce resistance to bureaucratic reform. To address the risk of constitutional regression and the weakening of the principle of checks and balances, this article recommends policy reconstruction by revising the Law on State Ministries to explicitly set a maximum of 34 ministries, as well as a limited amendment to Article 17 of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia so that the restriction is constitutionally enshrined. In this way, the reform is expected to uphold constitutional supremacy, improve bureaucratic efficiency, and maintain institutional stability within the framework of good governance. Artikel ini akan mengeksplorasi perubahan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang menghapus batas maksimal jumlah kementerian menimbulkan implikasi konstitusional dan politik yang signifikan dalam sistem pemerintahan presidensial Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan socio-legal atau interdisipliner antara ilmu hukum dan ilmu politik, dengan menganalisis aspek normatif dalam peraturan perundang-undangan serta dinamika politik di balik revisi kebijakan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penghapusan batas jumlah kementerian lebih didasarkan pada akomodasi kepentingan politik daripada pertimbangan efisiensi administrasi. Model tata kelola pemerintahan yang semakin ekspansif ini berisiko menciptakan birokrasi yang gemuk dan kurang efektif dalam menjalankan fungsi pemerintahan. Temuan menunjukkan bahwa tanpa pembatasan jumlah kementerian, 'preseden institusional' sulit dibalik akibat mekanisme 'path dependency', yang memperkuat resistensi terhadap reformasi birokrasi. Untuk mengatasi risiko 'constitutional regression' dan melemahnya prinsip 'checks and balances', artikel ini merekomendasikan rekonstruksi kebijakan melalui revisi UU Kementerian Negara yang menetapkan batas maksimal 34 kementerian secara eksplisit, serta amendemen terbatas Pasal 17 UUD NRI 1945 agar pembatasan bersifat konstitusional. Dengan demikian, reformasi ini diharapkan menegakkan supremasi konstitusi, meningkatkan efisiensi birokrasi, dan menjaga stabilitas kelembagaan dalam kerangka good governance.