Wakaf merupakan salah satu instrumen ekonomi Islam yang memiliki peran strategis dalam pembangunan sosial masyarakat. Sebagai bentuk sedekah jariyah, wakaf memiliki karakteristik khusus yaitu harta yang diwakafkan tidak boleh diperjualbelikan, diwariskan, atau dialihkan kepemilikannya, namun manfaatnya dapat dirasakan secara berkelanjutan oleh masyarakat umum. Namun, dalam praktiknya, implementasi wakaf di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan, khususnya terkait dengan sengketa kepemilikan tanah wakaf. Kasus sengketa tanah wakaf masjid di Gampong Ulee Tanah, Kecamatan Tanah Pasir, Kabupaten Aceh Utara, merupakan contoh nyata dari permasalahan yang dihadapi dalam implementasi wakaf. Sengketa ini melibatkan tanah seluas kurang lebih 2.500 meter persegi yang diwakafkan oleh Almarhum Bintang pada tahun 1970 untuk pembangunan masjid. Setelah 20 tahun berfungsi sebagai tempat ibadah, pada tahun 1990 muncul gugatan dari ahli waris yang mengklaim bahwa tanah tersebut tidak pernah diwakafkan secara sah. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis permasalahan sengketa tanah wakaf dari perspektif hukum Islam dan hukum positif Indonesia, serta mengkaji mekanisme penyelesaian yang diterapkan dalam kasus konkret di Gampong Ulee Tanah. Melalui studi kasus ini, diharapkan dapat diperoleh pemahaman yang komprehensif tentang dinamika wakaf di masyarakat, faktor-faktor penyebab sengketa, dan alternatif solusi yang dapat diterapkan untuk mencegah dan menyelesaikan konflik serupa di masa mendatang.