AbstrakSistem irigasi dan pengelolaan sampah di Desa Kedungrejo menghadapi sejumlah tantangan serius, seperti praktik sabotase aliran air, penyumbatan saluran irigasi akibat sampah, serta rendahnya kesadaran warga terhadap kebersihan lingkungan. Kegiatan pengabdian melalui program Penataan Kelembagaan Terpadu Berbasis Resiprositas (P-KTR) dilakukan untuk mengatasi tantangan tersebut. Kegiatan ini melibatkan Pemerintah Desa, Paguyuban Pengelola Sampah, Kelompok Tani, Kuwowo, Waker, dan masyarakat sebagai aktor utama dalam sistem kelembagaan. Pemerintah desa berperan sebagai regulator dan fasilitator, sementara kelompok masyarakat bertanggung jawab atas implementasi teknis di lapangan. Hasil kegiatan menunjukkan peningkatan pemahaman dan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan irigasi dan sampah secara berkelanjutan. Keunggulan model ini terletak pada integrasi lintas sektor, partisipasi kolektif, dan insentif warga berbasis kontribusi. Tantangan yang tersisa mencakup rendahnya kedisiplinan iuran sampah serta perlunya penguatan mekanisme koordinasi antaraktor. Pengembangan kelembagaan ke depan perlu memprioritaskan peningkatan kapasitas teknis, digitalisasi sistem pemantauan, dan penguatan kolaborasi berkelanjutan dengan institusi akademik dan pemerintah daerah. Penerapan model ini secara konsisten diharapkan mampu mendorong pertanian yang lestari, lingkungan desa yang lebih bersih, dan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan. Kata kunci: irigasi; pengelolaan sampah; kelembagaan; resiprositas. AbstractThe irrigation and waste management systems in Kedungrejo Village face several serious challenges, including the sabotage of water flow, blockage of irrigation channels due to waste, and low public awareness regarding environmental cleanliness. The community service activities through the Reciprocity-Based Integrated Institutional Arrangement (P-KTR) program were conducted to address these challenges. The initiative engages key stakeholders in the institutional system, including the Village Government, Waste Management Association, Farmer Groups, Kuwowo (village irrigation managers), Waker (water gate operators), and local community members as primary actors. The village government acts as a regulator and facilitator, while community groups are responsible for technical implementation in the field. The results of the program indicate an increase in community understanding and involvement in sustainable irrigation and waste management. The strength of this model lies in its cross-sectoral integration, collective participation, and citizen incentives based on contribution. Remaining challenges include low discipline in waste fee payments and the need to strengthen coordination mechanisms among actors. Future institutional development should prioritize technical capacity building, digital transformation of monitoring systems, and strengthening sustainable collaboration with academic institutions and local governments.Consistent implementation of this model is expected to promote sustainable agriculture, a cleaner village environment, and long- term community well-being. Keywords: irrigation; waste management; institutional arrangement; reciprocity.